Sejarah keterlibatan perempuan dalam aksi politik di Indonesia menunjukkan bahwa mereka tidak sekadar ikut-ikutan. Dari masa ke masa, perempuan konsisten menghadirkan agenda sendiri, dengan perspektif yang berbeda dari dominasi politik laki-laki.
Kehadiran mereka menandakan bahwa perempuan merupakan subjek politik yang mandiri, dengan membawa beragam tuntutan.
Misalnya, pada unjuk rasa di depan gedung DPR, Rabu (03/09/2025), ratusan perempuan yang tergabung dalam Aliansi Perempuan Indonesia (API) menyerukan reformasi polisi, hukum yang adil, dan penghentian kekerasan negara.
Kisah Ibu-Ibu Berhadapan dengan Polisi Saat Aksi: Catatan Orde Baru hingga Reformasi
"Kita bawa sapu untuk apa? Untuk menyapu koruptor yang banyak di gedung DPR," ujar Echa Echa Waode, aktivis Arus Pelangi, oganisasi nirlaba yang berfokus pada perlindungan LGBTQ, saat
Meskipun membawa simbol-simbol pekerjaan rumah, tuntutan yang mereka suarakan bukan perihal urusan domestik, seperti kenaikan harga beras, susu, minyak, dan sebagainya. Mereka meminta agar negara menghentikan segala bentuk kekerasan atau represifitas terhadap masyarakat yang melakukan unjuk rasa.
“Presiden Prabowo untuk menghentikan segala bentuk kekerasan negara, termasuk menarik mundur TNI dan Polri … serta menuntut kepolisian untuk membebaskan seluruh masyarakat yang ditangkap tanpa syarat.”
Potret The Power of Emak-Emak Kala Demonstrasi
Tititk Awal Perempuan Sebagai Subjek Perlawanan
Memang, meskipun urusan domestik identik dengan pergerakan perempuan, hal tersebut tidak lantas membuat rumah tangga menjadi satu-satunya narasi dan tuntutan yang dibawa perempuan saat melakukan perlawanan.
Bahkan, jika kita tarik lebih jauh ke belakang, akar sejarah pergerakan perempuan bahkan sudah tampak sejak Kongres Perempuan pertama pada 1928. Saat itu, para peserta sepakat membentuk federasi nasional perempuan.
Mereka mengangkat isu-isu yang visioner, seperti dana pendidikan untuk perempuan, penolakan perkawinan anak, usulan tunjangan negara bagi janda dan anak, serta dorongan memperbanyak sekolah perempuan.
Agenda ini menunjukkan bahwa sejak awal, politik perempuan di Indonesia bukan hanya politik rumah tangga semata, melainkan politik yang menghubungkan persoalan domestik dengan struktur negara.
“Semua yang mereka perjuangkan saat itu sudah sangat politics sekali. Tonggak itu menjadi titik awal perjuangan yang terus dilanjutkan hingga hari ini,” kata Indah Ariani, aktivis Suara Ibu Indonesia, saat dihubungi langsung oleh GNFI.
Sastra adalah Perlawanan, Sastra sebagai Arsip Sejarah dan Medium Realitas Kaum Terpinggirkan
Ragam Tuntutan Para Perempuan
- 1928, perempuan membicarakan pendidikan, hak anak, dan struktur sosial.
- 1998, perempuan menentang negara otoriter dan krisis ekonomi.
- 2025, perempuan memimpin demonstrasi dengan isu kompleks: pangan, lingkungan, hukum, dan politik.
Perempuan konsisten sebagai aktor politik penuh dengan bahasa, simbol, dan agenda yang berbeda. Perubahan zaman hanya memperluas spektrum tuntutan, tetapi semangat dasarnya tetap sama, yakni memperjuangkan keadilan.
Sejarah mencatat bagaimana para perempuan membawakan isu dari multisektor dalam perjuangannya.
Uniknya Pesantren Ekologi Ath-Thaariq Garut hingga Dianggap Kafir karena Didatangi Pemuka Agama Lain
Perempuan dan Isu Agama
Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) adalah ruang unik. Para ulama perempuan memang tidak turun ke jalan, melainkan melalui pertemuan. Di sana, para perempuan yang terdiri dari ulama, akademisi, dan aktivis dari seluruh negeri dan dunia berbagi pengalaman dan pandangan mereka sesuai bidang keahlian masing-masing.
Misi mereka adalah mewujudkan visi keadilan relasi laki-laki dan perempuan dalam perspektif Islam.
Para ulama perempuan mengeluarkan fatwa anti kekerasan berbasis agama, menentang pernikahan anak, mutilasi genital, hingga mengusung keberlanjutan lingkungan.
Pada prinsipnya, KUPI menenegaskan bahwa sikap dan pandangan keagamaan yang dihasilkan harus menolak segala bentuk eskploitasi pada manusia dan alam atas nama apapun.
Ini menunjukkan, perempuan mampu meredefinisi interpretasi agama dari dalam struktur keagamaan.
Elly Warti Maliki, Perempuan Minang yang Mengubah Masa Depan Anak-Anak TKI di Arab Saudi Lewat Pendidikan
Perempuan dan Keadilan Kelompok Marginal
Sejak 2017, gerakan Women March’s Jakarta hadir menyuarakan keadilan kelompok marginal. Hadir tiap tahun, Women’s March Jakarta menjadi gerakan aksi kelompok perempuan dan kelompok rentan—kelompok minoritas gender dan seksual, pekerja rumah tangga, buruh migran, masyarakat adat, dan kelompok-kelompok lain—untuk menuntut perubahan kebijakan yang berdampak pada kelompok perempuan dan rentan.
Fokus mereka adalah menyerukan penolakan terhadap RKUHP diskriminatif, UU Cipta Kerja, dan RUU Ketahanan Keluarga, sembari mendesak pengesahan RUU PKS, RUU Perlindungan PRT, dan RUU Masyarakat Adat.
WMJ 2023 mengajak perempuan dan kelompok marginal untuk bersuara lewat aksinya bertajuk "Sudahi Bungkam, Lawan!"
Kemudian, pada 2024, WMJ membawa narasi "Akhiri Diskriminasi, Lawan Patriarki."
Saat Urusan Rumah Jadi Bahasa Universal Perlawanan Para Perempuan
Perempuan dan Lingkungan
“Prof. Email Salim pernah menulis dalam bukunya, "Pembangunan Berwawasan Lingkungan" yang terbit 1986, bahwa dalam perubahan iklim, perempuan akan menjadi kelompok masyarakat yang paling terdampak, karena ia yang akan paling tahu bagaimana sulitnya hidup tanpa air bersih, tanpa bahan pangan yang aman dan sebagainya,” terang Indah Ariani.
Ya, perempuan adalah kelompok yang paling dekat dengan pekerjaan domestik. Oleh karena itu, kerusakan lingkungan adalah ancaman ruang aman keluarga.
Di Indonesia, narasi perempuan dan lingkungan juga kuat. Kita bisa melihat perjuangan Aleta Baun, perempuan Mollo dari Nusa Tenggara Timur. Ia dikenal dengan sebutan Mama Aleta. Ia memimpin aksi duduk menenun di gunung sebagai bentuk protes terhadap tambang marmer yang merusak hutan adat. Baginya, menenun di gunung adalah simbol mempertahankan warisan budaya sekaligus menjaga bumi.
Cerita Inspiratif Masnu’ah: Pejuang Hak Nelayan Perempuan dari Pesisir Demak
Pada April 2013, Mama Aleta menerima penghargaan The Goldman Environmental Prize di San Fransisco, California, Amerika Serikat. Penghargaan ini diberikan oleh tokoh masyarakat dan dermawan, Richard N. Goldman dan istri, Rhoda H. Goldman untuk mendukung orang-orang yang berjuang mempertahankan lingkungan hidup dari ancaman.
Selain Mama Aleta, perempuan pesisir di Demak, Rembang, dan pesisir Kalimantan juga banyak mengorganisir diri menghadapi abrasi, reklamasi, serta pencemaran laut.
Banyak para perempuan di Indonesia, khususnya perempuan adat yang menjadi penggerak advokasi, menulis petisi, menggelar aksi, hingga bersuara di forum internasional.
Tunggu Tubang: Peran Perempuan Semende Menjaga Kedaulatan Pangan
Perempuan dan Narasi Ekonomi-Politik
Masih ingatkah Kawan, dengan gerakan mogok makan pada 14 Agustus 2023 lalu?
Pada 14 Agustus 2023, para Pekerja Rumah Tangga (PRT) menggelar aksi mogok makan di depan Gedung DPR RI Senayan. Mereka menuntut percepatan pengesahan RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (PPRT) yang telah dirintis sejak 2004.
Dalam aksi tersebut, PRT turut menyajikan piring-piring kosong berisikan batu bata, dot bayi, sikat kamar mandi, spon pencuci piring, dan rantai.
Lita Anggaraini, Koordinator Jala PRT mengungkapkan bahwa barang-barang tersebut merupakan simbol buruknya situasi kerja yang dialami PRT. Mereka kerap mengalami kekerasan, perbudakan, dan diliputi ketakutan untuk mengatakan bahwa mereka lelah atau lapar. Para pekerja rumah tangga merupakan kalangan yang rentang mengalami eksploitasi.
Oleh karena itu, Aliansi Mogok Makan tersebut mendorong para DPR untuk segera mengesahkan RUU PPRT dan tidak membiarkan praktik perbudakan modern terhadap PRT Indonesia terus terjadi.
Sosok Sudarmi, Perempuan Gigih yang Pimpin Pengelolaan Hutan Jati di Gunungkidul
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News