Dia pergi pagi ini. Senin, 22 Desember 2025. Tepat pukul 05.30 WIB.
Namanya Muhammad Jazir ASP. Tapi orang lebih mengenalnya sebagai "nyawa" dari Masjid Jogokariyan, Yogyakarta. Masjid ini sejatinya unik. Lokasinya "nyempil" di gang sempit bekas kampung prajurit Kraton Yogyakarta di masa lalu. Bukan masjid agung di alun-alun. Bukan pula masjid raya berkubah emas di jalan protokol. Halamannya tidak berhektar-hektar.
Tapi dari gang sempit itulah, gaungnya terdengar lebih keras dari masjid negara sekalipun.
Prestasi itu bukan datang tiba-tiba. Ia adalah buah dari visi besar Jazir yang berani membalikkan logika manajemen masjid di Indonesia. Dialah yang meniupkan ruh ke dalam bangunan batu itu hingga hidup, dan menghidupi.
Padahal, di luar sana, ukuran keberhasilan justru sebaliknya. Bagi kebanyakan pengurus masjid, punya saldo kas masjid dalam jumlah besar adalah sebuah pencapaian. Diumumkan tiap Jumat dengan lewat pengeras suara. Tentu tidak salah.
Namun bagi Jazir, itu sebuah kekeliruan.
Saldo besar yang "menganggur" adalah bukti takmir tidak bekerja, katanya. Itu tanda pengurus enggan berpikir. Uang itu ibarat darah. Kalau darah berhenti mengalir, ia jadi penyakit. Uang umat itu amanah untuk disalurkan, bukan untuk dipamerkan di buku tabungan.
Maka di Masjid Jogokariyan, saldo harus nol. Habis. Ludes.
Ke mana larinya? Ke perut janda miskin. Ke SPP anak yatim. Ke gizi warga yang stunting. Bahkan untuk hal yang paling ekstrem: mengganti motor jamaah.
Jazir menerapkan garansi total. Dulu, tahun 1999, dimulai dari sandal. Ia ganti pakai uang pribadinya. Ia tidak rela orang kapok ke rumah Allah cuma gara-gara sandal. Lama-lama, kebijakan itu dibakukan.
Sepeda hilang? Ganti. Motor hilang? Ganti. Bayangkan. Ada Yamaha NMAX atau Vario hilang di parkiran, kas masjid harus keluar puluhan juta. Detik itu juga. Tunai.
Logika manajemen mana yang berani mengambil risiko ini?
Tapi Jazir teguh. Baginya, jika masjid mengundang tamu Allah, masjid wajib menjamin keamanannya. Kalau hilang, itu kelalaian tuan rumah. Bukan kesalahan tamu.
Hasilnya? Di luar dugaan. Infak justru membanjir. Orang percaya. Uang mereka tidak ditimbun untuk memoles marmer dinding, tapi dipakai untuk memuliakan manusia.
Jazir memang melampaui zamannya.
Lahir 28 Oktober 1962, dia anak imam pertama. Harusnya dia bisa jadi takmir seumur hidup lewat jalur warisan atau aklamasi. Tapi dia menolak cara itu. Dia minta pemilihan terbuka. One man one vote. Baginya, mandat mengurus rumah Tuhan tidak boleh didapat dari jalur belakang.
Darah Muhammadiyah-nya kental. Semangat Al-Ma'un dari Kiai Dahlan ia terjemahkan dengan nyata di Jogokariyan. Masjid bukan tempat sunyi untuk ritual ibadah semata. Masjid adalah solusi perut, solusi sosial, sekaligus solusi jiwa.
Buktinya terlihat di depan mata. Lihatlah mesin ATM Beras di pojok masjid itu. Warga dhuafa tinggal tempel kartu, beras keluar. Tidak perlu antre sembako sambil berdesak-desakan. Lihat pula sensus data umat yang ia kerjakan. Ia tahu persis siapa warganya yang tidak bisa makan hari ini. Ia tahu siapa yang anaknya terancam putus sekolah. Masjid yang ia pimpin hadir membereskannya. Tunai. Tanpa banyak rapat.
Kini, Indonesia kehilangan putra terbaiknya.
Bukan hanya Jogja yang berduka. Ribuan takmir yang pernah "magang" di sana, jutaan jamaah (termasuk saya) merasa ada tiang penyangga langit yang runtuh.
Ustadz Jazir berhasil mengubah lanskap manajemen masjid di Indonesia. Ia meletakkan standar baru: bahwa keberhasilan takmir tidak diukur dari akumulasi saldo, melainkan dari dampak sosial. Warisannya bukan sekadar fisik gedung, melainkan transformasi tata kelola dana umat yang kini menjadi rujukan nasional.
Ustadz Jazir telah menunaikan tugasnya. Paripurna.
Saya membayangkan, saat menghadap Sang Khalik nanti, dia akan melenggang dengan ringan.
Tidak ada beban berat di pundaknya. Tidak ada hisab rumit tentang "kenapa uang kas menumpuk sementara tetangga masjid kelaparan". Laporan pertanggungjawabannya di hadapan Allah akan sangat ringkas.
Saldonya di dunia sudah dia bikin nol. Benar-benar nol.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News


