Bagi Suku Semende, tanah, kebun, dan rumah bukan sekadar aset ekonomi, melainkan warisan yang harus dijaga untuk generasi mendatang. Tanggung jawab besar itu diemban oleh perempuan: Tunggu Tubang.
Di balik hamparan kebun kopi dan hutan yang hijau, tersimpan sebuah tradisi unik yang telah berlangsung ratusan tahun, yakni Tunggu Tubang. Tunggu Tubang adalah sebuah sistem warisan yang menempatkan perempuan tertua sebagai penjaga harta keluarga.
Cerita Inspiratif Masnu’ah: Pejuang Hak Nelayan Perempuan dari Pesisir Demak
Perempuan sebagai Penjaga Warisan: Tanggung Jawab yang Tidak Mudah
Dilansir Mongabay Indonesia, Tunggu Tubang adalah sistem adat yang sudah turun-temurun berlaku di masyarakat Semende Darat di Kabupaten Muara Enim, Sumatera Selatan. Sistem ini memberikan kuasa kepada perempuan untuk mengelola alat produksi (pusaka keluarga) berupa sawah, rumah, kebun, dan tebat (danau buatan).
Dalam adat Semende, Tunggu Tubang adalah perempuan tertua dalam keluarga yang diberi wewenang penuh untuk mengelola harta warisan.
Sistem ini dibuat oleh leluhur mereka, Puyang, untuk melindungi perempuan dari kemiskinan.
Mengenal Rahayu Oktaviani, Wanita Hebat Konservasionis Primata Owa Jawa
"Agar tidak terjadi kesusahan atau kelaparan kelak saat mereka sudah berkeluarga. Sedangkan untuk lelaki, dipersilahkan mencari nafkah di luar desa," jelas Elianah, salah satu Tunggu Tubang di Semende.
Meskipun Elianah saat ini adalah Tunggu Tubang, ia tidak mewarisi tanggung jawab tersebut dari keluarganya karena ia bukan anak pertama. Namun, Elianah dan suaminya, Dapawi, kemudian bertekad membangun Tunggu Tubang sendiri. Usaha tersebut berhasil.
“Kami ingin membangun Tunggu Tubang. Keinginan tersebut yang membuat kami bertahan selama ini. Saudara dan orang tua saya hidup di Jakarta. Kami beberapa kali ditawari menetap di sana, tapi kami tetap memutuskan hidup di Semende, dan bertekad membangun Tunggu Tubang,” jelas Elianah.
Sosok Suswaningsih, PNS yang Berjuang Hidupkan Lahan Tandus di Gunungkidul
Namun, menjadi Tunggu Tubang bukanlah perkara mudah. Mereka harus mengatur waktu tanam, panen, dan membagi hasilnya kepada seluruh anggota keluarga.
Mereka juga bertindak sebagai Payung Jurai, yaitu penaung keluarga saat ada acara adat.
"Tunggu Tubang juga menjadi penaung keluarga saat ada acara di desa, seluruh keluarga akan tinggal di rumah Tunggu Tubang. Oleh karena itu, rumah Tunggu Tubang biasanya luas, karena keluarga juga banyak,” kata Elianah.
Sosok Sudarmi, Perempuan Gigih yang Pimpin Pengelolaan Hutan Jati di Gunungkidul
Tantangan dalam Tradisi Tunggu Tubang
Pada praktiknya, tantangan terbesar Tunggu Tubang datang dari perubahan zaman. Banyak perempuan muda Semende yang memilih merantau, mengejar pendidikan atau pekerjaan di kota.
Mahmuda, seorang Tunggu Tubang dari Desa Segamit, mengaku pernah ingin kabur dari desa.
"Namun, saya kembali lagi ke desa karena saya merasa didatangi oleh leluhur saya lewat mimpi-mimpi," kisah Mahmuda.
Selain tekanan sosial, perubahan iklim juga mengancam. Curah hujan yang tak menentu membuat produksi kopi—sumber penghidupan utama di Semende—menurun drastis.
"Penghasilan kopi masyarakat Semende beberapa tahun terakhir berkurang drastis. (Dulu) Yang setahun sekali dapat tiga sampai empat ton, kini mereka hanya dapat penghasilan 500 kg sampai satu ton saja," keluh Aidil Baba, pendamping masyarakat dari Hutan Kita Institut (HaKI).
Cerita Hanifah Bowo: Kartini Masa Kini dari Tangerang yang Bergerak di Bidang Lingkungan
Tunggu Tubang: Penjaga Kedaulatan Pangan
Di tengah gempuran modernisasi, Tunggu Tubang ternyata tak hanya menjaga warisan keluarga, tapi juga sebagai bentuk penghormatan masyarakat terhadap alam.
Eni Murdiati, antropolog dari UIN Raden Fatah Palembang, menjelaskan bahwa sistem ini membuat masyarakat Semende mampu bertahan secara mandiri sekaligus menjaga harmoni dengan alam.
“Menjaga alam pada masyarakat Semende adalah dengan cara tidak membuka hutan adat, atau merusak mata air yang ada di bawah bukit,” ujarnya.
Sistem Tunggu Tubang ini sudah terbukti menjaga kedaulatan pangan masyarakat Semende ketika terjadi pagebluk 2019 silam. Saat pandemi COVID-19, masyarakat Semende tidak khawatir kekurangan bahan makanan karena punya cadangan pangan yang cukup dari sawah dan hutan.
Budaya ini juga menjadi benteng terhadap perusahaan perkebunan skala besar dan pertambangan.
Masyarakat Semende percaya, hutan adat tidak boleh dibuka sembarangan dan jika mereka menjual warisan, leluhur akan murka dan petaka datang.
Kisah Nissa dan Ibang, Kawan Aktivis yang Jadi Pasangan Lalu Dirikan Pesantren Ekologis Ath-Thaariq
Keraguan pada Diri Tunggu Tubang Muda
Devi Minalia (23), seorang calon Tunggu Tubang muda, awalnya ragu menerima peran ini. Tapi setelah memahami maknanya, ia bangga.
"Awalnya saya bingung saat menjadi calon Tunggu Tubang. Tapi setelah memahaminya, saya menerima dan tidak mau kehilangan apa yang sudah dibangun orang tua dan leluhur kami dalam menjaga nilai-nilai kebaikan dunia akhirat," ujarnya.
Hasan Zen, tokoh adat Semende, yakin tradisi ini tak akan punah. Sebab, sistemnya juga berlaku fleksibel agar tradisi ini tetap dilestarikan di masyarakat
“Budaya Tunggu Tubang tidak akan hilang. Sebab Tunggu Tubang bukan hanya lahir dari keluarga yang lama, keluarga baru juga membangun Tunggu Tubang. Jika ada anak perempuan menolak menjadi Tunggu Tubang, bukan berarti Tunggu Tubang pada sebuah keluarga akan hilang, dia akan digantikan dengan anak yang lain."
Uniknya Pesantren Ekologi Ath-Thaariq Garut hingga Dianggap Kafir karena Didatangi Pemuka Agama Lain
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News