Saya pertama kali menginjakkan kaki di negara ini tahun 2002, lewat Batam naik ferry cepat. Dari Batam yang kala itu sedang giat membangun, saya memandang ke seberang lautan, dan terpampanglah sebuah negeri penuh gedung tinggi, menjulang rapat.
Saat kapal merapat di pelabuhan, saya tertegun. Begitu mendarat, yang menyambut bukan hanya gedung modern, tapi juga keteraturan yang luar biasa. Sebuah negeri kecil yang semuanya tampak lebih besar. Jalan-jalannya besar. Pohon-pohonnya besar. Bus besar. Gedung besar. Trotoar lebar. Bandara besar. Pelabuhan raksasa, seolah menegaskan bahwa negeri ini memang kecil hanya di peta, sama sekali tidak kecil di dunia nyata.
Sulit dipercaya bahwa negeri yang begitu bersih, hijau, indah, rapi, dan maju ini dulunya bahkan tidak punya air sendiri. Selama puluhan tahun, keran Singapura terkunci pada perjanjian dengan Johor, Malaysia. Setiap tetes yang keluar dari kran rumah tangga adalah hasil impor. Bayangkan: sebuah negara merdeka, tapi untuk minum saja harus menoleh ke tetangga. Itulah sebabnya Lee Kuan Yew (LKY), pendiri Singapura, PM pertama negara itu, berkali-kali mengingatkan, “Air supply was a matter of life and death for Singapore.”
Air, bagi Singapura, bukan sekadar soal mandi atau memasak. Ia adalah simbol kedaulatan. Tanpa air, negeri ini bisa ditundukkan dengan mudah tanpa peluru, cukup dengan memutar kran di seberang perbatasan. LKY tahu, selama ketergantungan itu dibiarkan, Singapura tidak akan pernah bisa berdiri dengan kepala tegak. Maka sejak awal, persoalan air ditempatkan sejajar dengan pertahanan militer. Dari situlah lahir kebijakan yang membentuk wajah Singapura hari ini.
Dan dari situlah saya sering teringat kalimat LKY yang lain, penuh ketegangan eksistensial: “We knew that if we were just like our neighbors, we would die.” Kalimat itu bukan lahir dari kesombongan, melainkan dari rasa takut. Negeri ini lahir dalam keadaan rapuh, tanpa sawah, tanpa tambang, bahkan air pun harus beli dari Johor. Yang mereka punya hanya pelabuhan bekas Inggris, kampung-kampung kumuh, dan tekad untuk tidak tenggelam.
Fondasi Kemajuan Singapura
Singapura tidak hanya dibangun dengan beton dan baja, tapi juga dengan nilai. Yang paling utama: meritokrasi. Siapa pun, dari latar belakang apa pun, bisa menjadi 'hebat dan penting' jika punya kapasitas. Sistem beasiswa negara dijadikan mesin seleksi. Anak-anak terbaik dikirim ke universitas top dunia, lalu pulang untuk mengelola negeri. Jabatan bukan hadiah untuk keluarga atau kroni, melainkan tanggung jawab yang harus diemban oleh yang paling capable, paling mampu.
Di sisi lain, rule of law ditegakkan tanpa kompromi. Hukum bukan sekadar tulisan, melainkan pedang yang benar-benar dipakai. Korupsi pun dibabat habis. Pejabat digaji tinggi supaya tak tergoda, tapi jika ketahuan menyeleweng, sama sekali tidak ada ampun. Contohnya Wee Toon Boon, Menteri Negara untuk Pembangunan Nasional, dijebloskan ke penjara pada 1975 karena menerima suap (yang jumlahnya sebenarnya tak besar-besar amat) dari pengusaha properti dari Indonesia.
Belasan tahun kemudian, giliran Choo Wee Khiang, anggota parlemen yang cukup dikenal, dipenjara karena menerima suap dalam bisnis bulu mata. Bahkan seorang pengacara kondang, David Rasif, ikut lenyap reputasinya setelah membawa kabur dana klien. Ketiganya habis. Setelah selesai dipenjara, mereka takkan lagi dipercaya memegang jabatan publik apapun.
Pesannya jelas: yang jatuh bukan hanya ikan teri, melainkan ikan besar. Menteri, anggota parlemen, pengacara top, semua bisa habis kalau menyeleweng. Inilah yang membuat investor percaya. Di Singapura, aturan tidak bisa ditawar, tidak peduli seberapa tinggi jabatan atau seberapa kuat nama seseorang.
Namun membangun negara tidak cukup dengan menegakkan hukum saja. Kepercayaan harus hadir bukan hanya di mata investor, tapi juga di hati rakyat kecil. Apa gunanya institusi yang bersih kalau rakyatnya hidup di rumah yang rawan banjir dan kebakaran? Di sinilah LKY mengambil langkah berikutnya, langkah yang mungkin terlihat sederhana, tapi justru paling mendasar.
Rumah, Tanah, dan Jurong
Langkah pertama yang diambil Lee Kuan Yew bukanlah membangun gedung pencakar langit, melainkan menyediakan rumah layak bagi rakyatnya. Pemerintah tahu, rakyat tidak bisa produktif kalau tiap hari khawatir kebakaran atau banjir. Pada awal 1960-an, sebagian besar warga Singapura tinggal di kampung-kampung sempit dengan rumah kayu dan seng yang berdiri rapat. Setiap kali musim hujan, banjir melanda.
Setiap kali ada api kecil, cepat berubah jadi kebakaran besar yang melahap ratusan rumah. Tahun 1961 saja, kebakaran di Bukit Ho Swee, sebuah kawasan di bagian selatan-tengah Singapura, membuat lebih dari 16 ribu orang kehilangan tempat tinggal dalam semalam. Sanitasi buruk, penyakit mudah menular, anak-anak tumbuh di lingkungan yang tidak sehat.
Di tengah kondisi seperti itu, mustahil membangun tenaga kerja yang disiplin dan produktif. LKY tahu, sebelum bicara investasi, Singapura harus memberi warganya sesuatu yang lebih mendasar: rasa aman di rumah sendiri. Maka lahirlah HDB (Housing and Development Board). Jutaan orang dipindahkan dari kampung-kampung kumuh ke flat yang bersih dan aman. Melalui CPF (Central Provident Fund) , tabungan wajib pekerja, flat itu bisa dimiliki dengan cukup cepat dan mudah. Sejak itu, warga Singapura punya sesuatu untuk dijaga. Rumah bukan sekadar alamat, melainkan pondasi kepercayaan diri bangsa.
Setelah rumah, masalah berikutnya adalah tanah. Singapura kecil, harga lahan gampang sekali melambung, dan spekulasi bisa membuat pembangunan macet. LKY mengambil langkah yang dianggap kejam: negara diberi hak mengambil alih tanah, tentu dengan kompensasi. Berkat itu, proyek publik bisa berjalan cepat. Jalan tol, pelabuhan, bandara, kawasan industri, semua berdiri di atas tanah yang jelas statusnya. Jurong, di bagian barat Singapura, yang dulunya rawa berbau lumpur, dikeringkan dan dipenuhi industri. Dari situ, roda ekonomi pertama mulai berputar di negara tersebut.
Pelabuhan, Bandara, dan Keberanian Naik Kelas
Industri tidak bisa hidup tanpa nadi logistik. Pelabuhan bagi sebuah negara adalah jantung. Kalau jantung sehat, darah perdagangan mengalir ke seluruh tubuh ekonomi. Kalau jantung macet, otak bisnis kekurangan oksigen. Tanjung Priok, pelabuhan terbesar Indonesia, hanya mampu memompa sekitar 8 juta TEUs per tahun. Pelabuhan Singapura? Lebih dari 30 juta TEUs. Pelabuhan Singapura berdenyut seperti atlet maraton, kuat, cepat, tak pernah berhenti. Efisien sekali.
Tak lama setelah itu, bandara Changi dibangun. Dan bukan sembarang bandara. Changi hampir setiap tahun meraih predikat bandara terbaik di dunia, atau minimal nomor dua. Bandara adalah ruang tamu sebuah negara. Begitu orang keluar dari pesawat, di situlah kesan pertama lahir. Changi membuat orang betah bahkan ketika sekadar transit, ruang tamu yang membuat tamunya tidak ingin buru-buru pulang.
Kalau bandara adalah ruang tamu, maka maskapai adalah senyumnya. Singapore Airlines menjadi senyum itu. Konsisten disebut sebagai salah satu maskapai terbaik di dunia, dikenal dengan pelayanan yang nyaris sempurna. Dari pramugarinya yang elegan sampai kursinya yang nyaman, semua dibuat sebagai perpanjangan reputasi negara. Banyak orang mengenal Singapura pertama kali bukan dari negaranya, tapi dari pengalaman terbang dengan Singapore Airlines. Wajah dan senyum itulah yang membuat dunia percaya: Singapura kecil, tapi bisa serius dan bisa diandalkan.
Dan justru karena reputasi itu, Singapura tidak bisa berhenti di level “murah meriah”. Reputasi harus diimbangi dengan isi. Kalau bandara dan maskapai sudah kelas dunia, industrinya juga harus ikut naik kelas. Ekonomi murah ibarat sepeda onthel, cukup untuk berkeliling kampung, tapi tak sanggup menempuh jarak jauh. LKY tahu, kalau terus bertahan dengan onthel, Singapura akan tertinggal. Maka ia sengaja membeli mesin: upah dinaikkan, industri dipaksa beralih. Sepeda onthel diganti motor, lalu mobil, lalu kereta cepat.
Sesekali memang tergelincir. Singapura mengalami resesi hebat pada 1985, resesi pertama sejak merdeka. Pertumbuhan ekonomi jatuh minus, ribuan pekerja kehilangan pekerjaan, dan kepercayaan investor terguncang. Penyebabnya bukan hanya perlambatan global, tapi juga karena strategi “naik kelas lewat upah” dijalankan terlalu cepat. Industri padat karya tak siap, banyak pabrik kecil gulung tikar.
Namun di situlah kehebatan Singapura. Koreksi dilakukan cepat. Pemerintah menurunkan pajak perusahaan, melonggarkan regulasi, dan memperkuat sektor jasa keuangan. Investasi diarahkan ke industri bernilai tambah tinggi, sementara pariwisata dan logistik dipoles ulang. Dalam waktu singkat, Singapura kembali pulih, bahkan menjadikan resesi itu sebagai titik balik untuk menegaskan bahwa masa depan mereka bukan di manufaktur murah, melainkan di industri modern yang lebih tangguh.
Dari Krisis Air ke Sumber Percaya Diri
Inilah babak yang mengubah stigma menjadi kebanggaan. Air adalah masalah hidup dan mati. Lee Kuan Yew pernah berkata: “Air supply was a matter of life and death for Singapore.” Negeri ini sadar, tidak mungkin percaya diri di hadapan dunia jika untuk minum saja harus bergantung pada orang lain. Maka lahirlah strategi besar: konservasi, daur ulang, desalinasi. NEWater diperkenalkan, air limbah yang diproses hingga lebih jernih daripada air botol. Waduk dibangun bahkan di tengah kota. Desalinasi menjadi standar baru.
Hari ini, secara teknis Singapura memang masih membeli air dari Johor, Malaysia, sesuai perjanjian yang berlaku sampai 2061. Singapura masih beli air, tapi bukan lagi karena butuh, melainkan karena perjanjian belum habis. Kalau Johor menutup keran besok, Singapura tetap bisa bertahan dengan NEWater dan desalinasi.
Air yang dulu simbol ketergantungan, kini menjadi ikon kemandirian. Lebih dari itu, teknologi air Singapura diekspor, dijadikan etalase inovasi bangsa. Negeri yang dulu bahkan tidak punya air ini, kini berubah menjadi sumber percaya diri.
Benang Merah
Kalau ditarik garis, perjalanan Singapura terlihat seperti paradoks yang berhasil ditundukkan. Rumah dulu, tanah dikuasai, industri dibangun, pelabuhan dan bandara dipacu, maskapai dijadikan wajah bangsa, upah dinaikkan untuk naik kelas, krisis diatasi dengan koreksi cepat, dan akhirnya, air yang dulu jadi simbol kelemahan bertransformasi jadi sumber percaya diri. Semua itu dijalankan dengan disiplin, meritokrasi, dan rule of law.
Hari ini, negeri kecil yang dulu tidak punya air itu justru menjadi salah satu negara paling percaya diri di dunia. GDP per kapita mereka tembus USD 92.930 per tahun, sekitar 19 kali lipat Indonesia yang masih di kisaran USD 4.920. Upah minimum Singapura hampir 3,5 kali lipat Jakarta. Rata-rata warganya hidup hingga 86 tahun, 13 tahun lebih lama daripada kita. Seperti dua orang yang sama-sama bekerja sebulan penuh, yang satu bawa pulang tiga tas belanja ukuran besar, yang satu hanya satu kantong plastik. Dan ketika pensiun, yang satu masih kuat bermain dengan cucu, yang lain sudah kehabisan napas.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News