negeri yang tertinggal di belakang sendirian - News | Good News From Indonesia 2025

Negeri yang Tertinggal di Belakang, Sendirian

Negeri yang Tertinggal di Belakang, Sendirian
images info

Tahukah Anda, dulu orang Filipina suka meremehkan orang Korea? Itu benar-benar terjadi. Pada 1950-an hingga awal 1960-an, mahasiswa Korea yang ingin kuliah ke luar negeri lebih sering memilih Manila ketimbang Tokyo atau New York.

Kenapa begitu? Karena universitas di Filipina waktu itu dianggap terbaik di Asia. University of the Philippines, Ateneo de Manila, De La Salle; nama-nama itu harum sekali. Bahasa Inggris sudah menjadi bahasa resmi. Sistem pendidikannya modern dan terhubung erat dengan Amerika.

Sebuah sudut di Manila tahun 60an
info gambar

 

Orang Korea belajar di sana bukan karena tiket pesawat ke Amerika terlalu mahal, melainkan karena Manila sudah tampil sebagai kota kosmopolitan yang lebih maju dibanding Seoul. Mall berdiri, bioskop modern beroperasi, teater musikal ala Broadway dipentaskan, dan jalan-jalan utama Manila lebih lebar serta lebih rapi dibanding ibu kota Korea yang masih muram pascaperang Korea di tahun 50-an. 

Aktifitas pagi di Escolta Street di Manila (foto diambil kira-kira 1959-1961). Sumber: American Geographical Society Library, University of Wisconsin-Milwaukee Libraries.
info gambar

Manila bahkan lebih terasa seperti di Amerika. Gedung-gedung bergaya California berdiri di tengah kota, restoran cepat saji ala Amerika lebih dulu buka di Manila, mobil-mobil Chevrolet dan Ford berderet di jalan, sementara musik Frank Sinatra diputar di hotel-hotel berbintang. Pada 1960-an, jika ada kota Asia yang paling mirip Los Angeles atau San Francisco, jawabannya adalah Manila.

Bukan hanya orang Korea. Banyak orang Indonesia juga kuliah di Filipina pada masa itu. Kalau tidak ke Belanda, pilihannya ke Manila. Filipina sudah jadi magnet modernitas Asia Tenggara.

Ironisnya, kini justru kebalikannya. Anak-anak muda Filipina antre beasiswa ke Seoul, sementara pekerjanya berbondong-bondong jadi buruh migran di Korea Selatan. 

Sejarak seperti membolak-balikkan realita. Apa yang terjadi? 

Seoul yang Muram, Manila yang Glamor

Seoul dulu adalah kota muram. Habis perang, gedung-gedungnya hancur lebur. Ekonominya lumpuh. Jalanan gelap, becek, dan dingin. Angin musim dingin menusuk tulang, tapi rumah-rumah tidak punya pemanas yang layak. Di pinggir jalan, pedagang kaki lima berderet, menjual apa saja yang tersisa: jagung kering, ubi, pakaian bekas tentara Amerika. Banyak anak kecil yang berlari tanpa alas kaki, kedinginan, perutnya kosong.

Semua itu akibat Perang Korea yang pecah pada 1950 dan baru berakhir dengan gencatan senjata pada 1953. Perang yang membelah semenanjung itu bukan hanya merenggut lebih dari 2 juta nyawa, tetapi juga meluluhlantakkan Seoul. Kota itu sempat empat kali berganti tangan—direbut Korea Utara, lalu direbut balik oleh Amerika dan Korea Selatan, jatuh lagi, direbut lagi—hingga akhirnya yang tersisa hanyalah puing-puing. Tidak ada industri. Tidak ada ekonomi. Tidak ada masa depan yang pasti.

Balai kota Manila awal 50-an. Sumber: American Geographical Society Library, University of Wisconsin-Milwaukee Libraries
info gambar

Dan pada saat Seoul masih bergulat dengan reruntuhan, Manila justru berpesta. Jalan-jalannya terang benderang. Mobil-mobil Amerika berseliweran di Roxas Boulevard. Gedung bioskop menayangkan film-film terbaru dari Hollywood, lengkap dengan pendingin ruangan—kemewahan yang bahkan belum dikenal banyak kota Asia lainnya. Hotel-hotel mewah dipenuhi turis Amerika, sementara klub malam di distrik Ermita bergetar oleh irama jazz dan denting gelas koktail.

Di Seoul, orang antre sekadar mendapat jatah makanan dari PBB. Di Manila, orang antre tiket menonton Marilyn Monroe dan Frank Sinatra.

Seoul dikenal sebagai kota miskin, penuh penderitaan. Manila disebut Paris of Asia, penuh cahaya dan modernitas. Betapa kontrasnya Asia pada 1950-an. Dua kota, dua dunia. Yang satu tenggelam dalam muramnya pascaperang, yang lain mabuk oleh glamor modernitas.

Kini kondisinya jauh berbeda. Berbalik 180 derajat! Jika dulu orang Korea mengantre kuliah di Manila, sekarang orang Filipina mengantre visa kerja ke Seoul.

Kenapa Filipina Jatuh

Filipina tidak jatuh karena perang, bukan karena bencana, bukan pula karena rakyatnya malas. Filipina jatuh karena korupsi yang merajalela, kronisme yang menjerat, pejabat yang sibuk memperkaya diri, dan jabatan strategis yang diserahkan kepada orang-orang tidak kompeten.

Di bawah Ferdinand Marcos, kekuasaan dijalankan seperti bisnis keluarga. Energi, jalan tol, impor pangan—semua diberikan kepada kerabat atau kroni. Mahkamah agung menjadi stempel, parlemen jadi ornamen, militer dijadikan polisi pribadi.

Rakyat dibius dengan pesta dan hiburan. Televisi hanya menayangkan glamornya keluarga Marcos, para selebritas, dan mereka yang bergelimang harta. Imelda, sang ibu negara, selalu tampil dengan gaun indah, pesta dansa, dan tentu saja—sepatu. Ribuan pasang sepatu milik Imelda Marcos kini dipajang di museum dan menjadi monumen bisu: ketika rakyat antre beras, ibu negara sibuk menambah koleksi alas kaki.

Proyek-proyek besar pun banyak yang mangkrak. Bataan Nuclear Plant adalah contoh paling ikonik. Dibangun dengan utang miliaran dolar, reaktor megah itu tak pernah beroperasi, hanya berkarat di tepi laut, menjadi obyek wisata gagal pembangunan.

Utang negara menumpuk. Pada 1980-an, Filipina nyaris bangkrut. Investor asing kabur. Pertumbuhan ekonomi mendekati nol. Negara yang tadinya dipuji, mendadak menjadi contoh kegagalan.

Yang lebih menyakitkan, ketika Filipina sibuk tenggelam dalam korupsi dan pesta kekuasaan, tetangga-tetangganya justru bekerja keras membangun. Korea Selatan, yang dulu muram dan miskin, menegakkan fondasi industrinya. Singapura, yang lahir hampir bersamaan dengan rezim Marcos, memilih jalan yang berlawanan: disiplin, pendidikan, dan hukum yang keras. Bahkan Vietnam, yang baru keluar dari perang panjang, justru melesat dengan tekad dan strategi industri yang jelas.


Tertinggal di Belakang, Sendirian

Hasilnya sekarang sangat jelas. Tahun 1960, GDP per kapita (USD, harga konstan) menunjukkan Filipina ada jauh di depan:

  • Filipina: sekitar $260
  • Korea Selatan: $156
  • Indonesia: $82
  • Vietnam: sekitar $100

Filipina adalah juara kedua Asia saat itu, hanya kalah dari Jepang.

Tetapi lihat perjalanan enam dekade berikutnya. Ketika tetangganya berlari, Filipina terpeleset. Dan pada 2023, perbandingannya terasa seperti tamparan:

  • Korea Selatan: $36.000
  • Singapura: $93.960
  • Indonesia: $4.960
  • Vietnam: $4.700
  • Filipina: $4.400

Dulu Filipina menjadi tempat orang Korea dan Indonesia belajar. Kini Filipina justru sejajar dengan Vietnam—yang baru selesai perang pada 1975. Bedanya, Vietnam tumbuh pesat, menjadi basis produksi global dari Samsung hingga Apple. Filipina masih bertumpu pada remitansi tenaga kerja migran, yang menyumbang hampir 10 persen GDP.

Inilah puncak ironi itu: negara yang dulu menjadi Paris of Asia, kini tertinggal di belakang, sendirian.

Filipina adalah bukti bahwa kemajuan bisa hilang begitu saja. Negeri yang dulu menjadi tujuan belajar Asia kini sekadar dikenal sebagai pengirim tenaga kerja. Negeri yang dulu tampil seperti mini Amerika, kini hanya menjadi catatan kaki dalam laporan Bank Dunia.

Indonesia tidak boleh ikut-ikutan. Kita pernah tergoda jalan pintas, pernah punya pemimpin kuat tetapi institusi lemah, dan pernah pula terbuai dalam pertumbuhan semu. Reformasi 1998 memberi kesempatan kedua, tetapi kesempatan itu tidak akan selalu ada.

Jika korupsi tetap jadi penyakit, birokrasi tidak pernah dikuatkan, dan hukum hanya tajam ke bawah, maka Indonesia bisa bernasib sama: kehilangan momentum. Apalagi Vietnam sudah menempel ketat, sangat ketat, siap menyalip dalam 3-5 tahun ke depan. Hampir pasti

Sejarah tidak peduli. Sama seperti ia tidak peduli ketika meninggalkan Filipina.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Akhyari Hananto lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Akhyari Hananto.

AH
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini

🚫 AdBlock Detected!
Please disable it to support our free content.