Nissa Wargadipura dan Ibang Lukman Nurdin jadi sosok yang inspiratif. Inovasinya mendirikan Pesantren Ekologis Ath-Thaariq menjadikan mereka dikenal hingga mancanegara.
Pesantren ini, selain mengajarkan ilmu agama, juga menggalakkan pemahaman terkait ekologi. Nissa dan suaminya, Ibang, menyadarkan masyarakat tentang pentingnya hubungan timbal balik antara manusia dan lingkungan.
Nissa berhasil mengintegrasikan ilmu pertanian dengan nilai-nilai keagamaan dalam pesantren yang diasuhnya. Tidak hanya sekadar teori, ia juga membekali para santri dengan keterampilan pertanian ramah lingkungan.
"Green Islam adalah satu gerakan bervisi rahmatan lil alamin, yang tentu saja ini berhubungan dengan kesetaraan gender dalam perspektif Islam, ketuhanan, perspektif Alquran, berbasis sosial," jelas Nissa, dikutip dari Tempo.
Uniknya Pesantren Ekologi Ath-Thaariq Garut hingga Dianggap Kafir karena Didatangi Pemuka Agama Lain
Praktik Lapangan Bertani Menggunakan Metode Tradisional
FAO menyebut Pesantren Ekologis Ath-Thaariq sebagai sekolah lapang petani. Nissa berhasil menyulap lahan satu hektare menjadi lebih produktif dengan menggunakan sistem pertanian tumpang sari. Di sana, ada zona buah-buahan, kolam ikan, zona makanan pokok, aneka sayuran, dan tanaman herbal.
Di lahan itu pula, Nissa mengajari para santri tentang pertanian perkelanjutan secara langsung.
Setiap Minggu, santri diajak praktik lapangan, yakni bertani untuk kebutuhan pangan dan nutrisi seluruh anggota pesantren. Menariknya, Nissa memilih masih menggunakan metode pertanian tradisional dalam mengelola lahan dan mengajarkan ke santri-santrinya.
Mama Sariat Tole: Pelestari Seni Tenun Ikat Alor yang Mendunia
“Kami bertani menggunakan cara yang kuno dan tradisional tetapi kami yakini bahwa model pertanian itu adalah model pertanian yang alternatif, model yang menjaga soal lingkungan, soal ekologi, soal hubungan manusia dengan alam,” jelas Nissa, dikutip dari NU Online.
Kontribusi Nissa dilirik dunia. Ia dikukuhkan menjadi satu dari 25 penerima penghargaan Pahlawan Pangan (Food Heroes) FAO 2024. Peran Nissa dinilai sangat besar karena mampu membawa narasi pentingnya pertanian keluarga dan agroekologi, serta mampu mengajarkan dan mempraktikkan langsung model pertanian berkelanjutan.
Penghargaan dari Organisasi Pangan dan Pertanian PBB ini diberikan pada Pembukaan Global Family Farming Forum di Roma, Italia, sekaligus memeringati Hari Pangan Sedunia pada 16 Oktober 2024.
Indonesia Punya Melon Hitam, Varietas Baru Temuan Mahasiswa S3 UB
Sejarah Pesantren Ekologis Ath-Thaariq Garut
Berdirinya Pesantren Ekologis Ath-Thaariq Garut cukup menarik. Pendirinya, Nissa dan Ibang yang kini menjadi pasangan, dahulunya merupakan sesama rekan aktivis.
Keduanya menjadi bagian dari Forum Pelajar dan Mahasiswa Garut pada 1991. Di organisasi tersebut, keduanya bersama rekan-rekannya kerap mengadvokasi beragam kasus agraria, terutama para petani yang jauh dari kata sejahtera.
Aktivitas dan advokasi yang dilakukan Nissa tidak berhenti di sana. Pada 1994, ia mendirikan Serikat Petani Pasundan (SPP). Akan tetapi, cita-citanya untuk membantu para petani lewat organisasi itu tidak menemukan ujung yang diharapkan. Petani masih dihadapkan berbagai kasus agraria.
Melihat Peluang Budi Daya Cacing dari Sosok Lilis: Hadirkan Cacing Kering dan Bubuk Cacing
Hal yang menjadi fokusnya ialah bagaimana petani yang justru tidak berdaulat pangan. Strategi tanaman monokultur yang diterapkan petani tidak jarang malah membebani mereka. Oleh karena itu, Nissa bertekad untuk membagikan pemahaman yang ia peroleh mengenai holtikultura.
“Karena sepertinya penguasaan lahan saja tidak cukup. Mungkin mereka terjebak oleh revolusi hijau. Tanaman yang mereka tanam jadi monokultur,” jelasnya.
Ia kemudian memutuskan untuk mendirikan pesantren ekologi bersama suaminya, Ibang, setelah menikah. Berbekal pemahaman dan semangat yang sama, keduanya akhirnya mendirikan Pesantren Ekologi Ath-Thaariq pada 2008.
Sosok Suswaningsih, PNS yang Berjuang Hidupkan Lahan Tandus di Gunungkidul
Awal pembentukan pesantren ini, mereka menyewa lahan seluas 6000 meter milik PT Kereta Api Indonesia yang menganggur dengan harga Rp600 per meternya. Saat ini, lahan seluas satu hektare telah menjadi milik Pesantren Ekologi Ath-Thaariq.
Nissa mengungkapkan, tujuan mendirikan Pesantren Ekologi Ath-Thaariq adalah sebagai pusat sistem pengetahuan pertanian yang berorientasi pada penyelamatan dan kepedulian terhadap ekosistem alam.
“Jadi pesantren ini sebagai bagian dari gerakan sosial, gerakan ekonomi, dan gerakan ekologi yang berkeadilan,” imbuh Nissa.
Fatonah, Maestro dari Sukapura yang Belajar Batik Secara Diam-Diam
Menariknya, pesantren Ekologi Ath-Thaariq hanya menerima 30 santri. Alasannya, agar kebutuhan para santri masih terjamin dan terpenuhi yang diambil dari hasil panen di lahan pesantren.
"Kalau santrinya lebih dari 30 akan kacau balau (pemenuhan kebutuhannya)," terang Nissa, dikutip dari Tempo.
Nissa dan Ibang membagi tugas untuk pengelolaan pesantren ini. Nissa banyak mengambil peran dalam hal lingkungan, sedangkan Ibang yang memang keturunan pemilik pondok pesantren lebih mengajarkan bidang keagamaan.
Endang Rohjiani, Aktivis Lingkungan dari Yogyakarta yang Perjuangkan Ekosistem Sungai Winongo
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News