saat urusan rumah jadi bahasa universal perlawanan para perempuan - News | Good News From Indonesia 2025

Saat Urusan Rumah Jadi Bahasa Universal Perlawanan Para Perempuan

Saat Urusan Rumah Jadi Bahasa Universal Perlawanan Para Perempuan
images info

“Nih, saya nyuci masih ngucek. Noh, anggota DPR gaji tunjangan 3 juta per hari,” kata salah seorang ibu dalam aksi demo Kamis, 28 Agustus 2025 di Kompleks Parlemen, Senayan.

Dalam video yang diunggah oleh akun Instagram @watchdoc_insta, ia tampak mencuci di sela aksi. Ia menjemur beberapa helai kain di atas tanaman setinggi lutut di pinggir trotoar.

Sementara itu, di sampingnya ada ember plastik biru. Namun, sebenarnya tidak ada air di dalamnya. Sengaja, ia mencuci tanpa air.

Aksi teatrikal ini menyindir kenyataan bahwa masyarakat sulit mendapatkan air bersih. Air telah menjadi komoditas yang dikapitalisasi, baik swasta maupun negara.

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, rata-rata gaji buruh di Indonesia hanya Rp2,84 juta per bulan. Ironisnya, jumlah tersebut hampir setara dengan gaji dan tunjangan anggota DPR per hari.

Sang ibu menyindir, saat masyarakat harus langganan air bersih, para wakil rakyat bisa saja mandi menggunakan air bermerek. Sedangkan, merek air yang sama biasanya digunakan sebagai air minum masyarakat. Artinya, ada ketimpangan yang cukup tajam.

“Mereka pasti sewa sewa pembantu. Kalau nggak, laundry. Mereka (juga) mandi pake air Aqua kali,” tegasnya.

Kisah Ibu-Ibu Berhadapan dengan Polisi Saat Aksi: Catatan Orde Baru hingga Reformasi

Narasi Domestik sebagai Strategi Perlawanan

Kisah di atas hanyalah secuil gambaran dari strategi perempuan dalam melawan. Mereka membawa narasi domestik ke jalan, ke depan gedung parlemen, atau ke mana pun saat berjuang. Sebab, pemenuhan kebutuhan domestik merupakan hak asasi manusia.

Hak-hak tersebut dapat berupa hak akan pemenuhan pangan dengan gizi berimbang, hak akan standar hidup yang layak, hak atas pelayanan kesehatan, hak atas air bersih dan sanitasi, hingga hak akan pendidikan.

Ini artinya, perempuan tidak hanya memperjuangkan dirinya sendiri, melainkan hak tiap-tiap manusia.

Potret The Power of Emak-Emak Kala Demonstrasi

“Ya, narasi domestik menjadi strategi perlawanan karena persoalan domestik ini menyangkut hak hidup paling asasi bagi manusia: pengurusan sandang, pangan, papan, di mana perempuan kerap dilekatkan pada tanggung jawab atas urusan tersebut,” tegas Ika Ardina, aktivis Suara Ibu Indonesia, saat dihubungi langsung oleh GNFI.

Ruang domestik bukan sekadar ranah pribadi dan terbatas pada perempuan di dalam rumah tangga. Di sanalah wajah paling konkret dari kebijakan negara tercermin.

Kenaikan harga pangan hingga biaya kesehatan yang mencekik, pada akhirnya dirasakan di lingkup keluarga. Dari sini pula, ketidakadilan sistemis dapat dibawa dan disuarakan dengan lantang.

Tunggu Tubang: Peran Perempuan Semende Menjaga Kedaulatan Pangan

Urusan Domestik adalah Bahasa Universal dari Perlawanan

Membawa narasi domestik dalam sebuah perlawanan merupakan strategi yang cukup sederhana. Apa yang dibawa, dapat dengan mudah dipahami oleh masyarakat luas. Sebab, urusan domestik sangat dekat dengan realitas.

“Strategi ini efektif karena domestik adalah bahasa yang dimengerti masyarakat luas,” imbuh Ika.

Mengapa strategi ini begitu efektif? Karena urusan domestik adalah bahasa universal. Semua orang, tanpa kecuali, memahami betapa pentingnya dapur tetap mengepul, anak mendapat susu, dan keluarga bisa makan.

Membawa urusan rumah ke jalan membuat kritik lebih dekat dengan masyarakat dan bukan hanya wacana elit. Sebab, tuntutannya menyentuh masalah langsung yang dirasakan keluarga kecil dan orang biasa. Bahasa inilah yang menghubungkan kelas sosial manapun, melintasi sekat pendidikan, pekerjaan, bahkan ideologi.

“Simbol domestik bisa dibaca sebagai komunikasi politik yang kuat. Sapu, panci, daster, hingga bahasa ibu adalah tanda yang langsung dikenali publik. Mereka meruntuhkan jarak antara ‘politik tinggi’ dan keseharian rakyat. Justru karena akrab, pesan itu lebih mudah diterima. Ia bukan jargon elite, melainkan suara rakyat sendiri,” jelas Ika.

Elly Warti Maliki, Perempuan Minang yang Mengubah Masa Depan Anak-Anak TKI di Arab Saudi Lewat Pendidikan

Jejak Perjuangan Perempuan dengan Membawa Urusan Domestik

Di Indonesia, narasi domestik telah dibawa dalam perjuangan sejak tahun 1998. Saat itu, para ibu yang tergabung dalam Suara Ibu Peduli (SIP) menggaungkan mahalnya harga susu saat demo di Bundaran HI. Ibu-ibu ini tidak bisa secara terang-terangan membawa spanduk “Turunkan Soeharto”, sehingga mereka membawa urusan domestik.

“Puncaknya, perempuan bisa bersuara meski harus dengan cara-cara politis, seperti turunkan harga susu. Jadi seolah-olah itu ibu-ibu yang demo, mencerminkan ibuisme juga. Jadi strategi demonya begitu,” kata Mariana Amiruddin, komisioner Komnas Perempuan, dikutip dari Historia.

Terbaru, ratusan perempuan yang tergabung dalam Aliansi Perempuan Indonesia (API) turun ke jalan, tepatnya di depan gedung DPR pada Rabu (03/09/2025). Mereka mendesak Presiden Prabowo menghentikan kekerasan dan tindakan represif aparat terhadap masyarakat yang melaksanakan rangkaian demonstrasi sejak Kamis, 29 Agustus 2025.

Walau tuntutan yang disuarakan tidak berkaitan langsung dengan urusan rumah tangga, mereka membawanya ke ruang publik melalui simbol-simbol domestik.

Para perempuan membawa sapu sebagai senjata. Dengan bangga, mereka mengangkat tinggi-tinggi sapu lidi yang telah dibawa, sebagai simbol pembersihan pemerintah dan parlemen yang dipenuhi perilaku koruptif dan kekerasan.

"Kita bawa sapu untuk apa? Untuk menyapu koruptor yang banyak di gedung DPR," ujar Echa Echa Waode, aktivis Arus Pelangi oganisasi nirlaba yang berfokus pada perlindungan LGBTQ.

Cerita Inspiratif Masnu’ah: Pejuang Hak Nelayan Perempuan dari Pesisir Demak

Para perempuan ini juga mengenakan warna merah muda. Tema warna yang dipilih terinspirasi dari aksi seorang ibu berkerudung pink yang terlibat dalam demonstrasi akhir Agustus lalu. Ibu itu tampak berhadap-hadapan dengan barikade polisi. Dalam satu momen, dengan nyali penuh ia memukul barikade aparat menggunakan tongkat.

Warna pink yang dahulu dinilai sebagai warna yang feminin, lembut, manis; kini menjadi lambang perlawanan.

"Selain kemarahan, baju pink ini juga memunculkan keberanian," ujar Mutiara Ika, aktivis dari Perempuan Mahardhika, sebagaimana dikutip dari BBC.

Nyai Ageng Serang, Perempuan dalam Perang Jawa (Bagian 1)

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Aslamatur Rizqiyah lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Aslamatur Rizqiyah.

AR
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini

🚫 AdBlock Detected!
Please disable it to support our free content.