- Karya sastra bukan buku sejarah, tapi karya sastra bisa menjadi narasi sejarah, narasi atas realitas
- Banyak karya sastra mengisahkan realitas yang tidak tercantum dalam buku sejarah, misalnya novel Laut Bercerita, Maryam, dan Amba.
"Sejarah sastra Indonesia adalah sejarah sastra perlawan." Kalimat tersebut diungkapkan secara tegas oleh Okky Puspa Madasari atau yang biasa dikenal sebagai Okky Madasari, seorang sastrawan, sosiolog, juga aktivis.
Ia menarik jauh ke belakang bagaimana peran sastra sebagai medium perlawanan yang jamak dilakukan oleh para sastrawan, bahkan jauh sebelum hadirnya Balai Pustaka.
Sebut saja Hikayat Kadiroen, novel karya Semaoen yang mengungkapkan kegelisahan pengarang atas kesewenang-wenangan penegak hukum yang berat sebelah dan hanya melayani kaum penggede dan menindas pribumi.
Mengenal Mieko Kobayashi, Mahasiswi Jepang Pertama yang Pelajari Sastra Indonesia
Sayangnya, nama Semaoen hampir tidak pernah terlihat dalam daftar sejarah sastrawan yang turut andil merangkai sejarah sastra Indonesia. Keterlibatannya dalam Partai Komunis Indonesia (PKI) menjadi salah satu faktor terbesar nama Semaoen tidak berada di jajaran para sastrawan sebelum kemerdekaan.
Tidak hanya Semaoen, nama para penulis Tionghoa juga lenyap dari arsip sejarah sastra Indonesia. Mereka tidak pernah ada dalam sejarah sastra Indonesia. Alasannya, para penulis Melayu-Tionghoa saat itu tidak menggunakan bahasa Melayu yang baku.
Pada zaman itu, karya-karya mereka menggunakan bahasa “Melayu rendah”. Ciri kebahasaannya lebih spontan dan hidup. Bahasa ini merupakan bahasa sehari-hari yang digunakan oleh kalangan penulis bumiputera, bukan bahasa tinggi versi Balai Pustaka.
Mengenal Hasnan Singodimayan: Maestro Sastra dan Pejuang Budaya Osing Banyuwangi
Pembakuan bahasa yang dilakukan Balai Pustaka meredam gejolak perlawanan dari sastra yang dihasilkan para penulis peranakan Tionghoa.
“Pertama karena mereka dianggap menulisnya bukan dalam melayu yang baku. Kedua, mereka sengaja disingkirkan karena mereka Tionghoa. Padahal masyarakat Tionghoa juga punya peran besar dalam membangun kebudayaan Indonesia,” jelas Okky kepada GNFI.
Baru-baru ini Menteri Kebudayaan, Fadli Zon juga menampik kasus pelanggaran HAM berat yang menjadikan para Tionghoa sebagai korban utama. Jika Menteri Kebudayaan, Fadli Zon mengatakan bahwa perkosaan massal yang terjadi pada tragedi kerusuhan Mei 1998 adalah sebatas rumor belaka, artinya negara telah berkali-kali menghilangkan jejak peranakan Tionghoa dalam sejarah Indonesia.
Negara melakukan diskriminasi berwujud kekerasan fisik dan diskriminasi rasial berbasis intelektual.
Ke Mana Arah Larinya Riset-Riset di Indonesia?
Penyusunan Sejarah oleh Negara yang Mendiskriminasi Tionghoa
“Sejarah ditulis oleh para pemenang.” Kalimat tersebut seolah menggema di tengah wacana pemerintah untuk menulis kembali sejarah Indonesia. Buku yang disebut menyempurnakan jejak sejarah Indonesia itu akan menjadi “kado” ulang tahun ke-80 Indonesia pada Agustus nanti.
Fadli Zon mengatakan, buku yang sedang proses ini bukan bertujuan merincikan pelanggaran HAM. Oleh karena itu, narasi sejarah yang dirumuskan ulang ini akan lebih positif; menekankan pencapaian bangsa dalam rangka memperkuat integritas nasional.
Menteri Kebudayaan, Fadli Zon juga mempertanyakan keabsahan dari salah satu kasus HAM berat di Indonesia, kasus pemerkosaan massal terhadap para perempuan, khususnya Tionghoa saat kerusuhan Mei 1998. Menurutnya, peristiwa itu tidak ada di dalam buku sejarah sehingga pemerkosaan terhadap perempuan etnis Tionghoa adalah cerita belaka.
Rena Herdiyani, anggota lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang fokus kepada isu perempuan, Kalyanamitra, menanggapi pernyataan tersebut dan mengungkapkan bahwa penyangkalan atas kekerasan oleh negara merupakan bagian dari pola impunitas yang dilanggengkan negara. Negara seharusnya mengakui secara sadar dan resmi atas apa yang terjadi.
Perkosaan Massal 1998 Nyata Adanya, Apa Pelajaran yang Bisa Kita Ambil?
"Pernyataan pejabat publik yang menyangkal kasus pelanggaran HAM adalah bagian dari pola impunitas yang terus-menerus terjadi pada kasus-kasus pelanggaran HAM berat di Indonesia." kata Rena lagi.
Masih dalam proyek penggarapan narasi sejarah, Sejarawan Mohammad Refi Omar Ar Razy juga mempertanyakan urgensi penulisan ulang sejarah Indonesia. Sebab, proyek penulisan sejarah ini masih tidak menyentuh tanah. Artinya, narasi sejarah masih dalam versi pemenang, dalam hal ini pemerintah yang menciptakan narasi tunggal.
"Narasinya masih sangat Indonesia sentris, sangat elite, tidak dekat dengan masyarakat," katanya.
Kece! Puisi Chairil Anwar Ditampilkan di Subway Korea Selatan, Bukti Sastra Indonesia Mampu Menembus Dunia
Peran Sastra sebagai Arsip Sejarah
Di tengah derasnya narasi sejarah yang kerap diklaim sebagai kebenaran tunggal, sastra hadir sebagai suara alternatif yang menyampaikan suara-suara dari kelas bawah bahkan terpinggrikan. Ia bukan sekadar seni yang berbicara dalam fiksi, tapi juga wadah imajinasi yang mampu merekonstruksi realita.
Sebagaimana yang diungkapkan Okky Madasari, “Bangunan imajinasi seorang sastrawan itu didukung oleh refleksi dia terhadap atas apa yang terjadi di realita, atas apa yang terjadi di masa lalu, atas visi dia tentang bagaimana sebuah masyarakat di masa depan.”
Refleksi itu membuat sastra tidak hanya menjadi cermin, tetapi juga lensa pembesar atas realitas. Sastra tidak sekadar meniru, tetapi merefleksikan dan mengimajinasikan ulang.
Tentang SARA yang Seharusnya Tidak Lagi Dibatasi dalam Karya Sastra
Lewat karya sastra, masa lalu tidak sekadar diingat, tapi juga dipertanyakan, ditafsirkan ulang, bahkan dibongkar. Untuk itu, sastra mengandung kebenaran. Kebenaran yang tidak ditemukan di buku teks.
Meski demikian, perlu dicatat bahwasastra bukanlah teks sejarah. Sastra hanyalah cerita fiksi yang dibangun atas sejarah. Untuk itu, sastra bagaimanapun tidak bisa dijadikan sebagai satu-satunya acuan dalam menelisik sejarah.
Sebab, narasi resmi sejarah disusun dengan metode dan struktur tertentu, sedangkan sastra melangkah di jalan sunyi imajinasi.
“Karya sastra itu bukan buku sejarah, tapi karya sastra bisa menjadi narasi sejarah. Narasi sejarah itu lain dengan buku sejarah. Ia adalah imajinasi tentang realitas, tentang perjalanan sebuah bangsa,” ungkap Okky.
Dalam hal ini, karya-karya sastra menjadi semacam ‘arsip hidup’ yang menangkap fragmen-fragmen sejarah yang tercecer dari catatan resmi. Ia menambahkan bahwa justru ketika sejarah mengabaikan sebuah fakta, sastrawan akan lebih gigih menuliskannya.
Strategi Kemendikdasmen Tingkatkan Literasi Lewat Sastra, dari Pembiayaan Komunitas hingga Kenalkan ke Anak-Anak
Sastra Menolak Narasi Tunggal
“Kenapa kita terus berkarya? Karena kita tidak menghendaki adanya narasi tunggal di Indonesia. Karya sastra mempertanyakan status quo, mempertanyakan nilai-nilai yang dominan dalam masyarakat,” tegas Okky.
Sastra adalah antitesis dari otoritarianisme pengetahuan. Ketika sejarah resmi hanya menulis apa yang ‘layak’ dicatat, sastra menyuarakan yang tidak terdengar. Ia mendengarkan suara-suara yang luput, yang dibungkam, yang diasingkan.
Melalui sastra, pembaca tidak hanya menerima sejarah, tapi juga menafsirkannya ulang. Karya sastra menjadi cara untuk mempertanyakan, “Benarkah yang tertulis di buku ini? Bagaimana dengan versi lain? Bagaimana dengan mereka yang tak tercatat?”
Maka ketika sejarah ditulis oleh para pemenang dan penguasa, sastra hadir memberikan ruang bagi suara-suara yang termarginalkan.
Nenek Renia, Satu dari Sekian Penutur Sastra Lisan “Korehan” yang Masih Setia
Ambil contoh, novel Maryam karya Okky Madasari yang memberikan perspektif lain tentang bagaimana para penganut Ahmadiyah bertahan hidup dan teguh dengan kepercayaannya saat mereka menjadi korban diskriminasi oleh mayoritas. Novel ini menjadi antitesis dari narasi pemerintah dan mayoritas yang menganggap para penganut Ahmadiyah adalah kaum sesat.
Laut Bercerita karya Leila S. Chudori mengungkap bagaimana kekerasan menjadi senjata utama negara dalam melumpuhkan gerakan para mahasiswa saat 1998 menjelang Reformasi. Atau novel Amba karya Laksmi Pamuntjak yang juga menggambarkan bagaimana negara lagi-lagi melumpuhkan gerakan Partai Komunis Indonesia (PKI) melalui jalan kekerasan pada tahun 1965.
Sastra adalah jejak imajinasi yang mencatat sejarah bukan sebagai rangkaian fakta, tetapi sebagai pengalaman batin manusia. Ia menampung suara-suara yang tercecer dari arsip negara, membentuk empati dari rasa, bukan data.
Sastra tidak menuntut kita percaya, tapi mengajak kita bertanya. Dan dalam pertanyaan-pertanyaan itulah, sejarah menjadi milik semua, bukan hanya milik mereka yang menang dan dominan.
Konsep Baru Pendidikan Indonesia, Rencana Deep Learning Ful-Ful Hingga Sastra Indonesia Jadi Kurikulum
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News