Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) saat ini tengah menjadi sorotan masyarakat, ini tak lepas dari tunjangan besar dan gaya hidup mewah anggotanya, Tetapi dalam sejarah, DPR juga mempunyai pemimpin yang memilih hidup sederhana.
Sosok bernama Idham Chalid ini adalah Ketua DPR pada periode 1971-1977. Tokoh besar Nahdlatul Ulama (NU) ini hidupnya jauh dari kesan kemewahan yang sering melekat pada pejabat tinggi di Indonesia.
Dimuat dari akun @goodrecom di X dijelaskan bagaimana Idham Chalid mengharamkan fasilitas negara digunakan untuk kepentingan keluarganya. Bahkan anaknya perlu berjualan air dan pakai metromini untuk kegiatan sehari-hari.
“Kepada istri-istrinya dia selalu berpesan. Anak-anak hanya boleh makan dari gaji saya, agar mereka terjaga dari uang haram!”
Integritas Idham Chalid bukan hanya sebatas isapan jempol, melainkan sebuah prinsip hidup. Pesan tersebut menjadi bukti nyata bagaimana Idham Chalid berupaya keras memastikan bahwa keluarganya hidup dari penghasilan halal.
“Tidak ada fasilitas negara bagi keluarga. Anak-anaknya lebih memilih berwirausaha dan tidak terjun ke politik, meski ayahnya pejabat tinggi negara,” tambahnya.
Hidup sederhana di ruang politik
Grandy Ramadhan mengenang sosok kakeknya sebagai pribadi yang sederhana.dan rendah hati. Padahal saat itu Idham Chalid memegang jabatan yang cukup tinggi di pemerintahan.
Dia mengingat setiap kali keluarga berpergian ke suatu tempat, sang kakek selalu memilih tempat menginap yang sederhana, tetapi tetap nyaman daripada harus tinggal di tempat yang mewah dan mahal.
“Beliau sangat anti hidup bermewah-mewahan, bahkan untuk barang-barang yang beliau pakai pribadi tetap lebih mengutamakan fungsi dibandingkan kemewahan barangnya. Itu yang beliau tanamkan ke anak-anak dan cucu-cucunya. Saya banyak diajari oleh beliau,” ujar Grandy yang dimuat dari Historia.
Siti Rokayah, istri dari Idham Chalid membenarkan sifat tegas suaminya yang menolak menggunakan fasilitas negara untuk kepentingan keluarga. Sejak awal pernikahan, prinsip tersebut sudah diwanti-wanti Idham kepadanya.
“Saya sudah diperingatkan. Kamu saya haramkan memakai uang dari orang lain. Kamu hanya boleh makan dari gaji pak Idham. Kalau ada tamu bawa makanan, saya boleh makan. Tapi kalau uang hanya boleh dari gaji suami. Hati-hati anakmu, jangan sampai darahnya mengalir uang haram.” jelasnya.
Karena prinsip itu, Siti Rokayah mengaku tidak mendapatkan uang belanja berlebihan. Bahkan bisa dibilang, nilai uang belanjanya tidak berubah selama bertahun-tahun. Tetapi, selama bertahun-tahun tetap mencukupi kebutuhan mereka.
Selama menjadi pejabat pemerintah, Idham Chalid tidak mempunyai bisnis atau menjadi komisaris. Dia juga tidak menggunakan mobil dinas dan memilih angkutan umum untuk bepergian, termasuk dengan keluarganya.
“Bapak kan pejabat ya, Tapi tidak ada mobil dinas. Kemana-mana kami naik metromini. Kalau ke rumah sakit, zaman dulu kan ya ada Rumah Sakit Pertamina ya. Yg naik metromini,” ucapnya.
Setelah tak lagi menjabat di pemerintahan, Idham Chalid mendapatkan uang pensiun sebesar Rp1,1 juta dari DPR, lalu ada juga uang dari Pemerintahan DKI Rp1,5 juta. Siti Rokayah merasa yang ditinggalkan oleh suaminya sudah cukup.
“Buat nyambung-nyambung hidup,” katanya.
Karir politik kiai sederhana
Idham Chalid lahir di Setui, dekat Kecamatan Kotabaru, bagian tenggara Kalimantan Selatan pada 27 Agustus 1921. Sejak kecil Idham mendapat pendidikan agama yang baik dari keluarganya.
Pada usia 30 tahun Idham dipercaya sebagai Sekretaris Jenderal (Sekjen) Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU). Empat tahun setelah menjadi sekjen, Idham diberi kepercayaan menjadi Ketua Umum PBNU.
Idham telah duduk menjadi Dewan Perwakilan Rakyat Sementara (DPRS) pada tahun 1950. Setelah mendirikan Partai NU, Idham mendapatkan jabatan sebagai Wakil Perdana Menteri setelah Pemilu 1955.
Pada zaman Orla hingga Orba, Idham menjabat posisi penting seperti Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) (1963-1966), Menteri Kesejahteraan Rakyat (1966-1967, 1967-1968 dan 1968-1973), Ketua DPR/MPR (1971-1977).
Setelah tidak lagi berkecimpung di dunia politik, Idham memimpin Perguruan Darul Ma’rif di Cipete Selatan, Jakarta Selatan, Lembaga Pendidikan Darul Qur’an dan Rumah Yatim di Cisarua, Bogor.
Idham menghembuskan nafas terakhirnya pada 11 Juli 2010, setelah berjuang menghadapi sakit sejak 1999. Sosok kiai kharismatik dan sederhana ini kemudian diabadikan oleh Bank Indonesia dalam uang pecahan Rp5 ribu.
Sumber:
- Bukan Puan Maharani, Ini Kisah Idham Chalid: Ketua DPR Termiskin yang Hidupnya Sederhana
- Jalan Hidup Idham Chalid
- Jadi Ikon Rupiah Baru, Seperti Apa Sosok Pahlawan Nasional Idham Chalid?
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News