tentang sara yang seharusnya tidak lagi dibatasi dalam karya sastra - News | Good News From Indonesia 2025

Tentang SARA yang Seharusnya Tidak Lagi Dibatasi dalam Karya Sastra

Tentang SARA yang Seharusnya Tidak Lagi Dibatasi dalam Karya Sastra
images info

“Seni untuk rakyat”, sebuah konsep yang meyakini bahwa seni bukan hanya menghibur, tetapi juga sebagai bentuk media perjuangan dan perwajahan rakyat, utamanya kelas terpinggirkan. Seni untuk rakyat menempatkan kesenian—termasuk karya sastra—sebagai media penggambaran situasi, kondisi, dan realitas sosial.

Dalam sastra, konsep tersebut dikenal sebagai teori mimesis. Teori mimesis yang dicetuskan oleh Plato ini menganggap karya sastra sebagai tiruan dari kehidupan nyata. Sastrawan dapat mereplikasi berbagai hal dari dunia nyata, termasuk konflik, peristiwa, jalan cerita, latar sosial dan budaya dalam masyarakat, dan masih banyak lagi.

Oleh karena itu, pembatasan karya sastra untuk tidak menyinggung suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA), seharusnya tidak lagi relevan. Sebab, SARA menjadi bagian dari realitas sosial itu sendiri dan sastra menjadi suatu bentuk ekspresi seni yang juga berpeluang mempersoalkan berbagai peristiwa di dunia nyata, termasuk SARA.

Mengenal Hasnan Singodimayan: Maestro Sastra dan Pejuang Budaya Osing Banyuwangi

Hal ini yang tengah diperjuangkan oleh Prof. Aprilus Salam, Dosen Departemen Sastra dan Bahasa, Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Gadjah Mada (UGM). Menurutnya, sastra seharusnya tidak “bermain” di ruang aman, tetapi justru mengajak masyarakat memahami realitas sosial lebih dekat—realitas yang mungkin tidak diberi ruang lewat jalan apapun.

“Ke depannya saya berharap agar tidak perlu ada lagi syarat ‘tidak boleh menyinggung SARA’ dalam lomba sastra sebab sastra terus menghasut, bersama-sama dalam pencarian menuju dan menjaga kebenaran,” jelas Prof. Aprilus Salam, dalam pidato pengukuhannya sebagai Guru Besar Bidang Ilmu Sosiologi Sastra UGM, Selasa (29/4).

Kece! Puisi Chairil Anwar Ditampilkan di Subway Korea Selatan, Bukti Sastra Indonesia Mampu Menembus Dunia

Melihat Perjuangan Masyarakat dari Novel Populis

Dalam pidatonya yang berjudul “Sastra, SARA, dan Politik Salah Paham”, Prof. Aprilus Salam mengambil contoh Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer sebagai salah satu karya sastra yang dinilai berhasil membawa narasi kekuasaan dan SARA.

Novel tersebut menunjukkan secara gamblang rasisme kolonial, feodalisme, ketimpangan gender, dan kapitalisme. Lewat tokoh-tokoh yang dibentuknya, Pram menggiring pembaca agar bertahan dalam rasionalisme yang lebih manusiawi dalam dunia yang setara.

Karya seperti ini lah, imbuh Prof. Aprilus Salam, yang tidak disukai oleh kekuasaan dominan sebab berpotensi melemahkan kekuasaannya.

“Negara takut terhadap adanya sastra membongkar dan memperlihatkan implikasi-implikasi ideologis yang dipraktikkan secara keliru oleh kekuasaan,” ungkapnya, dikutip dari laman UGM.

Nenek Renia, Satu dari Sekian Penutur Sastra Lisan “Korehan” yang Masih Setia

Ketakutan Menyinggung SARA yang Mengakar

Masalahnya, ketakutan menyinggung SARA dalam karya sastra ini dimaknai lain oleh masyarakat. Masyarakat cenderung menghindari SARA agar tidak menimbulkan konflik horizontal yang sebenarnya telah dibentuk oleh penguasa.

Prof. Aprilus Salam menambahkan, “tidak boleh menyinggung SARA” yang menjadi ketentuan sebagian besar perlombaan karya sastra merupakan dampak dari doktrin yang telah mengakar.

“Kondisi ini diduga muncul karena adanya semacam kelatahan sekaligus ketakutan yang telah tertanam sejak lama,” katanya.

Strategi Kemendikdasmen Tingkatkan Literasi Lewat Sastra, dari Pembiayaan Komunitas hingga Kenalkan ke Anak-Anak

Padahal, sastra lewat narasinya yang mengangkat SARA, bertujuan “menghasut” pembacanya agar dapat menerima perbedaan keyakinan dan memahami berbagai kehidupan di baliknya.

“Karena itulah sebabnya sastra yang mempersoalkan SARA dianggap membahayakan negara. Jika membahayakan negara, karya tersebut dilarang beredar,” imbuhnyaa.

Upaya negara melakukan pelarangan unsur SARA dalam karya sastra menurutnya bukan lagi atas nama keamanan bangsa dan negara, tetapi justru atas nama keamanan dan kepentingan kekuasaan politik tertentu.

“Negara yang benar tidak mungkin membiarkan masyarakat hidup dalam kesalahpahaman. Akan tetapi, kekuasaan akan terus melanggengkan kekuasaanya,” tandasnya.

Sedikit Mengenal Sastra Lisan Suku Tetun yang Masih Eksis Hingga Saat Ini

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Aslamatur Rizqiyah lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Aslamatur Rizqiyah.

AR
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini

🚫 AdBlock Detected!
Please disable it to support our free content.