Suku Tetun, Kabupaten Belu, Nusa Tenggara Timur memiliki sebutan tersendiri bagi orang yang berperan dalam melestarikan karya sastra lisan. Suku Tetun menyebut makdean atau mako’an bagi para penyair lisan atau tukang cerita di suku Tetun. Adanya istilah ini membuktikan bahwa orang yang melestarikan tradisi sastra memiliki peran dan fungsi yang sangat penting.
Tidak hanya sebagai penutur sastra lisan, makdean yang biasanya berupa orang tua adat di suku bertugas menjaga keberlangsungan tradisi lisan dan berbagai sistem nilai lainnya. Mereka umumnya berperan sebagai pemimpin atau 'imam ritual' yang juga dipercaya mampu menghubungkan antara anggota suku dengan pendiri suku maupun sang pencipta.
Pada jaman dahulu, makdean menjadi jabatan cukup krusial dalam fungsi ritual. Posisi ini hanya boleh diduduki atau diperankan oleh orang tua-tua adat dari kelompok suku Uma Lia Na 'in. oleh karena itu, segala bentuk tuturan sastra lisan suku Tetun bisa juga disebut dengan istilah Lia Na 'in.
Akan tetapi, saat ini puisi lisan suku Tetun yang juga disebut hamulak ini dapat diucapkan oleh tua-tua adat dari uma manapun asalkan memenuhi syarat-syarat yang sudah ditentukan.
Makna Rumah Adat Suku Tetun di NTT yang Punya Bentuk dan Fungsi Berbeda
Apa Itu Hamulak?
Hamulak dalam suku Tetun merupakan sebuah narasi doa yang diungkapkan menggunakan konvensi bahasa ritual yang berciri liris, puitis, dan metaforis. Mudahnya, hamulak merupakan doa-doa ritual suku Tetun yang dikemas dalam bentuk puisi.
Orang Tetun percaya bahwa bahasa ritual merupakan bahasa para leluhur yang harus menggunakan kosa kata unik serta memiliki aturan tersendiri yang khas pada hamulak. Terkadang, dalam berbagai kepentingan ritual formal, penuturan hamulak dilaksanakan dengan lagu (dilagukan).
Tari Kanjar dan Tari Ganjur dari Kutai Kartanegara Ternyata Berbeda
Hamulak dituturkan di beberapa acara penting, seperti pembangunan rumah adat (uma lulik), upacara pemikahan, kematian, pembukaan lahan baru, panen, dan masih banyak lagi.
Tradisi hamulak mengandung sistem nilai religius masyarakat. Nilai inilah yang mampu membuat tradisi hamulak masih tetap diciptakan, diapresiasi, dan dihayati sebagai satu-satunya bentuk sastra oleh masyarakat sampai saat ini.
Menariknya, tradisi hamulak suku Tetun ini tetap hidup walaupun adanya penyebaran agama Kristen di Belu. Tradisi adat Tetun justru dimanfaatkan dalam pengembangan agarna Katolik, dengan sedikit menggeser nilai-nilainya, yaitu dari nilai ritual religius animisme dan dinamisrne ke nilai-nilai religius Katolik.
Mengenal Ragam Keunikan Suku Tetun dari Nusa Tenggara Timur
Beluk, Syair-Syair Indah dalam Pantun
Selain hamulak, masyarakat Tetun juga memiliki beluk. Beluk merupakan suatu nyanyian yang berupa syair-syair pantun yang dilakukan oleh perernpuan dan laki-laki.
Perbedaan kesenian beluk dengan hamulak terletak pada bentuk, fungsi, dan makna. Jika hamulak lebih bersifat sakral, beluk justru lebih fleksibel dan sebagai hiburan.
Pada tahun 1930 – 1980-an sastra lisan beluk ini digunakan oleh para generasi muda untuk rnencari jodoh saat rnenurnbuk sagu sebagai rnakanan pokok pada bulan purnama atau fulan mosu. Akan tetapi, saat sagu tidak lagi menjadi makanan pokok, saat ini, kesenian beluk kerap digunakan sebagai hiburan.
Suku Benuaq, Suku Dayak Lawangan yang Terkenal dengan Ramuan Kecantikan
Referensi:
Nuryahman & Ida Bagus Sugianto. 2019. Etnografi Suku Tetun Di Daerah Perbatasan Kabupaten Belu Provins! Nusa Tenggara Timur. Kepel Press
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News