Pada 10 Januari 1966, mahasiswa melakukan demonstrasi besar-besaran di Jakarta. Hal ini merespon krisis politik dan tata ekonomi yang buruk pada rezim Soekarno sejak periode 1963 hingga sekitar 1966.
Ketika itu terjadi hiperinflasi yang mencapai angka enam ratus persen. Harga-harga bahan baku meroket yang mulai terasa di wilayah non-perkotaan sejak 1963. Ketika krisis mencapai kota, mahasiswa turun ke jalan.
Pukul setengah 9, 10 ribu mahasiswa bergerak dari Kampus Universitas Indonesia Salemba menuju Senayan. Mereka menghimpun diri di titik tujuan yang direncanakan sebelumnya yaitu Gedung Dewan Perwakilan Rakyat-Gotong Royong (DPR-GR).
Massa yang mengorganisasikan diri dalam Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) ini menelurkan Tiga Tuntutan Rakyat (Tritura) yaitu Bubarkan PKI, Ganyang Menteri Plintat-Plintut, dan Turunkan Harga Bensin.
“Sepanjang tahun 1966 KAMI melancarkan aksi-aksi dan demonstrasi-demonstrasi yang mendapat dukungan dari masyarakat karena sifat mereka yang non-konformis dan tuntutan-tuntutan yang mereka bawakan,” kata Francois Railon, peneliti sejarah Indonesia yang dimuat dari Merah Putih.
Aksi unjuk raja ketika berpuasa
Deklarasi Tritura membuat segenap rakyat Indonesia merasa terwakili. Para mahasiswa tidak hanya berdemo di satu tempat, mulai dari Istana Negara, Istana Bogor, Jalan Jakarta hingga gedung-gedung kementerian.
Aksi unjuk rasa yang bertepatan dengan bulan Ramadhan ini tidak membuat mahasiswa kehilangan semangat. Yozar Anwar dalam buku Angkatan 66: Sebuah Catatan Harian menyebut 10 Januari sebagai Hari Kebangkitan Mahasiswa.
Digambarkan bagaimana para mahasiswa mampu menjaga solidaritas secara ketat. Di bawah terik panas matahari bulan Ramadhan, para aktivis mahasiswa tetap mempertahankan puasanya.
Hal senada diungkapkan oleh Christianto Wibisono dalam buku Aksi-aksi Tritura: Kisah-kisah sebuah Partnership 10 Januari - 11 Maret 1966 yang menyebut mahasiswa non-muslim menahan diri untuk tidak merokok dan makan sebutir permen.
“Semua massa KAMI ini bertekad menunggu sampai ada seorang menteri atau waperdam yang muncul menerima Tritura,” katanya.
Soe Hok Gie, aktivis dan mahasiswa angkatan 66 melihat sendiri pengunjuk rasa tidak gentar sama sekali. Mereka aktif menyuarakan hati nuraninya dalam mimbar aksi, nyanyian dan selebaran.
Kehadiran panser tidak membuat nyali pengunjuk rasa ciut. Mereka malah bersiasat untuk serentak tidur di jalan. Spontanitas itulah yang membuat aparat keamanan mundur dan beberapa bersimpati kepada mahasiswa.
“Aku dapat membayangkan betapa jujur dan beraninya mahasiswa-mahasiswa Indonesia. Demonstran ini ingin bertemu dengan Chairul Saleh, master of mind dari kenaikan harga. Dia tidak ada dan para demonstran menantinya.”
“Mereka memblokir Jalan Nusantara, Harmoni, dan duduk-duduk di jalan sehingga agama Islam, menjalankan sembahyang di tengah jalan. Waktu itu adalah bulan Puasa. Betapa mengharukannya. Mereka bersujud pada-Nya di tengah matahari, mereka berpuasa, mereka menyembah Tuhan dan mereka berjuang untuk rakyat yang melarat. Baru pukul 16.30 sore mereka bubar setelah Chairul ke luar,” tutup Gie dalam catatan hariannya di buku Catatan Harian Seorang Demonstran (2011).
Lahirnya Supersemar
Setelah sepekan berhenti karena merayakan Lebaran, tuntutan mahasiswa semakin membesar. Tuntutan pembubaran PKI yang tidak segera dipenuhi berubah menjadi desakan agar Bung Karno turun tahta.
Presiden lalu mengundang delegasi mahasiswa untuk menghadiri Sidang Kabinet Dwikora pada 15 Januari 1966 di Istana Bogor. Tetapi yang diundang bukan KAMI, namun Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI).
Hasil rapat kabinet ternyata tidak memuaskan para mahasiswa. Bahkan presiden mengkritik cara-cara KAMI dan rombongannya dalam melancarkan unjuk rasa. Bung Karno juga tidak mau disalahkan atas melonjaknya harga.
Reshuffle kabinet yang dilakukan pada 21 Februari 1966 malah semakin memanaskan suasana, pasalnya masih banyak tokoh berhaluan kiri yang dimasukkan dalam kabinet. Pada pidatonya, presiden juga masih membela PKI.
Meledaklah unjuk rasa besar-besaran merespon keputusan itu pada Februari 1966. Pada demonstrasi itu, terjadi bentrok antara mahasiswa dengan Resimen Cakrabirawa di depan Istana Negara yang menewaskan mahasiswa UI Arif Rahman Hakim.
Sehari berselang, KAMI dibubarkan paksa oleh presiden sebagai konsekuensi atas kerusuhan tersebut. Tetapi gelora unjuk rasa anti-PKI tidak pernah padam. Bung Karno yang terus terjepit akhirnya mengeluarkan Surat Perintah 11 Maret 1966 (Supersemar).
Sumber:
- Memori Ramadan: Harmoni Demonstrasi Tritura di Tengah Bulan Puasa
- Kisah Demo Mahasiswa Menekan Bung Karno hingga Terbit Supersemar
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News