Pada tahun 2013, Adhiguna Kuncoro mahasiswa tingkat akhir program studi Teknik Informatika ITB memberanikan diri untuk menulis skripsi tentang kecerdasan buatan (AI). Padahal, saat itu, AI masih dipandang sebagai bidang yang abstrak, bahkan olehnya sendiri.
Menurut Ayu Purwarianti, dosen pembimbingnya di ITB, mengambil topik AI saat itu cukup menantang. Sebab, mahasiswa harus masuk ke pemrogaman yang njelimet dan detil.
"Mahasiswa yang tertarik AI saat itu harus mau masuk ke pemrograman yang detail, tidak semudah sekarang. Tapi Adhi sudah menunjukkan motivasi dan kemampuan yang menonjol sejak awal."
Langkah ini ternyata menjadi awal perjalanannya menuju posisi strategis sebagai Senior Research Scientist di Google DeepMind di London.
Adhi disebut sebagai satu-satunya peneliti Indonesia di lembaga riset AI paling prestisius dunia tersebut.
Sempat Mengalami Sindrom Impostor
Perjalanan Adhi bisa dibilang tidak mudah. Setelah lulus dari ITB pada 2009, ia melanjutkan studinya di University of Oxford untuk program master.
Di sana, ia tidak lantas menguasai mata kuliah. Bahkan, pada semester pertamanya, ia merasakan kegagalan.
"Pas di Oxford pun saya semester pertama, dua mata kuliah enggak lulus, salah satunya machine learning, topik penting dalam AI," tuturnya pada BBC Indonesia.
Ia juga sempat mengalami sindrom impostor, merasa tidak pantas berada di antara rekan-rekan yang secara akademik jauh lebih siap. Tapi justru kegagalan itulah yang menjadi titik awal ia kembali membangun semangat dalam dirinya.
"Saya sempat mikir, 'Wah susah banget machine learning', tapi saya pikir namanya juga belajar, dan kalau mau jadi pakar machine learning pasti harus melewati tantangan itu."
Ketekunannya membuahkan hasil. Setelah meraih gelar master dari Oxford, ia mengambil master kedua di Carnegie Mellon University (CMU), Amerika Serikat.
Di sinilah ia semakin mendalami Natural Language Processing (NLP), bidang yang memungkinkan mesin memahami bahasa manusia.
Awal Mula Karir di Google
Pada 2017, Adhi resmi bergabung dengan Google DeepMind. Ia menjadi bagian dari tim inti yang mengembangkan Gemini, chatbot milik Google.
Fokus risetnya adalah membuat AI tidak hanya menghafal kata, tetapi juga memahami struktur bahasa, tata bahasa, hingga makna.
Kemampuan Adhi bisa dibilang mumpuni. Hal ini diungkapkan oleh Marc'Aurelio Ranzato, Direktur Ilmuwan Riset di DeepMind.
"Adhi ketika itu adalah kandidat yang terbaik, dari segi kedalaman dan luasnya pengetahuan serta kreativitas. Khususnya, Adhi membawa keahlian unik dalam pemrosesan bahasa alami (NLP) yang merupakan inti dari pengembangan Large Language Model (LLM) modern," katanya.
Salah satu kontribusi terbesarnya adalah pengembangan metode yang membuat AI seperti Gemini lebih efisien dan terjangkau, sehingga universitas-universitas di negara berkembang seperti Indonesia pun dapat meneliti dan mengembangkannya.
"Model seperti Gemini jangan hanya bisa dikembangkan oleh perusahaan besar seperti Google," tegas Adhi.
Ia juga terlibat dalam proyek besar seperti AlphaCode, sistem AI yang mampu menulis kode komputer setingkat programmer manusia.
Menjadi Jembatan antara Teknologi Global dan Kebutuhan Lokal
Bagi Adhi, kesuksesan di panggung global tidak berarti apa-apa jika tidak membawa dampak bagi kemajuan di tanah air. Ia memiliki misi untuk memastikan Indonesia tidak tertinggal dalam revolusi AI.
"Saya selalu berharap apa yang saya lakukan di sini bisa punya dampak positif untuk Indonesia, entah itu di bidang pendidikan atau kesehatan," katanya.
Ia memberi contoh konkret: "Jumlah guru saat ini masih sedikit, apalagi di pelosok. Murid-murid bisa belajar dengan AI, misalnya yang sudah mahir perkalian, tapi masih perlu latihan pembagian, dapat dilakukan melalui AI."
Ia aktif menjadi jembatan pengetahuan. Pada 2019, ia menginisiasi Machine Learning AI Summer School di Jakarta, dengan sponsor Google senilai Rp500 juta.
"Hal ini terjadi berkat adanya dorongan dari diaspora. Sponsor ini diberikan karena Indonesia dianggap penting," jelasnya.
Ia juga membantu pengembangan dataset bahasa Indonesia yang di-open source untuk publik, dengan dukungan hardware senilai miliaran rupiah dari Google.
Meski demikian, ia tidak menutup mata terhadap risiko AI. Adhi menyadari bahwa dibutuhkan regulasi yang ketat serta literasi digital yang lebih baik untuk bisa memanfaatkan AI secara maksimal.
Pesan untuk Generasi Muda: Berani Bermimpi, Berani Gagal
Bagi Adhi, kunci kesuksesan ada pada mentalitas pantang menyerah dan keberanian untuk bermimpi.
"Kita tidak kalah pintar dibanding orang dari China atau India. Tapi mereka lebih berani bermimpi. Mereka biasa bermimpi kerja di DeepMind, jadi profesor di Harvard, menang Nobel. Orang Indonesia masih jarang punya contoh," ujarnya.
Ia menekankan pentingnya sikap tahan banting dan siap gagal. Ia mencontohkan bagaimana mental orang China dalam menghidupi mimpi.
"Mereka berani gagal, dan coba lagi. Ada yang bahkan berani gadaikan rumah karena percaya pada mimpi mereka. Jadi jangan takut gagal."
Ia pun membuka diri untuk para mahasiswa Indonesia yang ingin meneruskan pendidikan di luar negeri. Adhi dapat berperan sebagai mentor, konselor, atau bahkan teman bagi diaspora Indonesia yang mengenyam pendidikan.
"Kalau ada mahasiswa Indonesia yang ingin kuliah di luar negeri, jangan sungkan untuk menghubungi. Saya ingin berbagi pengalaman supaya lebih banyak anak muda kita bisa menembus panggung dunia."
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News