Berlatar kamar kos di Jatinangor tahun 2000-an, lahir sebuah eksperimen musik dari dua sosok yang kreatif. Mereka adalah Bottlesmoker. Anggung Suherman (Angkuy) dan Ryan Adzani (Nobie) adalah pemain utamanya.
Awalnya, mereka hanya iseng bermain dengan botol-botol bekas dan puntung rokok. Tetapi, percobaan itu berakhir pada ide sekaligus ciri khas mereka untuk menyatukan sains, seni, dan kesadaran ekologis.
Bottlesmoker awal mulanya dibentuk dari keisengan. Angkuy dan Nobie, yang saat itu masih mahasiswa di Universitas Padjadjaran, sering menghabiskan waktu dengan mengumpulkan botol air mineral bekas yang kemudian menjadi tempat puntung rokok.
Dari situlah nama "Bottlesmoker" lahir sebagai sebuah refleksi dari suasana Jatinangor yang panas dan gersang di awal tahun 2000-an.
Musik Indonesia Laris di Malaysia tapi Tak Demikian Sebaliknya, Mengapa?
Bottlesmoker bukanlah nama yang asing bagi penggemar musik elektronik eksperimental di Indonesia. Sejak resmi berdiri pada 2008, duo ini telah dikenal dengan pendekatan DIY (Do-It-Yourself) yang kental.
Mereka menggunakan mainan anak-anak, radio tua, dan perangkat analog untuk menciptakan soundscape yang unik.
Perjalanan kreatif mereka semakin menarik ketika keduanya memutuskan untuk melanjutkan studi S2. Keputusan yang awalnya tak direncanakan itu justru menjadi pintu gerbang menuju eksplorasi yang lebih dalam, tidak hanya tentang musik, tetapi juga tentang budaya dan kearifan lokal Nusantara.
Keunikan mereka ada pada konsep yang digunakan. Mereka tidak hanya menjadikan tumbuhan sebagai inspirasi, tetapi juga sebagai kolaborator aktif dalam proses penciptaan musik mereka.
Batas Aman Volume Headset, Dokter UI Berikan Aturan Aman Mendengarkan Musik
Dari Botol Bekas ke Biosensor
Semangat memberontak terhadap kemapanan memang telah mengalir di dalam diri mereka.
Hal ini ditunjukkan lewat prinsip mendistribusikan musik dengan lisensi Creative Commons. Bagi mereka, musik adalah pengetahuan yang harus dibagikan secara bebas.
Mereka kemudian mulai mendalami etnomusikologi selama studi S2. Du sana, mereka banyak mendapatkan paparan musik tradisional Nusantara, seperti karinding dari Jawa Barat.
Mereka akhirnya menyadari bahwa musik tradisional bukan sekadar hiburan rakyat atau tradisi, melainkan bagian dari ritual yang juga memengaruhi detak jantung. Musik tradisional bahkan mampu membawa pendengarnya pada kondisi trance, kondisi ketika seseorang mengalami perpindahan kesadaran dari pikiran sadar ke pikiran bawah sadar.
Memahami Isu Royalti Musik: Apa Isi Permenkum Nomor 27 Tahun 2025 & Apakah Memutar Indonesia Raya Harus Bayar?
"Ada banyak musik tradisional yang polanya mengulang dan membawa ke tingkat kesadaran trance, sebetulnya tidak jauh berbeda dengan yang dilakukan pemusik elektronik tekno di party. Hal itu sebetulnya canggih sekali," tutur Nobie.
Kesadaran inilah yang membawa mereka pada eksperimen yang berkolaborasi dengan tumbuhan.
Mereka mulai menggunakan perangkat seperti MIDI Sprout, sebuah biosensor yang mampu menangkap sinyal bioelektrik dari tanaman. Sinyal-sinyal ini kemudian diterjemahkan menjadi data MIDI, yang bisa dimainkan melalui synthesizer.
Prosesnya cukup rumit dan membutuhkan kesabaran. Mereka mengumpulkan biodata tanaman, kemudian merekam resonansi suara dari proses penyerapan air dan interaksi lainnya secara acak.
Benarkah Musik Metal Membuat Bahagia? Sains Menjawab: Ya!
Plantasia: Konser untuk Tumbuhan
Eksperimen Bottlesmoker mencapai puncaknya dalam serangkaian konser yang mereka sebut "Plantasia".
Nama itu diambil sebagai sebuah penghormatan kepada musisi elektronik Kanada, Mort Garson, yang pada 1976 merilis album berjudul sama yang ditujukan untuk tanaman.
Berbeda dengan Garson yang membuat musik untuk tanaman, Bottlesmoker membuat musik bersama tanaman. Dalam konser yang digelar pada Juli 2020 di Bandung itu, mereka bermain di tengah-tengah ratusan tanaman yang "dititipkan" oleh para penggemar.
Lebih dari Sekadar Musik, Inilah Manfaat Marching Band bagi Pendidikan Karakter
Suara yang dihasilkan bukanlah suara tanaman itu sendiri, melainkan hasil interpretasi dari biodata mereka yang diolah melalui synthesizer.
Yang menarik, proses kreatif ini tidak hanya tentang inovasi menciptakan musik, tetapi juga tentang memahami bagaimana tanaman merespons suara.
Penggunaan Earphone Kabel Kembali Diminati, Kenapa?
Melalui riset mendalam, mereka menemukan bahwa tanaman menyukai frekuensi tertentu, seperti bagian senar dalam musik klasik yang mampu membuka stomata (pori-pori daun) untuk pertukaran gas. Mereka juga menghindari frekuensi rendah dan lebih banyak menggunakan sampel suara alami seperti kicauan burung dan derasnya hujan karena tanaman meresponsnya dengan lebih positif.
Bahkan, mereka menemukan bahwa emosi negatif manusia dapat menghambat pertumbuhan tanaman. Temuan yang memperkuat keyakinan mereka tentang keterkaitan mendalam antara manusia dan alam.
Di era krisis iklim dan disrupsi teknologi, karya Bottlesmoker mengingatkan kita bahwa inovasi terkadang terletak pada kemampuan untuk melihat ke belakang, seperti pada kearifan lokal, pada ritme alam, dan pada hubungan simbiosis yang telah ada jauh sebelum manusia menciptakan synthesizer pertamanya.
Santa Sakramenta, Gadis Cilik Berprestasi Asal Bandung Jadi Pencipta Lagu hingga Aktivis Lingkungan
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News