Indonesia jadi tempat lebih dari 77 spesies ular berbisa. Akan tetapi, hanya ada satu orang ahli penakluk racun ular, Dr. dr. Tri Maharani, M.Si. Sp. Em.
Ia adalah satu-satunya dokter subspesialis toksinologi di Indonesia yang mendalami penanganan kasus gigitan hewan berbahaya. Padahal, dari berbagai ancaman kesehatan yang mengintai manusia, gigitan ular berbisa menjadi salah satu bahaya yang sering terlupakan.
Oleh karena itu, keahliannya begitu vital bagi Indonesia. Bagaimana perjalanannya menjadi ahli toksinologi?
Mari bedah bersama!
Tunggu Tubang: Peran Perempuan Semende Menjaga Kedaulatan Pangan
Satu dari 53 Dokter di Dunia yang Mampu Menaklukkan Racun Ular
Di seluruh dunia, hanya ada 53 dokter yang memiliki keahlian dalam bidang emergency medicine dengan subspesialisasi toksinologi. Dr. Tri Maharani adalah salah satunya—dan satu-satunya yang berasal dari Indonesia.
Fakta ini ironis, mengingat Indonesia adalah rumah bagi 360 jenis ular, dan 77 di antaranya memiliki bisa yang berbahaya bagi manusia.
Data yang dikumpulkan Maharani sejak 2012 sampai 2016 menunjukkan bahwa kasus gigitan ular di Indonesia mencapai 135.000 per tahun, dengan 728 korban merupakan korban gigitan ukar berbisa. Dari jumlah tersebut, 35 di antaranya tidak berhasil diselamatkan dan berakhir meninggal dunia.
Elly Warti Maliki, Perempuan Minang yang Mengubah Masa Depan Anak-Anak TKI di Arab Saudi Lewat Pendidikan
Sejauh ini, Indonesia hanya memiliki tiga jenis Anti-Snake Venom (ASV) atau penawar racun: untuk ular kobra Jawa, welang, dan tanah. Artinya, puluhan spesies ular lain belum memiliki obat penawar.
"Indonesia sebagai sarang ular hanya memiliki tiga jenis ASV untuk mengobati gigitan ular kobra Jawa (Spitting cobra), ular welang (Banded krait), serta ular tanah (Malayan pit viper). Berarti masih ada puluhan ular lain yang belum ter-cover. Oleh karena itu, perlu dilakukan riset yang bersifat genomic dan molekuler. Prosesnya tidak mudah,” terang Maharani.
Perjalanannya menjadi ahli toksinologi dimulai dari ketidaksengajaan.
Harmoni Alam dan Perempuan Batu Busuk: Kisah Pengobatan Herbal yang Diwariskan Turun-Temurun
Setelah lulus dari Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya, ia melanjutkan studi magister (S2) di Program Studi Imunologi, Sekolah Pascasarjana, Universitas Airlangga.
Di sana, ia bertemu dengan dua guru besar yang membimbingnya mendalami imunologi dan toksinologi, yaitu Prof. Dr. Fedik Abdul Rantam, drh. dan Prof. Dr. Yoes Prijatna Dachlan, dr. M.Sc. Sp.ParK(K).
Setelah menyelesaikan S2, Dr. Tri Maharani berniat melanjutkan pendidikan doktoral (S3) di Prodi Patologi Klinik UNAIR. Namun, niat tersebut tidak berlanjut karena saran seorang psikolog.
“Jadi, saya sudah diterima di Patologi Klinik dan membayar uang kuliah. Tapi, psikolognya malah bilang, ‘yakin mau di sini? Bisa sih bisa, tetapi untuk hidup selanjutnya hanya bertahan setahun. Sebab, menurut hasil tes, dokter Maha ini suka berpetualang, gak cocok kalau cuma ngurusin feses, darah, dan urin. Harus bertemu manusia,” kenangnya.
Mengenal Ular Weling, Ular Berbisa dengan Mitos dan Faktanya
Nasihat itu mengubah hidupnya. Ia pun banting setir, mengambil spesialisasi emergency medicine dan akhirnya mendalami toksinologi.
Pada 2011, ia dikirim ke Universiteit of Leuven Belgia untuk menjalani Sandwich like Program PhD Biomedic in Hipertension Departement Gashuisberg Hospital.
Semenjak mengikuti program itu, ia semakin menyadari bahwa ilmu imunologi dan emergency medicine adalah kombinasi sempurna untuk menangani gigitan ular.
Kini, ia bukan hanya dokter, tetapi juga penasihat WHO dan kontributor buku panduan penanganan gigitan ular dalam cakupan global.
Legenda Ular Kepala Tujuh dari Bengkulu yang Diyakini Sebagai Penunggu Danau Tes
Musuh Utama Dr. Tri Maharani Bukan Ular, Tapi Mitos dan Kurangnya Edukasi
Bagi Dr. Tri Maharani, musuh terbesar dalam penanganan gigitan ular adalah mitos. Banyak korban lebih memilih berobat ke dukun daripada ke rumah sakit. Akibatnya, alih-alih sembuh, kondisi mereka malah semakin memburuk karena tidak ditangani dengan tepat.
"Pada zaman dulu orang yang terkena bisa ular penanganannya dengan disedot, diikat kencang, akhirnya nekrosis, diamputasi," ucap Maharani.
Pertolongan pertama pada orang yang terkena gigitan ular sangat penting, jika salah penanganan, dapat berisiko fatal bahkan sampai pada kematian.
Legenda Putri Ular dari Simalungun Sumatra Utara yang Gagal Menikahi Raja Muda
Menurut Dr Tri Maharani, pertolongan pertama yang harus dilakukan adalah jangan panik karena gerakan berlebihan akan mempercepat penyebaran racun. Selanjutnya, segera bawa pasien ke rumah sakit sebelum racun menyerang saraf.
Sayangnya, kesadaran masyarakat masih rendah. Bahkan tenaga medis di daerah sering kali tidak tahu cara menangani kasus gigitan ular.
Maharani sejak 2014 juga kerap membeli ASV dari luar negeri menggunakan uang pribadi karena harganya yang mahal (puluhan juta per vial).
Menurut Dr Tri Maharani, penawar racun ular, seharusnya disediakan oleh negara. Sayangnya, solusi tersebut belum menjadi prioritas pemerintah. Hal ini pula yang menyebabkan Maharani hingga saat ini hanya satu-satunya ahli di bidang bisa ular di Indonesia, karena negara belum menganggap pendidikan untuk disiplin ilmu ini belum mendesak.
Legenda Ular N'daung dari Bengkulu, Kisah Pertemuan Si Bungsu dengan Pangeran yang Dikutuk
Padahal, angka 135.000 korban gigitan ular dalam kurun waktu 2012-2016 yang dikumpulkan Tri Maharani sudah cukup memberi gambaran betapa urgent-nya perhatian terhadap kasus gigitan ular ini.
"Siapa mau riset sendiri, karena tidak dibayar? Sekolah pun saya bayar sendiri. Kurangnya dukungan yang nyata dari institusi negara dan masyarakat, menyebabkan tidak banyak orang yang mau belajar toksinologi. Menunggu pengertian mereka menjadi paham," terang Maharani.
Meski sudah banyak perjuangan yang ia lakukan dalam menyelamatkan para korban gigitan ular di Indonesia, Dr. Tri Maharani masih punya mimpi besar: mendirikan Pusat Racun Nasional. Saat ini, Indonesia belum memiliki lembaga khusus yang menangani keracunan, padahal kasus gigitan ular bisa berakibat fatal dalam hitungan menit.
"Kalau (kena gigitan) ular, seseorang matinya cepat, bisa hitungan detik sampai menit," tegasnya.
Mengenal Ikan Toman, Predator Air Tawar yang Kepalanya Mirip Ular
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News