Bagi kebanyakan orang, dedaunan di sekitar bukit, sawah, dan hutan mungkin hanya akan dianggap sebagai tumbuhan liar. Akan tetapi, bagi mereka yang tinggal di di kaki Bukit Barisan, Kota Padang, setiap helai daun, akar, dan bunga itu adalah warisan berharga; apotek hidup yang telah menjaga kesehatan keluarga selama puluhan tahun.
Berbatasan langsung dengan hutan Suaka Margasatwa Bukit Barisan, Kampung Ubi Batu Busuk menyimpan kekayaan biodiversitas. Di sini, perempuan-perempuan lokal telah menguasai pengetahuan tentang ratusan jenis tanaman obat. Keahlian dan pengetahuan itu diwariskan secara turun-temurun.
“Sudah dari zaman nenek moyang dulu. Biasanya direbus, lalu diminumkan,” ungkap Sumiati (70).
Pengetahuan tersebut kini tak hanya menjadi solusi kesehatan bagi masyarakat lokal, tetapi juga menyimpan potensi besar di tengah melonjaknya permintaan pasar global akan obat herbal. Dilansir dari jurnal Future Integrative Medicine dari Capital Medical University China, permintaan oabat herbal diproyeksikan mencapai USD 386 miliar pada 2032.
Mengenal Sanro dan Pengobatan Tradisional dalam Suku Bugis
Pengetahuan yang Diwariskan dari Generasi ke Generasi
Setiap kali ada pernikahan di kampung, para tetua biasanya menyempatkan diri untuk bercerita tentang tanaman obat kepada pasangan muda.
Ritawati, saudari jauh Sumiati mengatakan bahwa hutan Bukit Barisan terasa seperti berkah baginya karena di sana terdapat bergitu banyak tumbuhan yang bisa dimanfaatkan sebagai obat herbal.
Salah satu yang sering diajarkan pada pasangan muda yang baru menikah adalah penggunaan sarang semut untuk mengobati diare. Caranya sarang semut cukup dikeringkan dan direbus, lalu airnya diminum.
Sarang semut merupakan salah satu tanaman yang unik. Sebab, sebagaimana namanya, tumbuhan ini memiliki hubungan simbiosis mutualistik dengan semut.
Mengenal Sarang Semut, Tanaman Herbal yang Dikenal sebagai Alternatif Antibakteri
Sebagaimana dilansir dari IPB, Tumbuhan sarang semut membentuk struktur khusus yang berfungsi sebagai tempat tinggal. Tidak hanya itu, tanaman ini bahkan bisa menjadi sumber makanan bagi semut.
Sebagai imbalannya, semut melindungi tumbuhan dari herbivora dan juga berkontribusi dalam penyediaan nutrisi.
Tumbuhan sarang semut biasanya banyak ditemukan di hutan mangrove. Oleh karena itu, kerusakan habitat hutan mangrove akan menjadi ancaman serius bagi kelestarian tumbuhan tersebut.
“Jika hutan mangrove rusak, saya kira ini akan mengancam kelestarian tumbuhan sarang semut secara langsung,” ungkap dosen Biologi IPB University, Dr. Nunik Sri Ariyanti.
Pengetahuan Pengobatan Tradisional Masyarakat Adat yang Tersimpan Rapi di Dalam Hutan
Kisah Pemanfaatan Alam yang Bertanggung Jawab
Roslaini (52 tahun) masih ingat betul bagaimana ramuan herbal menyelamatkan anaknya yang terserang tipus pada tahun 2000.
"Ambilah waktu itu cacing di bawah pohon pisang. Dibersihkan, dibelahkan dibersihkan isinya, lalu direbus. Airnya diminum tiga kali sehari. Selain itu juga tanaman bungo rayo untuk menurunkan demamnya," kenangnya.
Pengalaman itu semakin meyakinkannya bahwa alam telah menyediakan segala yang manusia butuhkan.
Mengenal Rahayu Oktaviani, Wanita Hebat Konservasionis Primata Owa Jawa
Suci, Ketua Kelompok Usaha Perhutanan Sosial (KUPS) Padusi Etnobotani mengatakan, sejak zaman dahulu perempuan Batu Busuk telah terbiasa menjaga harmoni dengan alam, dengan memanfaatkan hasil alam untuk pengobatan dan kebutuhan pangan keluarga.
Beberapa tumbuhan dari hutan Bukit Barisan yang bisa dijadikan obat herbal, diantaranya daun pangka gaduang (Fabaceae senna alata), daun capo (Asteraceae blumea balsamifera), empedu tanah (Lamiaceae perilla frustescens), daun sikaduduak (Melastomataceae melastoma malabathricum L.), kumis kucing (Lamiaceae Orthosiphon aristatus), daun pudiang hitam (Acanthaceae Graptophyllym Pictum), dan masih banyak lagi.
Bersama kelompoknya, Suci mendokumentasikan 73 jenis tanaman obat dan mengembangkannya menjadi 34 formula herbal untuk berbagai penyakit, seperti batuk, rematik, penurun tekanan darah, ramuan pascapersalinan, luka bakar, sakit pinggang, sakit mata, meriang, panu, demam, sakit kulit, campak hingga sakit gigi.
Sosok Suswaningsih, PNS yang Berjuang Hidupkan Lahan Tandus di Gunungkidul
Peluang Ekonomi dan Tantangan di Era Modern
Maizaldi dari WRI Indonesia melihat potensi ekonomi yang bisa dikembangkan dari warisan pengetahuan obat herbal. Pihaknya memfasilitasi para perempuan Batu Busuk mencatat tumbuhan yang sering dipakai. Mereka mengarsipkan informasi tentang formula, cara mengemas produk, hingga menjualnya.
Tidak hanya itu, WRI juga melangkapi katalog tanaman dalam bentuk barcode yang ketika dipindai akan muncul berbagai informasi, termasuk nama latin, nama tanaman dalam pengetahuan lokal, serta manfaatnya bagi manusia dan alam.
Kini, ramuan seperti empedu tanah, sarang semut, dan ubek abuih telah dikemas secara profesional dan dipasarkan.
Penelitian Maura Nabila Dwifara, mahasiswa Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA) Universitas Andalas, mengungkap bahwa setidaknya ada 51 spesies dari 28 famili yang dapat diolah menjadi tanaman obat di wilayah ini. Berdasarkan 18 jenis penyakit, serai (Cymbopogon citratus) muncul sebagai spesies yang paling banyak digunakan, yaitu sebanyak 22% penggunaan.
Ke depan, KUPS berencana membangun taman tanaman obat sekaligus destinasi ekowisata. Harapannya, selain melestarikan pengetahuan tradisional, mereka juga bisa menjangkau pasar yang lebih luas.
Sosok Sudarmi, Perempuan Gigih yang Pimpin Pengelolaan Hutan Jati di Gunungkidul
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News