Santardi telah lebih dari 15 tahun hidup di lereng bukit. Berbeda dengan Mbok Yem yang membuka warung dan menyediakan beragam makanan untuk para pendaki di puncak Gunung Lawu; Santardi memilih hidup menyendiri untuk menggarap lahan Perhutani di bukit Siawu.
Bukit Siawu berada di Desa Panerusan Wetan, Kecamatan Susukan, Banjarnegara. Orang-orang mengenalnya sebagai puncak Siawu. Letaknya berada di area hutan atau perkebunan yang di dalamnya terdapat beberapa bukit, seperti bukit Mencu, bukit Watu Kelir, bukit Astina, dan bukit Watu Sodong.
Di sana, Santardi hidup dengan “papan” yang sederhana. Santardi membangun hunian menggunakan bambu. Rumah bambu kerapkali menjadi pilihan bagi masyarakat yang hidup berdampingan dengan alam, misalnya di sekitar sawah atau hutan.
Kembali Mengingat Apai Janggut: Penjaga Hutan Adat dari Kalimantan Barat yang Dapat Penghargaan Dunia
Dalam ilmu konstruksi, bangunan dari bambu disebut sebagai bangunan sementara. Akan tetapi, Santardi telah hidup di bukit itu selama belasan tahun, dengan perabotan yang mayoritas dibuat dari bahan alam.
Tinggal sendiri di bukit bukan berarti ia sebatang kara dan kurang mampu. Santardi meninggalkan istri dan rumahnya—memilih hidup di tengah hutan—untuk memanfaatkan tanah milik Perhutani.
Ia mengelola lahan seluas 1 hektare. Di sana, berbagai jenis sayuran dan pohon di tanam.
“Saya nanem apa saja. Ada cabai, singkong, kapulaga, apa saja,” ungkap Santardi, dikutip dari kanal YouTube Tedhong Telu.
Sosok Sudarmi, Perempuan Gigih yang Pimpin Pengelolaan Hutan Jati di Gunungkidul
Bisakah Masyarakat Mengelola Tanah Milik Perhutani?
Ya, masyarakat bisa mengelola lahan milik Perhutani dengan sistem sewa.
Agustus 2017 lalu, pemerintah membuka akses untuk pengelolaan perhutanan sosial. Program ini diklaim sebagai salah satu bentuk reformasi agraria. Tujuannya, untuk menekan ketimpangan sosial ekonomi masyarakat, khususnya para petani.
Dilansir dari laman Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional, reformasi agraria merupakan penataan kembali struktur penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah agar lebih berkeadilan untuk kemakmuran rakyat Indonesia.
Dalam hal ini, rakyat memiliki hak untuk menggunakan lahan dengan sistem sewa. Masa berlaku pengelolaan lahan Perum Perhutani maksimal 35 tahun.
Masyarakat bebas menanam apapun di lahan tersebut. Yang jelas, pemerintah berharap masyarakat dapat memanfaatkan secara maksimal lahan yang disewakan untuk kemakmuran.
Melihat Ragam Hewan di Hamparan Savana Sadengan Kawasan Alas Purwo Banyuwangi
“Silahkan mau ditanami apa saja, tidak apa-apa, asalkan menghasilkan dan menguntungkan,” pesan Joko Widodo yang saat itu menyerahkan Surat Izin Penggunaan lahan Perhutani seluas 2.000 hektar (ha) kepada rakyat di Desa Brani Wetan, Kecamatan Maron, Kabupaten Probolinggo, Jawa Timur.
Selain lahan, pemerintah juga memfasilitasi pendampingan untuk pengelolaan lahan. Selain itu, melalui bank milih negara, pemerintah memberikan akses pinjaman untuk modal lewat program KUR (Kredit Usaha Rakyat).
Nantinya, keuntungan dari pengelolaan lahan akan diberikan kepada negara dengan sistem bagi hasil. Besarannya sesuai kesepakatan antara penyewa dan negara.
“Misalnya, 60% untuk petani, 35% untuk Perhutani, dan 5% untuk LMDH,” jelas Ari Wibowo, Kepala Seksi Perencanaan dan Pengembangan Bisnis Perum Perhutani Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) Solo 2022, dikutip dari Perhutani.
Pantai Plengkung, Surganya Pulau Jawa di Taman Nasional Alas Purwo Banyuwangi
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News