“Secara global, Indonesia termasuk dalam kelompok negara dengan tingkat kepercayaan tinggi terhadap ilmuwan. Jadi ini cukup bagus, ya,” ujar Prof. Yudi Darma, Direktur Diseminasi dan Pemanfaatan Sains dan Teknologi (Minat Saintek) di Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendiktisaintek).
Di era post-truth, warga Indonesia ternyata masih menaruh kepercayaan yang tinggi terhadap ilmuwan.
Hasil riset global yang dimuat di Nature Human Behaviour pada Januari 2025 memperlihatkan fenomena menarik. Indonesia mencatat skor kepercayaan terhadap ilmuwan sebesar 3,84 dari skala 5. Angka ini lebih tinggi dari rata-rata global yang hanya mencapai 3,62.
Skor kepercayaan tersebut menempatkan Indonesia sejajar dengan Malaysia dan Meksiko sebagai negara dengan tingkat kepercayaan tinggi pada ilmuwan. Skor itu juga setara dengan orang Irlandia dan bahkan lebih tinggi dari Inggris (3,82).
Tingkat kepercayaaan orang RI pada peneliti menempati posisi ke-13 dari 68 negara, menurut studi berjudul "Trust In Scientists and Their Role in Society Across 68 Countries" yang dirilis pada 20 Januari 2025.
Ini menjadi kabar baik karena masyarakat lebih percaya pada ahli. Sayangnya, kepercayaan itu tidak selalu diikuti oleh keterlibatan aktif dalam pengembangan ilmu pengetahuan.
"Sebab kepercayaan tanpa partisipasi yang bermakna, itu belum menjamin keterlibatan masyarakat dalam agenda-agenda sains dan pengambilan kebijakan berbasis bukti," ungkap Prof, Yudi.
Apa yang Perlu Diperbaiki dari Pengembangan Ilmu di Indonesia?
Sebagian besar masyarakat percaya sains bisa memecahkan masalah kehidupan. Sayangnya, keterlibatan publik di Indonesia dalam partisipasi ilmiah masih rendah.
Dalam laporan yang sama, tingkat keterbukaan ilmuwan terhadap umpan balik masyarakat mendapat skor 3,33. Artinya, publik merasa suara mereka jarang didengar oleh komunitas ilmiah.
“Terdapat kesenjangan antara harapan dan masyarakat. Mereka menginginkan fokus ilmiah pada isu keseharian, misalnya kemiskinan, energi, kesehatan agar riset lebih membumi,” tutur Prof. Yudi.
Fenomena ini menunjukkan apa yang disebut trust–engagement gap, yakni jarak antara percaya pada ilmuwan dan ikut terlibat dalam sains. Banyak warga menghargai sains, tapi merasa dunia penelitian masih terlalu jauh dari kehidupan sehari-hari.
Fenomena ini akan berdampak buruk. Sebab, kepercayaan tinggi jika tidak direspons dengan transparansi, dialog, dan relevansi; kemungkinan besar kepercayaan masyarakat akan berubah menjadi skeptisisme.
Pentingnya Sains yang Merakyat
Keinginan agar riset lebih relevan dengan kebutuhan nyata bukan hal baru. Dalam studi-studi komunikasi sains, konsep ini dikenal sebagai citizen science.
Citizen science adalah riset yang melibatkan masyarakat umum sebagai mitra, bukan sekadar penerima hasil. Masyarakat umum berkolaborasi dengan ilmuwan untuk mengumpulkan data, menganalisis temuan, dan memecahkan masalah dunia nyata.
Sayangnya, di Indonesia, model seperti itu belum menjadi kebiasaan. Banyak penelitian masih bersifat top-down yang menjadikan masyarakat hanya sebagai objek, bukan subjek. Padahal, jika dikelola dengan baik, citizen science bisa memperkuat data, memperluas dampak riset, sekaligus menumbuhkan literasi ilmiah.
Sebagai contoh, di beberapa negara Eropa, warga ikut mengumpulkan data lingkungan seperti kualitas udara, polusi suara, atau populasi burung. Partisipasi ini tidak hanya memperkaya penelitian, tapi juga meningkatkan rasa kepemilikan terhadap ilmu pengetahuan.
Keterbukaan ilmuwan, termasuk dalam menjelaskan proses riset dan dampaknya terhadap kehidupan sehari-hari, bisa mengembalikan sains ke tempat yang semestinya. Sains yang seharusnya dekat dengan manusia, bukan di menara gading akademik dan hanya bisa diakses para akademisi.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News