angka saja tak cukup pentingnya art dan humaniora dalam pembangunan - News | Good News From Indonesia 2025

Angka Saja Tak Cukup: Pentingnya Art dan Humaniora dalam Pembangunan

Angka Saja Tak Cukup: Pentingnya Art dan Humaniora dalam Pembangunan
images info

Angka Saja Tak Cukup: Pentingnya Art dan Humaniora dalam Pembangunan


STEAM adalah akronim dari Science, Technology, Engineering, Art, dan Mathematics. Model pendidikan ini muncul sebagai perluasan dari STEM, agar kreativitas dan aspek kemanusiaan (humanity) tak hilang di antara teknologi dan sains.

“A” dan humaniora di sini bermakna bahwa keduanya menjadi bagian dari teori kritis agar pembangunan ilmiah & teknis berjalan seimbang dan manusiawi.

“Di negara maju sekarang sudah Science, Technology, Engineering, Art, dan Mathematics. Sekarang orang bikin liberal art, menjembatani multidisciplinary,” kata Okky Madasari, saat dihubungi langsung oleh GNFI.

baca juga

Apa Itu Liberal Arts & Hubungannya dengan Teknologi

Liberal arts adalah istilah yang mengacu pada rumpun ilmu humaniora dan ilmu sosial. Di dalamnya termasuk sejarah, filsafat, sastra, etika, politik, bahasa, hingga seni.

Inti dari pendidikan liberal arts adalah melatih cara berpikir, kemampuan analisis, berpikir kritis, membangun empati, serta memahami konteks sosial-budaya. Pendidikan liberal arts bertujuan menumbuhkan keterampilan hidup yang fleksibel dan adaptif, bukan hanya keahlian teknis yang cepat usang di era teknologi.

Nah, dalam konteks teknologi, liberal arts memegang peran penting.

Pertama, ia memberi kerangka moral dan budaya. Liberal arts menjawab, “Apa yang seharusnya kita bangun? Bagaimana cara membangunnya? Untuk siapa teknologi ini dibuat?” melalui kacamata etika, sejarah, dan budaya.

baca juga

Kedua, liberal arts menyediakan konteks sosial dan historis. Ambil contoh revolusi digital. Revolusi digital membuat manusia mengalami perubahan fundamental tentang bagaimana cara bekerja, belajar, dan berhubungan satu sama lain.

Tanpa perspektif historis dan sosial, kita bisa gagal melihat dampak teknologi yang lebih luas. Misalnya bagaimana internet memengaruhi demokrasi, bagaimana media sosial membentuk identitas anak muda, atau bagaimana otomatisasi memengaruhi pasar kerja.

Ketiga, liberal arts mendorong kreativitas dan inovasi. Di bidang desain teknologi, khususnya antarmuka pengguna (UI/UX), estetika sering kali berasal dari inspirasi humaniora dan seni. Penggabungan seni dengan STEM dapat menumbuhkan daya cipta, melatih imajinasi, dan memungkinkan lahirnya solusi yang lebih segar dan relevan dengan manusia.

Dengan kata lain, liberal arts memastikan inovasi tidak hanya canggih secara teknis, tetapi juga bermakna secara sosial, adil secara etika, dan indah secara estetika.

baca juga

Apakah STEM Bisa Berjalan Tanpa Art dan Humaniora?

Secara teknis, memang STEM bisa berdiri sendiri. Banyak universitas, perusahaan teknologi, bahkan lembaga pemerintah menempatkan sains, teknologi, teknik, dan matematika sebagai poros utama dalam pendidikan maupun pembangunan.

Fokusnya biasanya pada kemampuan teknis tentang bagaimana menciptakan inovasi baru, mempercepat efisiensi, atau menghasilkan keuntungan ekonomi.

Akan tetapi, ketika seni dan humaniora tidak dilibatkan, perspektif yang dihasilkan menjadi sangat sempit dan cenderung kaku. Inovasi dilihat hanya dari sisi fungsi dan profit, tanpa mempertimbangkan sisi kemanusiaan.

baca juga

Pendidikan yang hanya menekankan sisi teknis akan melahirkan spesialis, tetapi gagal membentuk kepribadian yang berkembang harmonis (The Imaginative Conservative). Artinya, manusia yang dihasilkan mungkin sangat terampil secara teknis, tetapi miskin refleksi, empati, dan wawasan sosial.

Bahkan, Okky menegaskan bahwa saat ini, era multidisiplin ilmu, ketiadaan humaniora adalah sebuah ketidakmungkinan.

“Sekarang adalah zamannya multidisciplinary dan transdisciplinary. Jadi nggak mungkin STEM berjalan tanpa ada art and humaniora,” tegasnya.

baca juga

Ambil contoh kasus di bidang bioteknologi, kontroversi “bayi CRISPR” di Tiongkok pada 2018. Seorang ilmuwan mengumumkan telah mengedit gen embrio manusia untuk membuat bayi tahan HIV. Secara teknis, penemuan ini luar biasa dan ia mengeklaim teknologi tersebut sangat dibutuhkan.

Akan tetapi, tanpa pertimbangan etika, sosial, dan hukum, eksperimen ini memicu kritik keras dari komunitas ilmiah internasional. Banyak pihak menilai langkah itu sebagai pelanggaran moral serius, yang membahayakan masa depan bioteknologi manusia.

Ilmuwan tersebut pun akhirnya juga divonis 3 tahun penjara dan dipecat dari universitas tempatnya mengajar di mana ia menduduki posisi sebagai profesor rekanan di Southern University of Science and Technology di Shenzhen.

baca juga

Bahaya Pembangunan Tanpa Art dan Humaniora

Mengabaikan aspek humaniora dalam pembangunan bisa berdampak serius. Bisa-bisa terjadi dehumanisasi. Istilah ini merujuk pada kondisi penghilangan atau pengabaian sisi kemanusiaan seseorang. Manusia diperlakukan seperti objek, mesin, atau sebatas angka; bukan sebagai manusia dengan perasaan, nilai, dan martabat.

Ambil contoh pernyataan berikut.

"Hari ini memang ada yang keracunan, yang keracunan sampai saat ini dari 3 koma sekian juta, kalau tidak salah di bawah 200 orang (yang keracunan). Yang rawat inap hanya 5 orang. Jadi bisa dikatakan yang keracunan atau yang perutnya nggak enak sejumlah 200 orang, itu 200 dari 3 koma sekian juta kalau tidak salah adalah 0,005 persen. Berarti keberhasilannya adalah 99,99 persen," kata Prabowo dalam sidang kabinet paripurna di Kantor Presiden, Kompleks Istana Negara, Jakarta, Senin (5/5/2025).

baca juga

Kalimat tersebut hanya satu dari sekian banyak bentuk dehumanisasi yang melihat manusia sebagai angka dan statistik. Fokusnya tidak ditekankan pada orang yang terkena dampaknya sehingga para pemangku kebijakan melakukan evaluasi dan merencakan usaha preventif.

Perhatian pemerintah bukan pada pemulihan martabat, kesejahteraan orang yang terdampak, atau bagaimana negara menjamin hak kesehatan mereka. Fokus utamanya justru pada klaim keberhasilan yang dilihat dari angka.

baca juga

Okky Madasari, seorang sastrawan, novelis, dan sosiolog Indonesia, menegaskan bahaya pembangunan bila hanya berorientasi pada infrastruktur, angka pertumbuhan, dan kalkulasi ekonomi semata. Menurutnya, jika pembangunan tidak mengindahkan dimensi kemanusiaan, maka yang lahir adalah pembangunan yang timpang.

“Pembangunan yang tidak mengindahkan humaniora dan art itu akan menjadi pembangunan yang tidak berkemanusiaan, pembangunan yang tidak berkeadilan, dan akhirnya pembangunan itu tidak bisa mencapai tujuan,” tegasnya.

baca juga

 

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Aslamatur Rizqiyah lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Aslamatur Rizqiyah.

AR
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini

🚫 AdBlock Detected!
Please disable it to support our free content.