“Kami ingin bukit tandus di Curah Cottok ini bisa menghijau,” kata Muh. Samsuri Abbas, Kepala Desa Curah Cottok, dikutip dari website Pemkab Situbondo.
Desa Curah Cottok berada di kecamatan Kapongan, Situbondo, Jawa Timur. Di sana, banyak lahan-lahan terbengkalai. Tandus, hanya berisi rumput dan ilalang yang dimanfaatkan untuk menggembala hewan ternak. Lahan tersebut dinilai kurang produktif sehingga oleh masyarakat disulap menjadi kebun okra.
Keputusan untuk memanfaatkan lahan ini, tentu melalui proses panjang. Masyarakat dan pemerintah desa telah riset jenis tanaman yang cocok dengan kondisi tanah. Mereka juga mencari komoditas yang laku di pasaran sehingga hasil dari alih guna lahan lebih maksimal.
Warga Desa Curah Cottok memilih okra sebagai tanaman yang mengisi lahan tandus itu.
Okra adalah sayuran hijau berbentuk panjang dengan ujung meruncing. Mirip seperti cabai hijau besar. Okra juga dikenal sebagai lady’s finger (jari wanita) karena bentuknya yang ramping.
Okra berasal dari Afrika. Akan tetapi, karena karakteristiknya yang mampu tumbuh di daerah beriklim tropis maupun subtropis, okra bisa tumbuh di Indonesia.
Sebagai percobaan, warga Desa Curah Cottok menanam okra di lahan seluas 8.000 meter². Okra memiliki akar tunggang yang cukup dalam yang membuatnya mampu hidup di tanah kering. Oleh karena itu, percobaan warga untuk menanami lahan gersang ini, dinilai berhasil.
“Kami mencoba menanam okra di lahan seluas 0,8 hektare. Alhamdulillah, hasilnya bagus. Tanaman ini cocok sekali untuk lahan kering seperti di sini,” ujarnya Muh. Samsuri Abbas, Kepala Desa Curah Cottok.
Potensi Okra di Mancanegara
Meski tak sepamor sayuran lain, okra memiliki potensi pasar yang besar. India, Timur Tengah, Jepang, dan Amerika Serika menjadi negara dengan permintaan okra yang cukup tinggi.
Mereka telah mengolah okra menjadi berbagai produk turunan, seperti okra kering, tepung okra, teh biji okra, bahkan kapsul herbal.
Sebab, kandungan okra cukup kaya. Okra kaya akan serat, vitamin C, vitamin K, folat. antioksidan. Sayuran ini juga mampu menjaga kadar gula darah serta mendukung kesehatan jantung. Oleh karena itu, produk turunan okra biasanya dijual sebagai suplemen untuk gula darah dan kolesterol).
Selain potensi pasar, okra juga memiliki masa panen yang relatif singkat. Okra sudah mulai bisa dipanen pada umur 40–50 hari setelah tanam. Bahkan setelah masuk masa produksi, buah okra tumbuh terus setiap hari, sehingga petani bisa memanen hampir setiap hari selama 2–3 bulan.
Siklus ini menguntungkan warga. Sebab, panen harian membuka pekerjaan bagi warga sekitar.
Apalagi, menurut Samsuri, panen okra memang harus dilakukan setiap hari. Tujuannya agar kualitas tetap terjaga. Sebab, jika buah dibiarkan terlalu lama, ukurannya akan membesar dan turun grade.
“Panen harian ini sekaligus membuka lapangan kerja baru. Setiap hari dibutuhkan tenaga untuk memetik, sehingga warga sekitar bisa ikut terlibat,” jelas Samsuri.
Kolaborasi dengan Perusahaan Eksportir
Usai panen, warga Desa Curah Cottok menyetor okra ke salah satu perusahaan eksportir di Jember. Keduanya memang telah menjalin kerja sama.
Perusahaan eksportir ini siap menampung hasil panen sesuai kontrak tertulis, sehingga petani tidak perlu khawatir soal pemasaran.
Biasanya, warga Desa Curah Cottok menjual okra dengan harga yang variatif. Grade A (panjang 5–10 cm) dihargai Rp 6.500/kg, sedangkan grade B (lebih dari 10 cm) Rp 3.000/kg. Jika warga panen okra grade A sekitar 1 kuintal per hari, potensi pendapatan mencapai Rp650.000.
Artinya, sekitar Rp19 juta per bulan didapat dari hasil tanaman okra.
Rencana Perluasan Lahan untuk Tanaman Okra
Keberhasilan uji coba awal membuat pihak desa semakin percaya diri. Mereka berencana memperluas area tanam hingga 18 hektare.
Dari studi internal yang dilakukan desa, potensi hasil panen okra per hektare bisa mencapai 15 ton. Jika dijual dengan harga Rp 6.500/kg, nilai ekonominya bisa menembus lebih dari Rp 97 juta per bulan.
Hal ini jelas menjadi prospek yang menarik bagi desa maupun masyarakat. Pemanfaatan lahan hijau dan keterlibatan masyarakat dalam pengelolaan berpotensi mengantarkan warga mencapai kesejahteraan. Selain itu, pemerintah pun memiliki inovasi yang berkelanjutan dalam mengentaskan kemiskinan.
“Kami ingin bukit tandus di Curah Cottok ini bisa menghijau. Jika program ini berhasil, akan tercipta sumber ekonomi baru bagi masyarakat kami,” terang Samsuri.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News