Kawan GNFI, pernahkah kita merenungkan mengapa Pulau Bali, di tengah derasnya arus modernisasi, pembangunan masif, dan pariwisata yang tak ada habisnya, masih mampu mempertahankan keasrian alam dan kehangatan budayanya?
Mengapa pulau ini terasa begitu damai dan harmonis, seolah memiliki "imunitas" alami terhadap kekacauan dunia luar?
Jawabannya terletak pada satu falsafah hidup yang telah mengakar kuat dalam setiap sendi kehidupan masyarakatnya: Tri Hita Karana.
Secara harfiah, falsafah ini adalah "Tiga Penyebab Kesejahteraan" (Tri = tiga, Hita = kebahagiaan/sejahtera, Karana = penyebab).
Meskipun istilah ini pertama kali muncul pada Konferensi Daerah Badan Perjuangan Umat Hindu Bali pada tahun 1966, prinsip-prinsipnya telah menjadi kerangka teologis, kosmologis, dan sosiologis yang mengatur tatanan hidup masyarakat Hindu Bali sejak dahulu kala.
Inti dari Tri Hita Karana adalah ajaran untuk mencapai keseimbangan dan keselarasan hidup melalui tiga hubungan harmonis yang fundamental. Falsafah ini mengajarkan bahwa kebahagiaan sejati hanya bisa dicapai ketika kita menjalin hubungan yang baik dengan Tuhan, dengan sesama manusia, dan dengan alam lingkungan.
Mari, kita kupas satu per satu ketiga pilar utama yang membentuk tatanan hidup masyarakat Bali ini.
1. Parhyangan: Harmoni Manusia dengan Tuhan
Pilar pertama, Parhyangan, berakar dari kata Para (tertinggi) dan Hyang (Beliau), yang merujuk pada ketuhanan. Ini adalah hubungan yang selaras antara manusia dengan Ida Sanghyang Widhi Wasa (Tuhan Yang Maha Esa). Hubungan ini didasari oleh rasa bakti, syukur, dan kesadaran bahwa Tuhan adalah pencipta, penguasa, dan pelindung alam semesta.
Banyak di kalangan kita mengartikan Parhyangan sebagai tempat suci (Pura). Namun, implementasinya jauh lebih luas, yakni setiap tindakan yang mencerminkan rasa bhakti tertinggi.
Kawan tentu sering melihat sesajen atau persembahan (yadnya atau punia) di setiap sudut Bali. Inilah wujud konkret dari Parhyangan.
Implementasi Nyata: Rasa syukur dan bhakti diwujudkan melalui persembahyangan yang taat, serta melakukan perjalanan suci (tirta yatra) ke tempat-tempat yang membawa nilai kesucian.
Bahkan, menjaga kebersihan, keindahan, dan kesucian Pura atau tempat ibadah merupakan wujud hubungan bakti kita kepada Sang Pencipta.
2. Palemahan: Harmoni Manusia dengan Alam
Pilar kedua adalah Palemahan, yang berasal dari kata lemah (tanah) atau bhuwana (alam). Ini adalah hubungan harmonis antara manusia dengan lingkungan sekitarnya.
Konsep Palemahan ini mengajarkan bahwa kehidupan manusia merupakan bagian integral dari alam semesta. Oleh karena itu, jika alam rusak, kehidupan manusia pun akan terpengaruh.
Manusia hidup di muka bumi ini dan memperoleh segala kebutuhannya dari lingkungan. Hal inilah yang melandasi kewajiban untuk menjaga, memelihara, dan tidak mengeksploitasi alam seenaknya.
Keharmonisan Palemahan juga menentukan tata ruang tradisional di Bali, di mana manusia mengatur pemukiman agar serasi dengan kondisi alam (bhuwana agung).
Implementasi Nyata: Palemahan menuntut kita untuk selalu menjaga lingkungan tetap bersih dan rapi. Hutan tidak boleh ditebang sembarangan, binatang tidak boleh diburu seenaknya karena dapat mengganggu keseimbangan alam.
Menjaga kerapian dan keserasian lingkungan akan menciptakan keindahan yang pada akhirnya menimbulkan ketenangan bagi jiwa.
3. Pawongan: Harmoni Manusia dengan Sesama
Terakhir, Pawongan berasal dari kata wong yang berarti orang, yakni perihal yang berkaitan dengan relasi sosial dalam masyarakat. Sebagai makhluk sosial, manusia memerlukan bantuan dan kerja sama.
Oleh karena itu, hubungan antarsesamanya harus selalu baik dan harmoni, dengan dasar saling asah, saling asih, dan saling asuh (saling menghargai, mengasihi, dan membimbing).
Hubungan baik ini tidak hanya diukur dari tindakan, tetapi juga dari perkataan, sebab perkataan adalah akar dasar perilaku. Hukum susila abadi mengajarkan kita untuk "Berkatalah yang sewajarnya, jangan mengucapkan kata-kata yang kasar. Walaupun kata-kata itu benar, jangan pula mengucapkan kata-kata lemah lembut namun dusta."
Implementasi Nyata: Pawongan termanifestasi dalam semangat gotong royong yang kuat, tenggang rasa, dan sikap saling menghormati.
Dalam skala desa, konsep ini melahirkan desa adat yang memiliki ikatan kuat, memastikan semua anggota masyarakat hidup rukun, damai, dan saling bantu membantu dengan hati penuh cinta kasih.
Relevansi Abadi Tri Hita Karana
Kawan GNFI, kebahagiaan (hita) yang dijanjikan oleh falsafah ini bukanlah kebahagiaan material semata, melainkan kebahagiaan lahir dan batin. Di tengah tantangan globalisasi dan modernisasi, Tri Hita Karana menjadi benteng sekaligus blueprint yang efektif.
Falsafah ini mengajarkan kita untuk kembali pada nilai-nilai dasar, bahwa merawat alam (Palemahan) adalah bagian dari ibadah kepada Tuhan (Parhyangan), dan bahwa kebaikan yang kita lakukan kepada sesama (Pawongan) akan kembali pada kita.
Tri Hita Karana adalah ajaran universal tentang etika dan keberlanjutan yang telah teruji waktu.
Pada akhirnya, Tri Hita Karana adalah sistem teologi praksis yang membimbing transformasi sosial dan ekologis di Bali secara berkelanjutan. Ia menunjukkan kepada dunia bahwa keseimbangan antar unsur kehidupan Tuhan, sesama, dan alam adalah kunci utama menuju kebahagiaan yang abadi dan lestari.
Semangat Tri Hita Karana ini tidak hanya lestari di Bali, tetapi juga menginspirasi Kawan GNFI di seluruh Nusantara untuk menciptakan harmoni dan keseimbangan di lingkungan masing-masing.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News