"Orang-orang mengejek saya karena membawa bibit pohon beringin ke desa, mereka merasa tidak nyaman karena yakin ada makhluk halus di pohon itu,” ucap Sadiman.
Di antaranya banyaknya jenis tanaman, Sadiman lebih memilih menanam pohon beringin di lereng Gunung Lawu bagian selatan. Tujuan utamanya adalah agar pohon itu mampu menyimpan cadang air dan dapat dialirkan ke hilir.
Sadiman paham betul, beringin adalah pohon yang mampu mengelola air.
"Menurut pengalaman saya, pohon beringin dan pohon ficus bisa menyimpan banyak air,” katanya, dikutip dari dw.com.
Pohon ficus adalah genus tumbuhan yang memiliki sekitar 850 spesies, yang umum dikenal sebagai beringin, ara, atau tin. Pohon ficus memiliki manfaat yang besar bagi lingkungan seperti menjadi peneduh dan biomonitor.
Pohon ficus, khususnya beringin, memiliki akar serabut dan akar gantung yang panjang. Akar ini dapat menyerap air hujan, menembus lapisan tanah yang dalam, dan menyimpannya secara perlahan ke dalam tanah.
Karakter ini lah yang membuat pohon beringin berfungsi seperti bank air, menahan air tanah agar tidak cepat mengalir ke sungai atau hilang karena penguapan. Kemampuan ini sangat penting terutama di daerah kering atau rawan kekeringan karena membantu mempertahankan kelembapan tanah dan menyediakan air bagi ekosistem sekitar.
"Saya berpikir, jika tidak menanam pohon beringin, daerah ini akan menjadi kering," kata Sadiman
Pohon Beringin yang Dikeramatkan
Selain dari segi lingkungan, pohon beringin juga memiliki nilai budaya dan spiritual yang kuat di berbagai daerah. Masyarakat kerap menganggap pohon beringin sebagai tempat tinggal makhluk halus. Oleh karena itu, pohon ini sering ditakuti dan dikeramatkan.
Kepercayaan itu sebenarnya berakar dari tradisi dan cerita turun-temurun. Di Jawa, misalnya, beringin disebut sebagai pohon keramat, dijaga oleh roh atau lelembut yang mengawasi desa.
Banyak kisah tentang orang yang merasa diganggu atau bahkan diawasi ketika berada di bawah pohon beringin tua. Pengalaman kolektif itu justru menumbuhkan rasa hormat dan takut secara alami.
Ritual adat pun kerap dilakukan di sekelilingnya. Hal ini menjadi simbol spiritual dan penghubung dunia manusia dengan dunia halus. Ketakutan terhadap pohon beringin, pada akhirnya menjadi cerminan cara masyarakat menghormati alam, menjaga keselamatan, dan melestarikan tradisi.
Ingatan Masa Kecil Dorong Mbah Sadiman Jadi Pegiat Lingkungan
Ingatan tentang masa kecil sangat membekas bagi Mbah Sadiman. Ia menyaksikan langsung saat mata air masih melimpah. Akan tetapi, semakin bertambah usia Sadiman, semakin berkurang pula pasokan air di sekitar rumahnya.
Sejak kecil, Sadiman menikmati sumber air melimpah dari perbukitan itu. Namun, kerusakan hutan akibat penjarahan kayu dan kebakaran besar pada 1964 membuat mata air menghilang. Desa tempat tinggalnya pun sering kekurangan air. Bahkan, kerap terjadi banjir ketika hujan deras melanda.
"Kalau penghujan sering banjir, kemarau tetap kekurangan air," kenangnya.
Sadiman pun tergerak untuk menanam pohon sendiri. Ia meminta izin kepada penjaga hutan dan mulai menanam bibit pohon beringin di lahan kosong. Usaha ini ia jalani tanpa bayaran sejak 1996. Ia bahkan harus menjual kambing untuk membeli bibit pohon.
Awalnya, warga menganggap Sadiman aneh, bahkan gila. Menukar kambing dengan bibit beringin dan menanam pohon di lahan gersang dianggap tidak masuk akal. Akan tetapi, Sadiman tutup telinga.
Kini jerih payahnya membuahkan hasil. Sekitar 15.000 pohon beringin dan ficus kini telah ditanam di lahan seluas 250 hektare. Air pun sudah mengaliri rumah-rumah warga desa dan lahan pertanian setempat.
"Dulu masyarakat bilang dia orang gila, punya kambing ditukar bibit beringin, tetapi hasilnya sekarang (warga) mendapatkan air buat mencukupi beberapa desa," kata Warto, salah seorang warga setempat.
Cerita Masa Muda Sadiman
Sadiman kecil lulus Sekolah Dasar pada 1965, tetapi keadaan ekonomi keluarga yang terbatas membuatnya tidak bisa langsung melanjutkan ke SMP. Dua tahun menunggu, ia baru bisa bersekolah di SMP Marhaen Bulukerto, Wonogiri, dan berhasil tamat pada 1970.
Saat mencoba STM Jatisrono Jurusan Teknik Bangunan, Sadiman hanya bertahan satu tahun. Ekonomi keluarga yang sulit memaksa ia menunda impiannya. Dengan berat hati, Sadiman menanam keinginannya untuk melanjutkan sekolah lebih tinggi dalam-dalam, dan memilih merantau untuk mencari kehidupan.
Perantauan membawanya ke Surabaya. Di sana, Sadiman melakukan berbagai pekerjaan seadanya. Ia menjadi kernet angkutan umum hingga 1973. Dari Surabaya, seorang teman mengajaknya ke Kalimantan Tengah. Kondisi di sana tak kalah menantang sebab air bersih sulit diperoleh. Tanah gambut membuat air keruh dan berwarna cokelat.
"Teng Kalimantan, kula nggih kelingan ndesa terus, padha padha larang banyu," kenangnya. Maksud kalimat tersebut adalah “Di Kalimantan saya selalu teringat desa, sama-sama sulit air.”
Setelah Surabaya dan Kalimantan, Sadiman juga pernah merantau ke Lampung dan Gresik. Akan tetapi, setelah menikah dan memiliki anak, nasib di perantauan tetap tak berubah. Pada akhirnya, ia memutuskan pulang ke kampung halamannya pada 1991, saat usianya telah menginjak kepala empat.
Kembali ke Wonogiri, kenyataan yang dihadapi Sadiman tak banyak berubah. Air masih menjadi persoalan utama. Untuk menghidupi keluarga, ia bertani dan bekerja sebagai buruh lepas di Perhutani, menyadap getah pohon pinus dengan upah 125 rupiah per kilonya.
"Dados penyadap getah pinus, wekdal niku upahe namung alit, sak kilo getah diregani 125 rupiah," kenangnya.
Sembari menyadap pinus, Sadiman menanam cengkeh, cabai, dan pakan ternak. Aktivitas di hutan membuatnya banyak mengamati. Meskipun hutan pinus tak sekering dulu, air tetap sulit diperoleh. Ia menyadari bahwa pohon pinus kurang efektif menyimpan air. Daunnya yang berguguran tidak mudah membusuk menjadi pupuk, dan tanah di sekitarnya tetap kering dan kurang subur.
Dari pengamatannya, Sadiman menemukan pola bahwa pohon besar seperti beringin selalu berada di sekitar sumber air. Salah satu contohnya yang ia lihat di dekat kantor Kecamatan Jatisrono. Pohon beringin besar tumbuh di atas mata air yang mengalir sepanjang tahun.
Dari situ, lahirlah keinginan Sadiman untuk menanam pohon beringin di lahan tandus Gunung Gendol dan Bukit Ampyangan. Sekitar 1996, ia mulai bergerak.
“Timbang aku nyiksa kayu, mending aku nyuburke kayu” — daripada menyiksa pohon, lebih baik menyuburkannya, katanya.
Semangat yang Diwariskan
Semangat Sadiman untuk menjadi aktivis lingkungan diwariskan. Kini, ia tidak lagi sendirian mendaki ke lereng. Srianto adalah salah satu pemuda desa yang jadi penerus.
“Saya sudah tua, terus saya sambung kepada anak muda supaya meneruskan perjuangan saya,” tutur Sadiman.
Srianto terhitung sudah 3 tahun ikuti jejak Sadiman. Tidak seperti pemuda lain yang merantau ke kota, Srianto lebih memilih mengabdi pada alam.
Pilihan itu jelas bukan tanpa risiko. Banyak pertanyaan yang datang dari warga sekitar. Sebagian dari mereka justru menyayangkan keputusan yang diambil Srianto.
“Orang kadang mengucilkan, ‘ngapain ikut Mbah Sadiman? Orangnya seperti itu kok sama-sama diikutin.’ Saya semangat untuk membantu, untuk mengikuti apa yang dulunya Mbah Sadiman perjuangkan sampai saat ini, untuk bisa mencukupi, menghidupi lingkungan sekitar sini,” kata Srianto.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News