Berawal dari lahan seluas 2.000 meter persegi, kini hutan organik milik Rosita Istiawan telah berkembang hingga mencapai 30 hektare. Hutan itu ditumbuhi berbagai jenis tanaman.
Beberapa orang juga kerap datang untuk membeli kayu dari hutan organik milik Rosita. Akan tetapi, tidak akan pernah sekalipun Rosita menjual hasil hutan yang dirawat selama lebih dari 20 tahun.
"Mereka (yang mau beli) pasti putus harapan, karena tidak bakal saya jual," tutur Rosita, dikutip dari CNA.
Rosita: Kalau Hutan Sudah Tidak Ada, Ayo Bikin Hutan
“Kalau hutan sudah tidak ada, ya, ayo bikin hutan,” kata Rosita kepada suaminya, seperti dikutip dari Konde.co.
Pada akhir 1990-an, Bambang Istiawan, suami Rosita menuturkan keinginannya untuk tinggal di hutan setelah pensiun. Saat itu, ada beberapa pilihan daerah yang hendak ia tinggali, termasuk di Jawa Timur, Kalimantan dan Sumatera. Akan tetapi, pada akhirnya mereka memutuskan tinggal di Cimande, Kabupaten Bogor.
Sebagaimana dilansir dari Konde, keduanya kemudian membeli bekas lahan teh di Megamendung milik Probosutedjo yang ditelantarkan akibat krisis ekonomi. Lahan itu gersang dan dipenuhi alang-alang. Rosita membeli tanah tersebut seluas 3.000 meter persegi dengan harga Rp1.000 per meter.
Pada tahun 2000, Rosita dan suaminya, Bambang Istiawan, mulai menanam pohon di lahan tersebut. Kondisi tanahnya sangat asam dengan pH 2,5–4. Bahkan, tidak ditemukan satu pun cacing tanah. Ini memandakan bahwa tanah sudah kehilangan unsur hidup.
Untuk mengakali tanah yang tandus, Rosita menerapkan metode tumpang sari. Teknik bercocok tanam ini dilakukan dengan mencampur pohon keras dan tanaman sayur dalam satu lahan.

Rosita Istiawan, pembuat hutan organik Megamendung © CNA
Dua pertiga lahan ditanami pohon frontir, sebutan pohon yang memberikan nilai manfaat. Sementara itu, sepertiga nya ditanam pohon endemik dan buah-buahan supaya lahan bisa hijau lebih dulu Metode ini membantu menjaga kelembapan tanah sekaligus memberi hasil panen yang bisa digunakan membayar petani lokal.
"Kami lakukan tumpang sari, mencampur pohon keras dengan sayuran dengan jarak 2,5x2,5 meter," katanya
Rosita pun melakukan perawatan tanah dengan memanfaatkan kotoran ternak. Ia tidak menggunakan pupuk kimia untuk membuat hutan.
Prinsip pengelolaan inilah yang menjadi dasar penamaan tanah Rosita sebagai hutan organik. Hutan organik adalah konsep pengelolaan hutan yang berbasis pada prinsip-prinsip organik dan keberlanjutan ekologi. Artinya, seluruh kegiatan di dalamnya dilakukan tanpa bahan kimia sintetis, seperti pestisida, pupuk anorganik, atau herbisida. Hutan ini mengandalkan proses alami untuk menjaga kesuburan tanah, keanekaragaman hayati, dan keseimbangan ekosistem.
Munculnya Mata Air dan Kembalinya Satwa
Dua tahun setelah penanaman, muncul mata air alami di dekat cekungan lahan. Air itu lah yang kemudian menjadi sumber pasokan bagi kebutuhan Rosita dan warga sekitar.
"Setelah dua tahun menanam jati dan kayu keras, keluar mata air yang mengairi dua desa. Mata air muncul karena preservasi pohon," kata Rosita
Tahun 2005, Rosita kembali membeli lahan tambahan seluas 11 hektare di puncak bukit yang sebelumnya hendak dijadikan penangkaran buaya. Ia menggunakan seluruh tabungan yang seharusnya untuk membeli mobil. Kini, hutan organik Megamendung menjadi habitat bagi sekitar 44 ribu pohon tumbuh rapat.
Penelitian yang dipublikasikan Nurlita Yuniartipada Maret 2022 menunjukkan, kawasan seluas 13,76 hektare hutan rakyat organik Megamendung dapat menyimpan karbon rata-rata antara 24,14 sampai 43,18 ton karbon per hektare, atau total sekitar 469,25 hingga 48,88 ton karbon (tingkat kepercayaan 95%).
Dari total kawasan tersebut, hutan ini diperkirakan mampu menyerap CO₂ atmosfer sekitar 1.722,16–1.768,51 ton pada tahun 2021, dengan margin kesalahan ± 24,59%.
Rosita Jadi Salah Satu Nominasi Penerima Penghargaan Kalpataru
Pada 2023, Rosita menjadi salah satu kandidat penerima penghargaan Kalpataru dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Dari 348 usulan di seluruh Indonesia, hutan organik Megamendung masuk peringkat ke 21.
Meskipun hutan organik Megamendung tidak memenangkan penghargaan itu, hutan tersebut tetap tumbuh dan rimbun bahkan telah menjadi laboratorium alam. Hutan itu tumbuh bukan hanya sebagai ruang hijau, tetapi juga sebagai kelas terbuka bagi siapa saja. Pelajar, warga, hingga pegiat lingkungan datang untuk belajar tentang tanaman, pemulihan lahan, dan pembuatan pupuk organik alami.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News