Di jantung ranah Minangkabau, tepatnya di Jorong Dusun Tuo, Nagari Limo Kaum, Kecamatan Lima Kaum, Kabupaten Tanah Datar, Provinsi Sumatera Barat, berdiri sebuah situs bersejarah yang menyimpan kisah mendalam tentang asal-usul dan nilai-nilai luhur masyarakat Minang.
Batu itu dikenal dengan nama Batu Batikam, yang secara harfiah berarti “batu yang ditikam”, menjadi salah satu bukti keberadaan Kerajaan Sumatera Barat pada zaman Neolitikum. Bukan sekedar peninggalan purba, Batu Batikam menjadi simbol penting yang meneguhkan identitas, filosofi, dan semangat perdamaian orang Minangkabau.
Menurut legenda yang turun-temurun, Batu Batikam berkaitan erat dengan tokoh legendaris Minangkabau, Datuak Perpatih Nan Sabatang, salah satu pendiri sistem adat Bodi Caniago. Diceritakan bahwa asal-usul batu tersebut berawal dari adanya perbedaan pandangan antara dua saudara, yaitu Datuak Parpatiah Nan Sabatang dan Datuak Katumangguangan, dalam menentukan sistem pemerintahan adat. Datuak Parpatiah mengajukan sistem kelarasan Bodi Chaniago, sedangkan Datuak Katumangguangan mendukung sistem kelarasan Koto Piliang. Perbedaan pandangan itu mendorong keduanya untuk bermusyawarah guna mencapai kesepakatan.
Namun, perundingan tidak berjalan dengan baik. Sebagai bentuk keputusan untuk mengakhiri perselisihan, Datuak Parpatiah menancapkan kerisnya ke sebuah batu hingga berlubang, lalu batu tersebut dibuang ke sungai sebagai simbol bahwa pertentangan itu tidak akan diulangi lagi pada hari berikutnya.
Dari kisah ini, lahirlah falsafah adat yang terkenal: “Bulek aia dek pambuluah, bulek kato dek mufakat”, yang berarti segala sesuatu harus diselesaikan melaui musyawarah dan mufakat.
Secara fisik, Batu Batikam terbuat dari batu andesit atau jenis batuan keras yang telah diolah secara minimal. Ukurannya berkisar 55 × 20 × 40 cm (atau variasi ukuran mendekati itu) dengan bentuk hampir segitiga dan lubang yang menembus kedua sisi batu.
Batu ini berada di tengah sebuah area yang disebut Medan Nan Bapaneh, yaitu susunan batu sandar berbentuk persegi panjang melingkar yang dulu difungsikan sebagai tempat duduk dan arena musyawarah adat. Di sekeliling batu terdapat struktur batuan yang menyerupai bangku dan tempat sandaran, menggambarkan bagaimana para pemimpin adat duduk mengelilingi batu sebagai pusat perhatian dalam musyawarah.
Lebih dari sekadar batu tua, Batu Batikam menyimpan pesan moral dan simbolisme yang sangat mendalam dalam kultur Minangkabau. Lubang di batu tersebut melambangkan bahwa konflik tidak seharusnya menghasilkan kekerasan, melainkan harus diselesaikan melalui dialog dan kesepakatan bersama.
Fungsi area di sekitarnya sebagai Medan Nan Bapaneh memperkuat gagasan bahwa masyarakat adat Minangkabau sejak lama menjunjung tinggi mekanisme musyawarah dalam kehidupan sosial.
Legenda Parpatih Nan Sabatang dan Katumangguangan juga memperlihatkan bagaimana dua pandangan berbeda yang berpotensi memecah keharmonisan justru dapat dipersatukan melalui simbol perdamaian yang abadi, menjadikan nilai mufakat sebagai inti budaya Minangkabau.
Batu Batikam sekaligus mencerminkan cara orang Minangkabau memandang konflik dan perdamaian. Dalam budaya Minang, penyelesaian masalah tidak dilakukan dengan kekerasan, melainkan melalui dialog dan kesepakatan bersama. Semangat ini menjadi cermin betapa tingginya nilai demokrasi adat yang telah ada jauh sebelum sistem politik modern diperkenalkan di Indonesia.
Di tengah dunia modern yang kian terpecah oleh perbedaan, pesan dari Batu Batikam terasa semakin relevan. Ia mengingatkan kita bahwa perbedaan tidak selalu menjadi alasan untuk berkonflik, melainkan kesempatan untuk saling memahami. Dari batu yang ditikam berabad-abad lalu, kita belajar bahwa perdamaian bukanlah hasil dari kekuasaan, melainkan buah dari kebijaksanaan dan keikhlasan.
Dengan demikian, Batu Batikam bukan hanya peninggalan sejarah, tetapi juga cermin nilai-nilai luhur yang layak terus dijaga dan diwariskan. Di dalam batu yang diam itu, tersimpan suara masa lalu yang masih berbicara: tentang pentingnya persatuan, kebijaksanaan, dan semangat mufakat yang menjadi jiwa sejati masyarakat Minangkabau.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News