“Why Bin It if You Can Feed People in Need?”
Kalimat sederhana itu menjadi napas Garda Pangan, sebuah gerakan sosial yang lahir dari kepedulian terhadap dua masalah besar di Indonesia, yakni sampah makanan dan ketidaksetaraan akses pangan.
Adalah Kevin Gani, Ketua Yayasan Garda Pangan sekaligus penerima apresiasi SATU Indonesia Awards 2024, berkat dedikasi besarnya bersama Garda Pangan dalam menggerakkan perubahan di bidang lingkungan.
SATU Indonesia Awards adalah ajang apresiasi yang digagas oleh Astra sejak tahun 2010.Penghargaan ini ditujukan untuk anak-anak muda Indonesia yang dengan semangat dan karyanya mampu memberi manfaat nyata bagi masyarakat.
Nama SATU sendiri merupakan singkatan dari Semangat Astra Terpadu Untuk Indonesia, yang mencerminkan tekad untuk mendorong lahirnya lebih banyak agen perubahan di berbagai bidang.
Setiap tahun, SATU Indonesia Awards diberikan kepada individu maupun kelompok yang bergerak di lima bidang utama, yaitu kesehatan, pendidikan, lingkungan, kewirausahaan, dan teknologi. Para pemenang tidak hanya menerima dana pembinaan, tetapi juga pendampingan agar program yang mereka rintis bisa berkembang lebih luas dan berkelanjutan.
Dalam webinar Good Movement bersama GNFI pada Jumat, 26 September 2025, ia menegaskan bahwa hampir semua sampah makanan di Indonesia berakhir di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) tanpa proses pemilahan.
“Biasanya sampah itu diambil dari rumah warga, lalu dibuang ke TPS, kemudian langsung diangkut ke TPA tanpa adanya pemilahan. Padahal, komposisi sampah di TPA paling besar justru berasal dari makanan,” jelas Kevin.
Fakta ini seakan menjadi ironi besar, karena Indonesia tercatat sebagai negara pembuang sampah makanan terbesar kedua di antara negara-negara G20. Rata-rata, satu orang di Indonesia membuang 300 kilogram makanan setiap tahunnya.
Membuang sepiring nasi mungkin terlihat sepele, tetapi kerugiannya jauh lebih besar. Setidaknya terdapat kerugian ekonomi, lingkungan, dan sosial. Menurut Bappenas pada tahun 2021, kerugian akibat sampah makanan mencapai 213–551 triliun per tahun, setara dengan 4–5 persen Produk Domestik Bruto (PDB).
“Ketika ada satu piring nasi seharga lima ribu rupiah yang terbuang, kerugian ekonominya tidak sekadar lima ribu itu. Ada pupuk, air, bibit, dan keringat petani yang ikut hilang sia-sia,” ujarnya.
Sampah makanan yang menumpuk di TPA menghasilkan gas metana yang 23 kali lebih berbahaya dibandingkan karbon dioksida. Hal ini semakin memperparah perubahan iklim dan merugikan lingkungan.
“Sebenarnya TPA di Indonesia itu adalah bom waktu. Kita tinggal tunggu kapan akan meledak,” kata Kevin mengingatkan.
Ironisnya, di tengah melimpahnya makanan terbuang, masih ada 19,4 juta orang di Indonesia yang kelaparan. Padahal, jika makanan yang terbuang bisa dipulihkan, maka dapat memberi makan hingga 61–125 juta orang.
Garda Pangan: Menyelamatkan Makanan, Menyelamatkan Kehidupan
Sebagai sebuah food bank, Garda Pangan memiliki dua fokus besar, yakni mengurangi isu sampah makanan dan meningkatkan kesetaraan akses pangan. Berbasis di Surabaya, gerakan ini mengembangkan berbagai program nyata yang memberi dampak luas.
Melalui kegiatan food rescue, Garda Pangan menyelamatkan makanan berlebih dari industri hospitality, seperti hotel, toko roti, distributor buah, supermarket, dan lainnya.
“Garda Pangan kemudian menjemput, menyortir untuk memastikan higienitas, lalu mendistribusikannya ke warga prasejahtera di Surabaya,” jelas Kevin.
Selain food rescue, terdapat juga kegiatan gleaning. Program ini dilakukan langsung di lahan pertanian. Ada dua kondisi yang mendorong gleaning yaitu panen raya ketika harga anjlok sehingga petani enggan memanen, serta adanya sisa buah dan sayur yang dianggap kurang memenuhi standar pasar.
“Garda Pangan hadir untuk mengambil komoditas tersebut agar tidak terbuang percuma,” ujar Kevin.
Untuk makanan yang sudah tidak layak konsumsi, Garda Pangan mengembangkan sistem biokonversi dengan maggot Black Soldier Fly. Maggot ini memakan limbah organik dan menghasilkan dua manfaat, yakni menjadi pakan ternak serta menghasilkan residu yang dapat dijadikan pupuk.
Menariknya, Garda Pangan tidak hanya bergantung pada donasi dan dukungan pemerintah. Gerakan ini dijalankan dengan model social entrepreneurship.
“Saat ini, 70 persen pendanaan berasal dari usaha mandiri, sisanya 30 persen masih dari donatur dan kegiatan lain,” ungkap Kevin.
Ke depan, Garda Pangan bertekad mencapai kemandirian penuh. Menurut Kevin, Garda Pangan harus memulai kemandirian finansial tanpa bergantung pada donatur dan pemerintah.
“Ketika 100 persen mandiri, gerakan kita akan lebih stabil. Tidak ada alasan lagi bahwa operasional terhenti karena kendala dana,” tambahnya.
Mengingat Perjalanan Satu Piring Nasi
Kevin mengingatkan Kawan GNFI untuk lebih bijak memperlakukan makanan. Sampah adalah tanggung jawab kita, dan dampaknya sangat luas.
“Mulailah dari mengingat bahwa satu piring nasi di hadapanmu melalui proses panjang dan ada tenaga yang tidak sedikit,” tuturnya.
Garda Pangan menjadi bukti nyata bahwa gerakan kecil bisa membawa dampak besar. Menyelamatkan makanan bukan hanya tentang mencegah kerugian ekonomi, tetapi juga tentang menjaga bumi dan memberikan harapan bagi jutaan orang yang masih berjuang sekadar untuk makan.
Mungkin, Kawan, inilah saatnya kita tidak lagi memandang sisa makanan sebagai sampah, melainkan sebagai kesempatan untuk berbagi kehidupan.
#kabarbaiksatuindonesia
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News