Pidato Presiden Prabowo Subianto di Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) kembali menegaskan sikap Indonesia untuk mendorong terwujudnya two-state solution atau solusi dua negara bagi Palestina dan Israel.
Tak hanya Indonesia, mayoritas negara di dunia pun mendukung implementasi two-state solution karena dianggap realistis dengan kondisi saat ini. Namun, banyak masyarakat Indonesia yang menentang sebab dianggap tak adil bagi Palestina.
Lalu, bagaimana sebenarnya prinsip two-state solution jika dipandang dari segi diplomasi Indonesia?
Landasan Sikap Indonesia dalam Konflik Palestina dan Israel
Ahmad Cholis Hamzah, akademisi sekaligus mantan staf ahli bidang ekonomi kedutaan, menjelaskan bahwa sikap politik yang diambil Indonesia untuk mengakui dan mendorong kemerdekaan Palestina sebenarnya sudah berada dalam koridor diplomasi Indonesia yang berdasarkan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945.
Dalam Pembukaan UUD 1945 alinea pertama, jelas tertulis: “Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bagsa dan oleh sebab itu, maka penjajagan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan”.
Indonesia jelas tegas menolak segala bentuk penjajahan di muka bumi. Dalam hal ini, Indonesia menolak memiliki hubungan diplomatik dengan Israel karena negara itu merupakan penjajah di Palestina sejak 1948.
“Jadi Indonesia tidak akan memiliki hubungan resmi dengan negara lain apabila negara ini melakukan penjajahan terhadap bangsa lain,” terang Cholis pada GNFI.
Tak hanya itu, Israel yang sudah menduduki Gaza selama lebih dari 70 tahun juga tidak mempedulikan kecaman yang datang dari dunia. Bahkan, mereka terus melakukan perluasan wilayah jajahan dan melancarkan aksi genosidanya.
“Karena itu, kalau kita bicara apa yang sedang terjadi di Gaza sebenarnya hanya sebuah kepanjangan dari sebuah konflik yang sudah terjadi lebih dari 70 tahun, di mana Israel dengan tanpa mempedulikan suara dunia melakukan penjajahan dan bahkan genosida di Palestina,” imbuhnya.
Tentang Two-State Solution
Ada dua kekuatan politik di Palestina, yakni Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) di Tepi Barat dan Hamas di jalur Gaza. Cholis menerangkan, PLO sudah menerima konsep solusi dua negara sejak Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Arab 1982, atas dasar negara Palestina yang merdeka berbasis di Tepi Barat, Gaza, dan Yerusalem Timur.
Sementara itu, Hamas mengumumkan piagam revisi mereka di tahun 2017, di mana mereka mengklaim menerima gagasan negara Palestina dalam perbatasan tahun 1967, tetapi tidak mengakui Israel sebagai entitas negara.
Upaya mendamaikan Palestina dan Israel sudah dilakukan sejak lama dengan mewujudkan two-state solution. Terdapat berberapa kali pertemuan tingkat tinggi yang dilakukan. Akan tetapi, nihil implementasi. Beberapa konferensi yang pernah dilakukan di antaranya, KTT Camp David, The Clinton Parameters, sampai KTT Taba.
Dalam pemaparannya, Cholis menyatakan jika Israel sebenarnya pernah menerima usulan penyelesaian masalah lewat two-state solution. Namun, saat Israel sudah dikuasai oleh kekuatan politik Zionis yang kini dipimpin Benyamin Netanyahu, Israel tidak mau mengakui usulan two-state solution itu. Mereka bahkan mengklaim bahwa seluruh wilayah Palestina adalah milik Israel sejak zaman Nabi-Nabi dahulu.
“Israel bahkan memiliki keinginan kuat untuk memperluas wilayah Israel yang disebut the Greater Israel yang mencakup seluruh wilayah Palestina, Yordania, Suriah, Lebanon, sampai Irak,” pungkas jebolan University of London itu.
Sampai saat ini, perwujudan two-state solution masih alot. Meskipun demikian, dalam pertemuan di Markas Besar PBB pada 12 September 2025, 142 negara setuju untuk mengadopsi implementasi two-state solution.
Dukungan Indonesia untuk Two-State Solution
Indonesia sudah sejak lama mendorong terwujudnya two-state solution untuk menyelesaikan konflik Palestina-Israel. Sampai saat ini, melalui diplomasi dan perundingan, Indonesia konsisten untuk mendukung kemerdekaan Palestina.
Two-state solution dianggap penting karena di dalamnya memuat pengakuan kemerdekaan Palestina dalam menyelesaikan konflik Palestina-Israel. Selain itu, solusi ini juga mendesak adanya gencatan senjata permanen, perlindungan warga sipil, dan tidak dihambatnya penyaluran bantuan kemanusiaan bagi para korban perang.
Artinya, saat ini two-state solution masih menjadi kerangka utama yang diakui di dunia internasional untuk mewujudkan perdamaian di Palestina dan Israel.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News