“Saya Sangat Optimistik,” kata Romo Franz Magnis-Suseno, seorang rohaniwan Katolik, budayawan, akademisi, aktivis.
Meskipun Indonesia dihantam kabar buruk berkali-kali yang memantik gerakan demonstrasi pada Agustus-September 2025, ia tetap percaya Indonesia bisa berbenah.
Romo Magniz percaya bahwa akan ada pemimpin yang melihat rakyat walaupun saat ini banyak elite politik yang hanya mementingkan diri sendiri. Sebab, bagi Romo, politik tidak sesederhana hitam dan putih. Pemerintah juga masih punya suara hati.
Pelajaran dari Demonstrasi Agustus 2025: Keterlibatan Publik Tidak Bisa Dinafikan oleh Pemerintah
Apalagi, setelah demonstrasi besar yang menyebabkan 10 orang meninggal dan sekitar 1.683 orang ditahan aparat, pemerintah seharusnya mulai memiliki rasa takut dan menunjukkan komitmennya untuk berbenah.
“Saya sangat optimistik. Kita masih punya politisi di atas yang melihat masalah dan lama-lama memperbaikinya,” ungkapnya.
Refleksi Romo menyinggung horizon yang lebih jauh, yakni Indonesia Emas 2045. Keyakinan Indonesia bisa berbenah dilandaskan pada target pemerintah untuk mencapai Indonesia Emas 2045 yang selalu digaungkan. Ia menekankan, Indonesia Emas 2045 akan gagal jika tidak negara tidak serius melakukan pembenahan dari segala aspek.
Saat Urusan Rumah Jadi Bahasa Universal Perlawanan Para Perempuan
“Kita mesti sadar, harapan membawa Indonesia ke dalam bentuk yang membanggakan ke tahun emas 2045 akan gagal kalau situasi seperti ini terus,” katanya.
Sebab, tanpa keseriusan, Indonesia Emas 2045 yang seharusnya sebuah peluang justru akan berubah menjadi ancaman.
Lebih ekstrem lagi, Indonesia berisiko terjerumus seperti beberapa negara di Afrika yang kaya akan sumber daya alam, tapi miskin secara moral dan politik. Sebuah negara di mana keluarga penguasa dan elite menumpuk kekayaan, sementara rakyat tetap hidup sengsara.
Oleh karena itu, optimisme, dalam pandangan ini, bukanlah kepercayaan kosong. Ia berwujud peringatan sekaligus ajakan agar jangan sampai impian 2045 hanya jadi slogan, sementara kenyataan berjalan ke arah sebaliknya.
Pelajar Ikut Demo? Bagus, tapi Harus Berbekal Pengetahuan yang Mumpuni!
Kesadaran Masyarakat Sipil Saat Memilih Pemimpin
“Siapapun pejabatnya, nasib kami juga gak berubah.”
Kalimat itu kerap digunakan rakyat saat menjelang pemilihan umum. Pemilu seolah dimaknai sebagai pemindahtanganan penderitaan rakyat dari satu pejabat ke pejabat lain. Tidak ada perubahan yang signifikan dari perubahan pemimpin dari tahun ke tahun.
Meski mafhum dengan kondisi tersebut, Alissa Wahid menegaskan bahwa pasca demonstrasi lalu, rakyat seharusnya mulai paham agar tidak menyerahkan nasib ke dalam kondisi yang lebih buruk.
Demo Mahasiswa Saat Bulan Puasa: Aksi Tritura yang Mengubah Sejarah Indonesia
“Sekarang kita bisa sampaikan bahwa nasib kita membruuk karena kita memilih orang-orang yang salah. Karena kita menggadaikan suara kita dengan uang Rp50‒150. Semoga itu menjadi bahan kita untuk mendidik masyarakat,” katanya.
Kejadian ini perlu dijadikan catatan sekaligus bekal pengalaman saat menjelang pemilihan agar tidak menggadaika keyakinan dengan uang.
Jika demonstrasi 2025 telah menjadi cambuk bagi pemerintah, maka masyarakat sipil pun mendapat pelajaran berharga.
Polsek Tegalsari: Cagar Budaya Surabaya yang Terbakar dalam Aksi Demo
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News