Demonstrasi pada Agustus‒September 2025 menjadi salah satu sejarah aksi massa terbesar setelah Reformasi 1998. Gelombang massa yang bergerak dari berbagai kota menyuarakan kemarahan dan kekecewaan.
Ledakan amarah itu lahir dari akumulasi ketidakadilan, seperti praktik korupsi yang kian vulgar, disparitas sosial yang mencolok, hingga kekecewaan publik terhadap DPR yang dianggap memprioritaskan kepentingan sendiri. Praktik-praktik itu menyebabkan kesenjangan antara rakyat dan elite politik.
Perempuan adalah Subjek Perlawanan: Menilik Beragam Tuntutan yang Dibawa ke Jalan
Ketika Rakyat Kehilangan Kanal Aspirasi
“Kalau menggunakan istilah ulama, hikmahnya adalah ini wake up call yang sangat besar bagi bangsa Indonesia secara keseluruhan. Tapi ini juga wake up call bagi penyelenggara negara dan partai politik,” kata Alissa Wahid, seorang aktivis sosial.
Ia menyebut demonstrasi ini sebagai peringatan besar bagi para pejabat. Ia menyoroti bagaimana kebijakan publik kerap dibuat tanpa partisipasi masyarakat luas. Undang-Undang Cipta Kerja merupakan produk hukum yang diproses diam-diam di sebuah hotel hanya dalam waktu 12 hari.
“Kebijakan ini kita tahu diambil secara diam-diam … tanpa partisipasi publik,” tegas Alissa.
Ia menambahkan, masyarakat sudah frustrasi karena merasa tidak ada ruang aspirasi. Demonstrasi yang berulang kali digelar sebelumnya tidak menghasilkan perubahan signifikan. Di sisi lain, masyarakat disuguhi pemandangan gaya hidup elite politik dan pejabat yang penuh kemewahan.
Saat Urusan Rumah Jadi Bahasa Universal Perlawanan Para Perempuan
Politik Oligarki dan Masalah Sistemik
Oligarki adalah kekuasaan yang dikendalikan oleh sekelompok orang, tetapi memiliki pengaruh dominan dalam pemerintahan. Adapun politik oligarki merupakan sistem politik yang membuat pengambilan keputusan penting dikuasai oleh sekelompok elite penguasa partai politik.
Menurut Alissa Wahid, partai politik selama ini terlalu kuat dan menentukan hampir seluruh arah kebijakan nasional. Fenomena money politics yang sudah dianggap sebagai norma membuat kualitas demokrasi merosot.
Masalah biaya politik juga menimbulkan konsekuensi serius. Kandidat yang mengeluarkan modal besar untuk pencalonan merasa perlu mengembalikannya lewat praktik rente politik atau korupsi. Hal ini menciptakan lingkaran setan antara politik uang, korupsi, dan kebijakan publik yang tidak berpihak pada rakyat.
Romo Magnis Suseno juga menyatakan bahwa reformasi 1998 memang berhasil memasukkan prinsip demokrasi dan HAM ke dalam UUD 1945. Namun, tuntutan memberantas KKN (Korupsi, Kolusi, Nepotisme) tidak dijalankan.
“KKN hanya mundur … tetapi tetap ada. Nanti punya kesan bahwa negara itu jatuh ke dalam tangan regu-regu yang memperkaya diri,” tegasnya.
Kisah Ibu-Ibu Berhadapan dengan Polisi Saat Aksi: Catatan Orde Baru hingga Reformasi
Pelajaran Penting: Publik Tidak Bisa Lagi Disisihkan
Demonstrasi Agustus 2025 menunjukkan bahwa keterlibatan publik tidak bisa lagi dinafikan oleh partai politik. Aspirasi masyarakat tidak boleh diperlakukan sekadar formalitas. Partai politik tidak bisa lagi bersikap seolah-olah kemarahan publik hanyalah gejolak sementara yang bisa dibiarkan reda dengan sendirinya. Para politisi pun tidak bisa terus-menerus berpikir bahwa publik bisa dibohongi atau dianggap tidak setara.
“Partai politik tidak bisa, ‘berkata ah biarin aja.’ Para politisinya itu sudah diingatkan betul. Mereka diingatkan agar bertindak atas nama rakyat, tidak bisa lagi menganggap rakyat tolol,” tegas Alissa.
Reformasi sistemik—baik di tubuh kepolisian, partai politik, maupun pengelolaan sumber daya alam—juga menjadi tuntutan mendesak. Tindakan represif dan sewenang-wenang yang dilakukan aparat tidak bisa lagi ditoleransi.
Selama ini, kasus-kasus kekerasan aparat sering diperlakukan hanya sebagai insiden per individu yang selesai dengan pemecatan atau mutasi. Padahal, insiden berulang kasus kekerasan yang dilakukan aparat menandakan ada permasalah sistemik dan berpotensi menyebabkan ledakan sosial serupa dapat terulang di masa yang akan datang.
Demonstrasi kali ini adalah simbol kemarahan terhadap ketidakadilan yang sudah menumpuk sekaligus memberikan pesan bahwa rakyat menuntut didengar.
Berapa Orang yang Dibutuhkan Agar Suara Rakyat Terdengar Jelas dari Dalam Gedung DPR?
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News