Siswa SMA Kolese Gonzaga, Jakarta, menolak pandangan bahwa pelajar tidak semestinya ikut serta dalam aksi unjuk rasa. Pakar menilai ini adalah hal positif. Mengapa?
Akhir-akhir ini, SMA Kolese Gonzaga ramai dibicarakan setelah Organisasi Kesiswaan sekolah yang berlokasi di Jakarta Selatan tersebut, Senat Kolese Gonzaga, menyatakan menolak pandangan yang melarang pelajar ikut aksi unjuk rasa.
Pernyataan itu tertuang secara tertulis dengan ditandatangani oleh Ketua Senat, Christopher Kana Cahyadi, dan Kepala SMA Kolese Gonzaga, Pater Eduard C. Ratu Dopo, tertanggal 4 September 2025. Dalam pernyataan, disebutkan bahwa aksi seperti kampanye lewat media sosial, penyebaran petisi, penyuaraan aspirasi dan sejenisnya adalah bentuk dari kebebasan berpendapat yang dilindungi oleh Pasal 28 ayat (3) UUD 1945.
Pakar pendidikan dari Universitas Negeri Semarang, Edi Subkhan, mengapresiasi apa yang dilakukan SMA Kolese Gonzaga.
"Artinya, pihak sekolah paham betul nilai-nilai demokrasi, termasuk paham betul bahwa siswa berhak untuk bersuara, menyampaikan pendapat, dan tidak boleh dibungkam, asalkan memang suara siswa tersebut dapat dipertanggung jawabkan," ujar Edi kepada GNFI, Kamis (12/9/2025).
Menurut Edi, tidak membatasi pelajar untuk menyuarakan aspirasi termasuk unjuk rasa seperti yang dilakukan SMA Kolese Gonzaga sama dengan mendukung siswa agar menjadi pribadi yang berpikiran kritis, kreatif, inovatif, mampu memecahkan masalah, komunikatif, dan punya semangat bergotong-royong.
"Nggak ada gunanya kalau berpikir kritis hanya sebatas diajarkan di kelas dan digunakan untuk mengerjakan soal di atas kertas. Anak-anak Gonzaga dibawa pada realitas, bahwa daya kritis mereka diuji sekarang ini, dan diberikan saluran yang tepat untuk menyuarakannya," lanjut Edi.
Tak heran sikap yang ditunjukkan SMA Kolese Gonzaga menarik perhatian. Sebab, di tengah gelombang unjuk rasa di berbagai daerah pada akhir Agustus 2025 lalu, pemerintah kerap mencegah pelajar sekolah untuk ikut serta. Kepolisian melakukan sweeping di lokasi-lokasi tertentu, sementara Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen) mengeluarkan surat edaran berisi larangan ikut unjuk rasa.
Dalam Surat Edaran (SE) Sekretaris Jenderal Kemendikdasmen Nomor 13 Tahun 2025, dicantumkan penegasan bahwa "Partisipasi siswa dalam penyampaian pendapat harus diarahkan melalui jalur pendidikan, dialog, serta ruang pembelajaran yang aman".
Baltasar Klau Nahak dan Perpustakaan Keliling Agape, Sebuah Inspirasi dari Ujung Timur Indonesia
Boleh Unjuk Rasa, Asal Punya Bekal Pengetahuan
Meski tak sepatutnya dilarang menyuarakan aspirasinya, pelajar juga tidak boleh sembarangan terjun ke medan unjuk rasa. Edi mewanti-wanti agar pelajar harus punya bekal berupa pengetahuan menyangkut politik dan seluk-beluk unjuk rasa yang akan diikutinya.
Bukan tanpa alasan, pengetahuan tersebut penting mengingat unjuk rasa kerap disusupi provokator atau kepentingan tertentu yang justru merusak motif atau tujuan utamanya. Di bawah bimbingan guru dan pihak sekolah, pelajar terutama yang berada di jenjang SMA perlu diberi pembelajaran tentang teori dan praktik politik di Indonesia.
Banyak hal yang perlu diketahui pelajar mengenai politik Indonesia, termasuk aneka masalah dan kasus-kasusnya. Pelajar juga harus paham harus paham soal konstelasi politik, hak dan kewajibannya, siapa yang potensial mencurangi politik, jalannya pemerintahan, dan bagaimana cara untuk mencegah atau mengatasinya.
"Ini justru penting daripada membungkam anak-anak usia sekolah dari informasi dan aktivitas politik, karena justru mereka akan cari dari saluran lain di era keterbukaan informasi ini, di mana mereka jadi yang terdepan dalam mencari informasi di dunia maya," tambah Edi.
Satu hal lagi yang tak kalah penting, perlu dipahami bahwa pembelajaran politik kepada pelajar jangan hanya sebatas dilakukan untuk kepentingan politik elektoral belaka jelang pilihan umum. Lebih dari itu, harus dilihat sebagai pendidikan politik tentang hak dan kewajiban sebagai Warga Negara Indonesia.
Dengan adanya pembelajaran politik yang memadai dan pengetahuan yang cukup, diharapkan pelajar bisa menyuarakan aspirasinya dengan baik dan benar alih-alih dibungkam.
"Termasuk di situasi-situasi penting seperti sekarang ini, secara teknis anak-anak juga harus dibekali pengetahuan dan teknis cara menyuarakan pendapat, cara agar tidak mudah terprovokasi, cara menghindarkan diri dari provokasi, dan lainnya." pungkas Edi.
Samsul Husen, Membentuk Keluarga Emas Melalui Sekolah Calon Ayah dan Ibu
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News