Indonesia dikenal sebagai negara yang memiliki ribuan pulau. Masing-masing pulau dihuni oleh penduduk yang tergolong dalam berbagai suku. Berdasarkan data sensus penduduk tahun 2020 oleh Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah suku di Indonesia mencapai lebih dari 1.300 suku bangsa. Salah satu di antaranya yang memiliki jumlah penduduk paling banyak adalah Jawa. Penduduk yang bersuku Jawa tercatat mencapai 95.217.022 jiwa, atau sekitar 40% dari total penduduk di Indonesia.
Masing-masing suku memiliki bahasa daerah yang kerap digunakan masyarakatnya untuk saling berkomunikasi. Di Jawa, penggunaan bahasa Jawa memiliki dialek yang berbeda masing-masing daerahnya.
Keragaman ini misalnya terdapat pada bahasa Jawa di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Meskipun masih satu suku dan satu bahasa, tak jarang dalam penuturannya terdapat perbedaan makna maupun kosakata.
Di Jawa Tengah, dialek bahasa Jawa yang digunakan antar daerah juga berbeda. Namun, dari semua wilayah yang ada, perbedaan yang paling mencolok terdapat pada penggunaan bahasa Jawa Penginyongan atau biasa dikenal dengan bahasa Ngapak atau Banyumasan.
Perbedaan Bahasa Ngapak dan Bahasa Jawa
Secara umum bahasa Jawa Ngapak dan bahasa Jawa yang biasa digunakan di wilayah Yogyakarta maupun Surakarta sangat berbeda. Penuturan kedua bahasa ini memiliki ciri khasnya masing-masing. Dalam bahasa Jawa Ngapak, konsonan di akhir kata dibaca dengan jelas. Selain itu, huruf vokal a, i, u, e, o, juga diucapkan dengan jelas dan tidak diubah.
Misalnya, kata “ada” yang dalam bahasa Jawa diartikan sebagai “ana”. Penutur bahasa Jawa wetanan yang meliputi wilayah Jawa Tengah bagian timur, Yogyakarta, dan Jawa Timur membacanya dengan mengubah huruf A menjadi O, sehingga dibaca “ono”. Sedangkan dalam bahasa Ngapak, huruf A tetap dibaca apa adanya sehingga tetap dibaca “ana”.
Ciri khas lain yang dengan mudah dapat membedakan bahasa Jawa Ngapak dan bahasa Jawa pada umumnya adalah kosakata yang digunakan. Bahasa Jawa Ngapak memiliki kosakata tersendiri yang sekilas jika didengarkan berbeda jauh dengan kosakata di Bahasa Jawa yang biasa dikenal sekarang.
Misalnya, jika pada bahasa Jawa umunya kata “lapar” memiliki arti “luwe” atau “luweh”, dalam bahasa Ngapak kata tersebut diartikan sebagai “kencot”.
Sejarah Bahasa Jawa Ngapak
Bahasa Jawa Ngapak dituturkan oleh masyarakat di wilayah eks-karesidenan Banyumas seperti Banyumas, Purbalingga, Banjarnegara, dan Cilacap. Selain itu, bahasa ini juga digunakan oleh sebagian masyarakat eks-karesidenan Kedu seperti Kebumen, Wonosobo, Pemalang, Pekalongan, dan Batang.
Dalam perkembangannya, bahasa Jawa mengalami perubahan yang digolongkan menjadi empat babak. Pada abad ke-9 hingga abad ke-13, bahasa yang digunakan tergolong sebagai bahasa Jawa kuno. Kemudian, pada abad ke-13 hingga abad ke-16, bahasa ini berkembang menjadi bahasa Jawa abad pertengahan.
Selanjutnya, penggunaan bahasa di abad ke-16 hingga abad ke-20 berkembang menjadi bahasa Jawa baru. Sejak abad ke-20 sampai sekarang, bahasa Jawa telah bertransformasi menjadi bahasa Jawa modern.
Dilansir dari kompas.com, penggunaan bahasa ngapak yang digunakan masyarakat Banyumasan saat ini lebih dekat dengan Jawa kuno.
Selain sebagai alat komunikasi antar warga, bahasa ngapak juga menjadi bentuk ekspresi dan sebuah identitas lokal bagi masyarakatnya. Ciri khas dalam pelafalannya menjadikan bahasa ini mudah dikenali karena berbeda dengan dialek bahasa Jawa lainnya.
Bahasa ini juga menjadi simbol keteguhan masyarakatnya dalam menjaga tradisi dan warisan leluhur serta menjadi sarana pelestarian nilai-nilai lokal yang terus hidup dan berkembang dari generasi ke generasi.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News