Dalam beberapa hari terakhir, wacana soal pemekaran wilayah di Indonesia bergulir, sebagai tindak lanjut rencana penataan daerah.
Salah satu wilayah yang masuk daftar adalah Solo Raya di Provinsi Jawa Tengah, dengan wacana pembentukan (kembali) Daerah Istimewa Surakarta yang mengemuka.
Sebelum wacana pembentukan (kembali) Daerah Istimewa Surakarta belakangan muncul, upaya hukum, lewat uji materi UU Nomor 10 Tahun 1950 tentang Pembentukan Provinsi Jawa Tengah, di Mahkamah Konstitusi, pernah dilakukan pihak Keraton Kasunanan Surakarta. Upaya ini pada akhirnya ditolak MK, melalui Putusan MK No 63/PUU-XI/2013.
Dalam sejarahnya, wilayah berkode plat nomor AD ini memang pernah jadi Daerah Istimewa, seperti halnya Yogyakarta. Maklumat Keraton Solo 1 September 1945 menjadi penanda awal eksistensi.
Sayangnya, daerah Istimewa Surakarta hanya aktif kurang dari setahun pascaproklamasi kemerdekaan Indonesia tahun 1945.
Pada prosesnya, DIS digabungkan dengan Provinsi Jawa Tengah, tepatnya sejak 15 Juli 1946 (hingga sekarang) karena situasi tidak kondusif akibat gejolak masa revolusi dan “Gerakan Anti Swapraja”.
Pariwisata Indonesia: Dulu, Kini, dan Nanti
Lebih jauh, Huda, N. M. (2013) menyebut, terdapat juga masalah tarik-ulur antara Sri Sunan dan Adipati Mangkunegara, yang tidak menemui kata sepakat. Baik kubu Kasunanan Surakarta maupun Kadipaten Mangkunegaran sama-sama ingin berdiri sendiri, sebagai satu daerah istimewa.
Dengan kata lain, tidak ada yang ingin menjadi "Wakil Gubernur", karena semuanya merasa berhak jadi Gubernur. Tarik-ulur ini muncul, karena kedua belah pihak sama-sama merasa berposisi setara.
Akibatnya, situasi di Daerah Istimewa Surakarta menjadi tidak stabil, sehingga pemerintah pusat terpaksa harus bertindak.
Situasi ini kontras dengan pemimpin di Daerah Istimewa Yogyakarta, yang sejak menerbitkan Amanat 5 September 1945, sudah saling sepakat dengan posisi masing-masing.
Di mana, Raja Keraton Yogyakarta menjadi Gubernur, dan Adipati Pura Pakualaman sebagai Wakil Gubernur, dengan sistem penetapan secara turun temurun.
Kilas Balik 2024: Momen Spesial di Desa Wisata Pulesari
Dengan kesepakatan itu, situasi Daerah Istimewa Yogyakarta relatif kondusif sejak masa awal terbentuknya. Pada periode 1946-1949, Yogyakarta bahkan pernah menjadi ibu kota Republik Indonesia, menyusul situasi Jakarta yang gawat, khususnya selama masa awal kemerdekaan.
Berkat berbagai kontribusi krusial selama masa perjuangan, ditambah kerja sama solid antara Gubernur dan Wakil Gubernur, hingga ke generasi berikut, status Daerah Istimewa di Yogyakarta bisa tetap terjaga.
Pengakuan yang sudah lama ada dari pemerintah pusat, turut diperkuat dengan hadirnya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2012 Tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta.
Sumbu Filosofi Yogyakarta, Perpaduan Unik Sejarah dan Budaya
Jika ditambah dengan perspektif kekayaan budaya, Daerah Istimewa Yogyakarta seharusnya bisa menjadi gambaran sederhana, tentang bagaimana gambaran Daerah Istimewa Surakarta, jika benar-benar dibentuk (kembali) seperti versi awal.
Seperti diketahui, Surakarta juga punya jejak panjang sejarah dan budaya, seperti halnya Yogyakarta.
Kalaupun DIS pada akhirnya bisa (kembali) terbentuk dengan sistem seperti dahulu, dan mendapat kucuran Dana Keistimewaan (Danais) dari pusat, seperti halnya Yogyakarta, masih ada pertanggungjawaban wewenang langsung ke pemerintah pusat, yang juga akan mengawasi langsung. Otomatis, ada hak dan kewajiban yang harus bisa dipenuhi secara bersamaan.
Masalahnya, dengan rekam jejak masa lalu, yang tidak menemui kata sepakat, soal siapa yang jadi Gubernur dan Wakil Gubernur, wacana pembentukan (kembali) Daerah Istimewa Surakarta menjadi kurang masuk akal untuk dilakukan.
Kalau (kembali) terjadi tarik-ulur tanpa ada kesepakatan, seperti di masa lalu, pemerintahan di wilayah ini akan sulit berjalan normal.
Malah, bukannya melebur sebagai satu daerah, DIS rawan terbagi lagi menjadi dua wilayah, yakni Kasunanan dan Mangkunegaran. Alhasil, proses selanjutnya bisa menjadi lebih rumit.
Gedung Agung, Titik Temu Sejarah, Keindahan dan Inklusivitas
Secara kapabilitas, khususnya dalam hal menjalankan pemerintahan, ada satu tanda tanya besar secara umum, pada Keraton Kasunanan Surakarta dan Pura Mangkunegaran. Sejak tahun 1946, keduanya praktis sebatas berperan sebagai "penjaga warisan budaya Jawa".
Dengan peran sebagai institusi budaya, bukan lembaga pemerintahan, selama puluhan tahun terakhir, apakah mereka masih cukup mampu, jika kembali berperan sebagai institusi pemerintahan?
Ini belum termasuk tantangan lain, berupa dinamika masyarakat dan kemajuan teknologi era modern. Mensinkronkan nilai-nilai klasik khas budaya Jawa, dengan modernitas yang bergerak cepat, bukan proses yang bisa langsung selesai dalam semalam.
Daerah istimewa Yogyakarta, yang sudah eksis selama puluhan tahun saja, masih terus berproses di sini.
Ditambah lagi, internal Keraton Kasunanan Surakarta juga masih belum sepenuhnya solid. Muharrom (2014) menyebut, masih ada perselisihan terkait suksesi pasca Pakubuwono XII mangkat tahun 2004 silam, dan ini masih belum sepenuhnya tuntas.
Jika di lingkungan Keraton (yang secara politis sudah dicabut wewenangnya oleh pemerintah pusat sejak tahun 1946) saja masih tidak solid, bagaimana jika nanti benar-benar punya wewenang politik di masyarakat?
Terlepas dari nilai historio-kultural yang dimilikinya, pembentukan (kembali) Daerah Istimewa Surakarta masih sulit terwujud, setidaknya dalam waktu dekat. Selama berbagai dinamika, termasuk permasalahan yang masih ada belum tuntas, selama itu juga wacana ini akan tetap jadi wacana.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News