Reformasi 1998 menjadi salah satu peristiwa yang tak terlupakan dalam sejarah Indonesia. Keadaan negara yang sedang dilanda krisis ekonomi dan menurunnya kepercayaan masyarakat terhadap Presiden Soeharto memicu gelombang demonstrasi mahasiswa yang akhirnya menggulingkan rezim Orde Baru.
Salah satu momen paling dramatis dalam perjalanan reformasi terjadi pada 18 Mei 1998, ketika ribuan mahasiswa berhasil menguasai Gedung MPR/DPR. Di sana, mereka berdemonstrasi untuk menuntut pengunduran diri Presiden Soeharto. Beberapa di antaranya bahkan melakukan aksi duduk di atas atap gedung sebagai bentuk protes simbolis.
Menurut laporan Kompas, kelompok pertama yang berhasil memasuki Gedung DPR adalah perwakilan dari Forum Komunikasi Senat Mahasiswa Jakarta (FKSMJ). Mereka mulai memasuki gedung sekitar pukul 11.30 WIB, dengan 50 mahasiswa yang dipimpin oleh FKSMJ.
Nusron Wahid, yang pada saat itu menjabat sebagai pengurus Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia, mengenang bagaimana kelompok mahasiswa ini dapat memasuki gedung dengan mudah, bahkan tanpa hambatan berarti.
“Gerbang terbuka. Kami tidak dihadang saat masuk,” kata Nusron Wahid dalam wawancara dengan Majalah Tempo edisi Oposisi: Menengok Gerakan Mahasiswa Mengawali Kejatuhan Presiden Soeharto.
Pada hari yang penuh ketegangan ini, mahasiswa berhasil menduduki Gedung MPR/DPR. Setelah pendudukan ini, dukungan terhadap Soeharto mulai luntur. Euforia kemenangan mahasiswa masih dikenang oleh sebagian besar masyarakat Jakarta.
"Saya masih ingat bagaimana saya menangis melihat para mahasiswa dengan jaket-jaket mereka duduk di atap gedung Senayan, meski saya hanya menonton di televisi," kenang Nyonya Chotidjah Rahman, seorang ibu rumah tangga yang tinggal di Pasar Minggu.
Dua Pilihan: Istana atau Gedung DPR/MPR
Masinton Pasaribu, seorang politisi yang turut berpartisipasi dalam aksi mahasiswa, mengingat ada dua lokasi yang dipertimbangkan sebagai sasaran unjuk rasa: Istana Negara dan Gedung DPR/MPR.
Beberapa mahasiswa mengusulkan untuk langsung menuju Istana Negara, namun ada juga yang berpikir bahwa Gedung DPR/MPR lebih mudah diduduki. Pasalnya, semua aparat keamanan negara sedang fokus menjaga Istana Negara.
“Kami masih ingat dengan jelas Tragedi Tiananmen, di mana protes mahasiswa di China mendapat respons keras dari militer. Maka, pilihan terbaik adalah Gedung DPR karena lebih mudah dijangkau,” ujarnya, seperti yang dimuat dalam Kompas.
Akhirnya, pendudukan Gedung DPR/MPR menjadi simbol keberhasilan gerakan mahasiswa. Masinton melihat pendudukan ini sebagai penegasan kedaulatan rakyat, sebuah pernyataan bahwa rakyatlah yang memiliki kekuasaan tertinggi.
"Legitimasi pemilu 1997 yang mengangkat Soeharto kembali sebagai presiden tidak sah di mata kami. Maka, kami merasa sah untuk menduduki Gedung DPR/MPR," tegasnya.
Soeharto Mundur: Perubahan yang Ditunggu
Setelah beberapa hari penuh ketidakpastian, kabar menggembirakan akhirnya datang. Harmoko, yang saat itu menjabat sebagai Ketua MPR/DPR, menyatakan dukungan terhadap tuntutan mahasiswa. Dalam sebuah konferensi pers, Harmoko secara mengejutkan menyerukan agar Soeharto mundur dari jabatannya sebagai Presiden.
“Demi persatuan dan kesatuan bangsa, kami mengharapkan agar Presiden Soeharto, dengan bijaksana, mengundurkan diri,” kata Harmoko, seperti yang dilaporkan Merdeka.
Pada 21 Mei 1998, Soeharto akhirnya mengumumkan pengunduran dirinya sebagai Presiden Indonesia setelah mendapat tekanan besar dari masyarakat, mahasiswa, dan pihak-pihak lainnya yang menuntut perubahan. Setelah pengunduran diri ini, mahasiswa merayakan kemenangan mereka di Gedung DPR/MPR, simbol kemenangan rakyat atas kekuasaan yang telah lama berkuasa.
Sumber:
- Hari Ini dalam Sejarah: 18 Mei 1998 Mahasiswa Duduki Gedung DPR/MPR, Minta Soeharto Mundur
- 18 Mei 1998 Ribuan Mahasiswa Kuasai Gedung MPR/DPR RI, Awal Mula Reformas
- Pendudukan Gedung DPR MPR, Puncak Protes Rakyat yang Jatuhkan Soeharto
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News