Di era serbadigital ini, persebaran informasi semakin luas. Pengguna media dapat memperoleh beraneka ragam informasi di mana pun dan kapan pun. Namun, tidak semua informasi yang terdapat di media digital saat ini adalah informasi yang benar.
Survei yang dilakukan oleh Katadata Insight Center (KIC) bersama Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) mengungkapkan bahwa penyebaran hoaks di masyarakat masih cukup tinggi. Tercatat, pada tahun 2021, sekitar 11,9% responden mengaku pernah menyebarkan informasi palsu.
Selain itu, antara 30% hingga hampir 60% warga Indonesia terpapar hoaks saat menggunakan internet untuk mengakses informasi atau berkomunikasi. Namun, hanya sekitar 21% hingga 36% dari mereka yang mampu mengidentifikasi informasi palsu tersebut.
Keberadaan hoaks di media digital semakin memprihatinkan. Sebenarnya, permasalahan ini dapat diatasi dengan kemampuan literasi media yang baik. Akan tetapi, faktanya, literasi media di Indonesia—bahkan di dunia—semakin menurun drastis. Hal ini diperburuk dengan adanya mesin pencari dan kecerdasan buatan (AI) yang memberikan jawaban instan.
Akibat dari fenomena ini, kebanyakan pengguna media menerima informasi secara mentah tanpa menganalisis informasi yang mereka peroleh terlebih dahulu.
Literasi Media Merosot di Tengah Arus Konten Cepat
Di era digital ini, masyarakat menghabiskan waktu luang dengan mengonsumsi media seperti TikTok, Instagram, maupun Twitter selama berjam-jam, tanpa menyadari bahwa informasi yang mereka terima bersifat provokatif dan destruktif.
Dikutip dari salah satu esai berjudul “Media Literacy: Dead and Streaming” yang ditulis oleh pengguna aplikasi Substack dengan nama pengguna @thejournalcatacombs, ia berpendapat bahwa sebagai guru bahasa dan literatur, tingkat kemampuan literasi media di sekolah tempatnya mengajar telah mencapai titik terendah.
Membaca untuk Semua, Literasi Sepanjang Usia di Era Digital
Murid-murid tidak memiliki keinginan untuk bertanya, alih-alih mereka hanya menerima informasi secara buta dan pasif. Mereka juga tidak memiliki kemampuan yang cukup untuk membedakan informasi yang kredibel maupun membedakan opini dan fakta.
Menurutnya, konsumsi pasif telah dinormalisasi di era ini. Permasalahan ini merupakan refleksi dari sistem yang lebih mengutamakan informasi yang cepat dibandingkan informasi yang memerlukan pemikiran kritis.
Hal ini dapat dilihat dalam kehidupan sehari-hari kita. Salah satu contohnya adalah maraknya pengguna media yang menyebarkan informasi hoaks tanpa menganalisisnya terlebih dahulu.
Literasi Media sebagai Pilar Ketahanan di Era Digital
Tidak bisa dimungkiri, dunia telah berada di era digital. Dengan minimnya kesadaran mengenai bahaya konsumsi digital, pemahaman yang lebih mendalam mengenai permasalahan ini menjadi suatu urgensi.
Menurut pendapat W. James Potter dalam esainya yang berjudul “The State of Media Literacy”, media secara konsisten memengaruhi penggunanya dari berbagai aspek: kognitif, perilaku, emosi, dan fisiologis.
Literasi media berdampak pada pilihan politik kita, bagaimana kita memahami peristiwa dunia, serta keputusan yang kita buat dalam kehidupan sehari-hari.
Tanpa kemampuan untuk bersikap kritis terhadap suatu informasi, pengguna media menjadi rentan terhadap manipulasi oleh misinformasi, propaganda, dan eksploitasi oleh pihak berkepentingan.
Desakan untuk meningkatkan literasi media tidak hanya berkaitan dengan persoalan edukasi, tetapi juga berhubungan dengan masalah demokrasi, budaya, dan kemampuan kita dalam membuat keputusan yang tepat di dunia yang semakin kompleks.
Tujuan literasi media adalah untuk melindungi masyarakat dari potensi efek negatif. Masyarakat yang memiliki tingkat literasi media yang tinggi lebih terlindungi dari pengaruh buruk media massa.
“Terdapat konsensus bahwa pengaruh media yang lemah dan halus sekalipun penting untuk dipertimbangkan, mengingat sifat pengaruh media yang menyebar luas dalam budaya, serta tingginya tingkat paparan orang terhadap berbagai bentuk media,” tambah W. James Potter.
Membangun Literasi Media melalui Analisis dan Perspektif Kritis
Menurut W. James Potter, kemampuan literasi media adalah keterampilan yang harus dipelajari dan dikembangkan, dan perkembangannya memerlukan usaha dari setiap individu serta bimbingan dari para ahli.
Proses pengembangan kemampuan literasi media merupakan proses yang tidak pernah selesai, karena media terus berubah dan berkembang.
Pemerintah Dorong Literasi Digital, Apa Pentingnya bagi Perempuan?
Peningkatan literasi media dapat dilakukan dengan mengenali dan mengidentifikasi sumber-sumber yang kredibel. Sumber-sumber ini biasanya telah melalui proses penelitian yang mendalam serta kurasi data yang tepat. Dengan mengonsumsi informasi dari sumber yang kredibel, risiko terkena informasi hoaks menjadi lebih kecil.
Di Indonesia sendiri, tersedia banyak sumber kredibel yang dapat dijadikan rujukan dan biasanya memiliki perspektif yang berbeda-beda. Oleh karena itu, mengakses dan memahami berbagai perspektif menjadi hal yang penting dalam meningkatkan literasi media.
Semakin banyak perspektif yang dipahami oleh pengguna media, semakin luas pula wawasan yang dimiliki.
Dalam proses identifikasi sumber serta pemahaman terhadap berbagai perspektif tersebut, analisis media secara kritis tidak boleh diabaikan. Analisis ini dilakukan untuk memahami tujuan dari media tersebut, pesan yang disampaikan, serta dampak yang diharapkan setelah media diterima oleh audiens.
Oleh karena itu, pengguna media, khususnya di Indonesia, perlu menyadari dampak yang akan terjadi jika literasi media dianggap remeh.
Cegah Judol, Kemkomdigi Maksimalkan Kampanye Literasi Digital
Kemampuan literasi media bukan hanya tentang memahami suatu informasi, melainkan juga merupakan bentuk kepedulian terhadap demokrasi serta pemahaman budaya bangsa.
Literasi media membekali generasi mendatang untuk menavigasi era digital secara cerdas dan penuh pertimbangan. Kemampuan ini akan memberi mereka kekuatan untuk menemukan kebenaran.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News