Selama ini ada tiga cara untuk mengetahui apakah makanan masih layak atau sudah basi, di antaranya dilihat dari segi tampilan, tekstur, hingga aroma. Biasanya makanan yang sudah basi memiliki beberapa kriteria, yakni terjadi perubahan warna, berlendir, aroma menyengat, hingga tekstur menjadi lebih lembek atau bahkan menggumpal.
Meski telah ada panduan tersebut, ternyata masih banyak yang belum paham cara membedakan makanan layak konsumsi atau yang sudah basi.
Nah, untuk menjawab kekhawatiran tersebut, siswi SMA Negeri 2 Cilacap, Alya Meisya Nurfadhilah dan Felda Triana Wulandari membuat kotak makan pendeteksi kelayakan makanan. Mereka menamai Ompreng.
“Kami menciptakan alat ini awalnya itu karena prihatin banyak kasus keracunan makanan,” kata Alya, dikutip dari Detik.com.
Cara Kerja Ompreng
Secara tampilan, Ompreng tak jauh beda dari kotak makan pada umumnya. Bedanya, di dalamnya terpasang dua sensor gas, yaitu MQ135 dan MQ3.
Sensor MQ135 digunakan untuk mendeteksi gas amonia atau karbon dioksida yang biasanya muncul dari makanan hewani seperti daging saat mulai membusuk. Sementara itu, sensor MQ3 berfungsi untuk mendeteksi senyawa alkohol dari makanan nabati seperti sayur atau buah yang mulai mengalami fermentasi.

Kotak makan pendeteksi tingkat kelayakan konsumsi terhubung dengan sistem IoT © Detik.com
Kedua sensor ini mengidentifikasi kadar gas di dalam kotak, lalu hasilnya muncul di aplikasi Blynk IoT yang terhubung lewat WiFi. Aplikasi ini menampilkan angka yang menjadi indikator kesegaran makanan.
“Koneksinya lewat WiFi, jadi bisa ditinggal sambil dipantau lewat HP,” jelas Alya.
Untuk makanan hewani angka normalnya berada di kisaran 100–400. Jika mendekati 1.000, berarti makanan itu sudah mulai basi. Sementara untuk makanan nabati, angka aman ada di 100–500.
“Kalau di atas itu sudah mengandung gas yang hampir basi. Sebaiknya tidak dikonsumsi," imbuh Alya.
Yang menarik, hasil deteksi bisa keluar hanya dalam waktu 3–5 menit. Petugas kantin atau guru tinggal menaruh makanan ke dalam Ompreng, menutupnya rapat, dan melihat hasil di layar ponsel.
Dapat Penghargaan dan Rencana Pengembangan
Alya menjelaskan bahwa kotak makan ciptaannya bekerja dengan membaca perubahan suhu, warna, dan gas yang muncul dari makanan. Ketiga indikator itu membantu mendeteksi apakah makanan masih layak konsumsi atau mulai mengalami pembusukan.
Ia mengatakan, rancangan tersebut masih akan terus dikembangkan agar mampu mendeteksi bakteri berbahaya secara lebih spesifik.
“Alat ini membaca gas yang keluar dari makanan. Ke depan kami ingin menyempurnakannya agar bisa mengenali bakteri seperti E. coli dan Salmonella,” ujar Alya.
Menurutnya, tujuan utama dari alat ini memang untuk mendeteksi kondisi kebasian makanan. Akan tetapi, penyebab keracunan tidak selalu hanya berasal dari makanan yang busuk.
“Keracunan juga bisa disebabkan oleh makanan yang sudah terkontaminasi meskipun belum terlihat basi,” tambahnya.
Alya dan Felda telah menguji alat ini di laboratorium dan hasilnya terbukti efektif. Bahkan, karya tersebut membawa mereka meraih Juara 2 dalam ajang AHM Best Student (AHMBS) Regional Jateng–DIY 2025 yang diselenggarakan oleh Astra Honda Motor secara daring pada 11–23 September 2025.
“Alhamdulillah kami berhasil mendapat juara dua. Kalau tidak salah, juara satunya dari Yogyakarta,” ujar Alya dengan penuh syukur.
Keduanya berharap, inovasi sederhana yang lahir dari ruang laboratorium sekolah ini bisa dikembangkan lebih luas agar bermanfaat bagi masyarakat. Mereka ingin Ompreng menjadi bagian dari solusi untuk mengurangi kasus keracunan makanan yang masih sering terjadi di Indonesia.
“Harapannya, alat ini bisa terus dikembangkan dan digunakan masyarakat luas. Kami ingin Ompreng membantu menekan kasus keracunan makanan di Indonesia,” pungkas Alya.
Mulai Diterapkan di Sekolah
Ompreng mendapat dukungan penuh dari pihak sekolah. Bahkan, alat ini sudah dipakai di sekolah mereka untuk memeriksa makanan MBG sebelum dibagikan kepada siswa.
"Iya, kami ambil sampel MBG dulu sebelum dikonsumsi siswa. Kalau misal hasilnya tidak layak, langsung kita hentikan pembagiannya. Semua demi keamanan siswa," kata Masripah, Kepala SMA Negeri 2 Cilacap.
Sebenarnya, prinsip kerja sensor seperti MQ135 dan MQ3 sudah dikenal dalam dunia teknologi pangan. Namun inovasi Alya dan Felda adalah bagaimana menggabungkan sensor, wadah makan, dan sistem IoT dalam satu alat praktis yang bisa digunakan oleh sekolah tanpa keahlian teknis tinggi.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News