Program Makan Bergizi Gratis (MBG) dinilai memerlukan undang-undang (UU) untuk memperjelas sistem dan tata kelola pelaksanaannya. UU ini dapat dijadikan acuan dan payung hukum apabila terjadi masalah tertentu, termasuk soal keracunan massal.
Menanggapi hal tersebut, Pakar Hukum Tata Negara Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Dr. King Faisal Sulaiman, S.H., LLM., menilai jika pembentukan UU MBG memang penting. Menurutnya, dasar hukum yang berbentuk undang-undang akan memberi legitimasi yang lebih kuat sekaligus menjadi jawaban atas berbagai permasalahan tata kelola yang selama ini masih lemah.
“Program ini sejatinya adalah upaya untuk meningkatkan kualitas gizi anak-anak Indonesia, terutama pelajar. Karena itu, sangat penting jika diatur melalui undang-undang agar keberlanjutannya terjamin. Kalau hanya berbasis Perpres, jelas terlalu lemah. UU akan memberikan kepastian hukum, baik dari sisi kewenangan maupun pembiayaan,” ujarnya dalam umy.ac.id.
Urgensi UU MBG
Lebih lanjut, UU MBG akan membawa implikasi penting dalam pembagian peran antara pemerintah pusat dan daerah. King menjelaskan, selama ini, masih banyak aturan yang kabur, utamanya terkait mekanisme pendanaan dan tanggung jawab daerah dalam pelaksanaan MBG.
Di lapangan, pemerintah daerah sering kali hanya dimintai pertanggungjawaban saat ada masalah, padahal landasan hukumnya tidak jelas. King juga menyoroti alokasi anggaran yang dianggapnya timpang.
“Misalnya soal alokasi anggaran, jangan hanya dibebankan pada APBN. Perlu ada porsi dari APBD agar pembagian tanggung jawab lebih proporsional,” terangnya.
Kasus keracunan MBG yang terjadi beberapa waktu belakangan menjadi sinyal perlunya evaluasi menyeluruh. Harus ada dasar hukum yang kuat untuk mengawasi pelaksanaan program tersebut.
Dasar hukum inilah yang nantinya akan menjadi acuan dari sistem pengawasan MBG, utamanya terkait keterlibatan pihak swasta yang menjadi mitra pelaksana program.
Hal yang Perlu Diperhatikan dari UU MBG
Menyoal UU MBG, King menegaskan beberapa aspek substansial yang harus betul-betul diperhatikan agar peraturan tersebut bukan hanya normatif. Beberapa poin penting yang diusulkan King untuk masuk ke UU MBG di antaranya , tata kelola, mekanisme pengawasan, alokasi anggaran, dan keterlibatan masyarakat.
Menurut King, masyarakat ikut memiliki peran penting untuk menperkuat pengawasan. Partisipasi masyarakat ini terkait dengan pembukaan lapangan kerja baru yang diharapkan dapat berdampak baik bukan hanya pada gizi, tetapi juga ekonomi
“Undang-undang ini jangan hanya normatif. Harus jelas soal tata kelola, siapa mengawasi siapa, bagaimana mekanisme anggarannya, dan bagaimana masyarakat bisa ikut serta,” tegas King.
Di sisi lain, pengaturan sanksi hukum juga dinilai penting untuk mencegah penyalahgunaan. Masalah-masalah yang berpotensi timbul di lapangan, seperti kontrak dan standar penyediaan, wajib bisa diproses secara hukum saat terjadi penyimpangan agar timbul efek jera.
Untuk mendukung hal tersebut, perlu adanya UU agar bisa mengatur sanksi administratif dan pidana. Pengesahan UU juga memiliki legitimasi hukum yang kuat dibandingkan Peraturan Presiden (Perpres).
“Kalau hanya Perpres, tidak ada ruang mengatur sanksi pidana, bahkan sanksi administrasi pun lemah. Karena itu, pengaturan sanksi administratif maupun pidana sebaiknya dimasukkan dalam UU. Dengan legitimasi hukum yang kuat, pengawasan bisa lebih efektif dan tidak ada lagi vendor yang bermain-main dengan kontrak, apalagi sampai membahayakan kesehatan masyarakat,”pungkasnya.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News