Di balik semangat untuk meningkatkan gizi anak-anak Indonesia, Program Makan Bergizi Gratis (MBG) ternyata menyimpan potensi ekonomi yang besar.
Bukan hanya sebagai program sosial, MBG juga bisa menjadi pendorong pertumbuhan UMKM, membuka lapangan kerja, dan memperkuat ekonomi perdesaan.
Belanja Triliunan, Efek Domino ke UMKM
Hingga pertengahan Juni 2025, realisasi belanja Badan Gizi Nasional untuk program MBG telah mencapai Rp4,4 triliun.
Jumlah ini disalurkan untuk operasional 1.716 Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG), yang saat ini melayani sekitar 4,89 juta penerima manfaat. Target pemerintah tahun ini, yakni menjangkau 82,9 juta orang melalui 32.000 SPPG, dengan total anggaran hingga Rp100 triliun.
Menurut Deputi Bidang Usaha Mikro KemenKop UKM, Riza Adha Damanik, sekitar 80 persen anggaran MBG digunakan untuk pembelian bahan pangan dan kebutuhan dapur. Artinya, miliaran rupiah bisa langsung mengalir ke petani, nelayan, peternak, pedagang pasar, dan pelaku UMKM di sektor pangan.
"Efek bergandanya besar. Ini bisa memperkuat ekonomi perdesaan dan meningkatkan pendapatan sekitar 29 juta pelaku UMKM sektor pangan," jelas Riza dalam diskusi publik Double Check sebagaimana dikutip dari keterangan tertulis, Sabtu (21/6/2025).
Catering, Logistik, hingga Daur Ulang Limbah
Selain petani dan pedagang, sektor jasa juga mendapat dorongan. Pemerintah memperkirakan ada sekitar 30.000 jasa catering berskala kecil yang dapat dilibatkan dalam pengelolaan dapur MBG, dengan kapasitas memasak hingga 3.000 porsi per hari.
Tak hanya itu, sektor logistik makanan siap saji pun terbuka. Bahkan, MBG membuka peluang munculnya lini bisnis baru seperti pengelolaan limbah makanan, yang bisa dimanfaatkan untuk ekonomi sirkular berbasis UMKM.
"Baik limbah organik maupun non-organik, semua bisa dikelola agar menciptakan nilai ekonomi baru bagi usaha mikro kita," tambah Riza.
Klasterisasi UMKM Jadi Strategi Jangka Panjang
Namun, besarnya potensi ekonomi ini tidak bisa dibiarkan berjalan sendiri. Riza menegaskan pentingnya klasterisasi ekonomi untuk menyatukan pelaku UMKM, agar bisa naik kelas dan masuk skala ekonomi.
“Usaha mikro itu 99 persen dari total UMKM kita, tapi produktivitasnya masih rendah. Kalau dikelompokkan dalam klaster, mereka bisa lebih efisien, punya pasar, dan lebih mudah dapat akses pembiayaan,” tegasnya.
Kementerian UMKM sendiri telah membentuk sembilan klaster holding UMKM, salah satunya untuk program MBG, yang sudah mencakup 82 ribu lebih pelaku usaha. Dengan pendekatan ini, pemerintah berharap terbentuk rantai pasok antara usaha mikro, kecil, menengah, hingga besar.
"Inilah strategi untuk mendorong ekonomi tumbuh secara berkualitas. Bukan hanya soal angka, tapi keberdayaan dan kesinambungan,” ujar Riza.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News