Dulu, Pondok Pesantren Ali Maksum Krapyak harus mengeluarkan biaya sekitar Rp12 juta setiap bulan untuk membuang sampah ke Tempat Pembuangan Sampah Terpadu (TPST) Piyungan.
Akan tetapi, sejak krisis sampah melanda Yogyakarta pada Juli 2023, para santri mulai memikirkan cara lain agar tak terus bergantung pada truk sampah.
“Setiap bulan, sampah kami diambil ke Piyungan pakai truk kuning. Biayanya sekitar Rp12 juta sekali angkut. Saya dan teman-teman mikir, kalau begini terus enggak akan ada yang berubah,” ujar Rino, salah satu santri penggerak komunitas Krapyak Peduli Sampah, dikutip dari Pandangan Jogja.
Berawal dari Pilah-Pilah Sampah
Berawal dari tiga santri, kini Krapyak Peduli Sampah telah melibatkan sekitar 30 anggota aktif. Mereka tidak hanya mengolah sampah organik, tetapi juga memilah sampah anorganik untuk dijual kembali. Prinsipnya, “Sampah hari ini, selesai hari ini.”
Langkah awal pengolahan sampah di lingkungan pesantren dimulai dari memilah sampah di kompleks asrama. Mereka mengolah sampah organik menjadi biogas yang bisa digunakan untuk memasak di dapur pondok.
Dukungan datang dari Pemerintah Kalurahan Panggungharjo. Pemerintah memberikan dana Rp143 juta pada Oktober 2023 untuk membangun mesin biodigester, alat yang mampu mengubah sampah organik menjadi biogas.
Setiap hari, rata-rata 80 kilogram sampah organik digiling dan dimasukkan ke mesin biodigester di basecamp Patmasuri, markas utama Krapyak Peduli Sampah. Dari proses ini, muncul tiga hasil utama, yakni biogas untuk memasak di dapur pondok, limbah cair sebagai pupuk alami, serta sisa padatan untuk media tanam.
“Kalau sampah organik terus masuk dan kami olah, kompor bisa menyala terus. Kemarin bahkan sudah seminggu penuh kompor nyala tanpa mati,” kata Rino.
Kini, dapur selatan pondok sepenuhnya menggunakan biogas, sementara dapur utara masih memakai LPG. Artinya, separuh kebutuhan energi dapur sudah ditanggung oleh hasil olahan sampah sendiri. Hal ini menjadi bukti bahwa santri bisa menciptakan kemandirian energi.
Jejak Eco Pesantren yang Peduli Bumi
“Barang siapa yang tidak peduli terhadap bumi, jangan berharap bumi akan peduli kepadanya.”
Jika Kawan ke Pondok Pesantren Krapyak, pesan tersebut mungkin akan kerap terdengar. Kalimat tersebut adalah imbauan sekaligus penegasan kepada seluruh keluarga pesantren untuk menjaga bumi, terutama dalam hal kebersihan dan pengelolaan sampah.
Filosofi cinta lingkungan di Pondok Pesantren Ali Maksum Krapyak, Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta, bukanlah gagasan baru. Jauh sebelum istilah eco pesantren populer, KH. Ali Maksum, ulama kharismatik pendiri pesantren ini, telah menanamkan nilai tanggung jawab ekologis kepada santri.
“Nek ra gelem ngresiki, ojo ngregeti,” tegas KH. Ali Maksum.
Kalimat tersebut berarti, “kalau tidak mau membersihkan, jangan mengotori.” Petuah ini masih diingat kuat oleh para santri dan menjadi pedoman moral dalam menjaga kebersihan lingkungan pondok. Dari ajaran itulah muncul metode pengelolaan sampah secara mandiri di lingkungan pesantren.
Nilai dasar pengelolaan lingkungan di Krapyak bersumber dari ajaran Islam sendiri. Selain dari Al-Qur’an, para tokoh pesantren juga menganut teladan dari Nabi Muhammad. Rasul kerap melarang menebang pohon tanpa kebutuhan, menganjurkan hemat air bahkan saat berwudhu di sungai, serta mengajarkan kasih sayang terhadap semua makhluk hidup.
Dalam satu riwayat, Nabi menegur sahabat yang memotong ranting pohon tanpa alasan mendesak. Ini menunjukkan bahwa menjaga kelestarian alam adalah bagian dari ibadah.
Ajaran ini pula yang kemudian mengilhami banyak tokoh Islam modern. Prof. Fazlun Khalid, pendiri Islamic Foundation for Ecology and Environmental Sciences (IFEES) di Inggris, menjadi pelopor gerakan ekologi Islam dunia.
Di Indonesia, ulama seperti KH. Ali Yafie, KH. Sahal Mahfudz, dan KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) juga menyerukan ekoteologi Islam. Konsep ini mengandung pandangan bahwa menjaga lingkungan adalah bagian dari maqashid syariah, yakni tujuan hukum Islam yang melindungi kehidupan dan keberlanjutan makhluk di bumi.
Nilai-nilai itulah yang menjadi dasar gerakan Krapyak Peduli Sampah (KPS) pada 2023. Gerakan ini lahir dari keresahan santri terhadap menumpuknya sampah di pondok.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News