Pakis sayur telah lama menjadi bagian dari warisan kuliner Nusantara. Nama ilmiah Diplazium esculentum, tanaman ini merupakan bagian dari keluarga Athyriaceae.
Pakis sendiri adalah kelompok tumbuhan paku (Pteridophyta) yang tidak menghasilkan bunga atau biji, melainkan berkembang biak melalui spora yang terletak di bagian bawah daunnya.
Dari sekian banyak jenis pakis yang ada di dunia, tidak semuanya dapat dikonsumsi. Bahkan, beberapa jenis ada yang beracun. Diplazium esculentum inilah yang paling luas dibudidayakan dan dikonsumsi, terutama di wilayah Asia Tropis, termasuk Indonesia.
Di berbagai daerah, sayuran ini dikenal dengan nama yang beragam, seperti paku sayur, paku miding, atau paku ate.
Dikonsumsi saat muda
Pakis sayur mudah dikenali dari penampilannya yang khas. Tanaman ini memiliki bagian yang dimakan, yaitu daun muda yang masih menggulung, sering disebut sebagai "crozier" atau "fiddlehead".
Gulungan muda ini berwarna hijau terang, bertekstur renyah, dan ditutupi oleh rambut-rambut halus yang mudah dihilangkan. Tangkai daunnya (stipe) berwarna hijau dan seringkali memiliki sisik-sisik halus. Daun yang telah membuka sepenuhnya memiliki bentuk yang memanjang (lanceolate) dan menyirip, bisa mencapai panjang 1-2 meter.
Inilah yang membedakannya dari pakis hias; pakis sayur dibiakkan dan dipanen khusus untuk diambil tunas mudanya yang lunak dan nikmat, sementara daun tua yang sudah berkembang biasanya menjadi keras dan tidak enak disayur.
Menyukai tempat lembab dan teduh
Diplazium esculentum adalah tanaman yang sangat menyukai tempat yang lembab dan teduh. Habitat alaminya adalah di sepanjang tepian sungai, jurang yang basah, daerah dekat air terjun, dan di dalam hutan-hutan dataran rendah hingga menengah.
Mereka tumbuh subur pada tanah yang kaya akan bahan organik dan drainasenya baik. Pakis sayur sering ditemukan membentuk rumpun yang lebat, menandakan sistem perakaran rimpangnya yang kuat.
Kemampuannya untuk tumbuh di lingkungan yang lembab ini menjadikannya tanaman yang umum ditemui di pedesaan, terutama di wilayah-wilayah yang dekat dengan kawasan hutan atau aliran air.
Sebuah penelitian dalam Jurnal Biologi Tropis menyebutkan bahwa pakis sayur merupakan salah satu tumbuhan bawah (understorey) yang khas di ekosistem hutan tropis yang masih basah.
Dari Hutan ke Meja Makan
Sejarah konsumsi pakis sayur telah berlangsung sejak zaman dahulu, terutama dalam masyarakat yang tinggal di dekat hutan. Praktik ini bukan hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga di berbagai belahan Asia seperti Jepang, India, Nepal, dan Filipina.
Masyarakat tradisional memanfaatkan pakis sebagai sumber pangan yang mudah didapat dan bergizi dari alam sekitar. Hal ini menjadikan pakis sayur sebagai bagian dari kuliner tradisional yang autentik.
Di Indonesia, olahan pakis sayur sangat beragam, menyesuaikan dengan cita rasa lokal setiap daerah. Cara pengolahannya yang paling populer adalah dengan menumisnya. Tumis pakis biasanya menggunakan bumbu dasar seperti bawang merah, bawang putih, cabai, dan terkadang ditambahkan terasi atau tauco untuk memberikan rasa yang lebih kompleks.
Beberapa daerah juga mengolahnya menjadi sayur bening atau dicampur dalam kuah santan. Sebelum diolah, proses pembersihan yang teliti perlu diperlukan.
Tunas pakis yang telah dipetik harus dicuci bersih di air mengalir untuk menghilangkan kotoran dan rambut halus yang menempel. Ujung tangkai yang keras biasanya dipotong. Sebuah langkah krusial yang tidak boleh dilewatkan adalah perebusan atau pengukusan singkat.
Menurut sejumlah publikasi dari Kementerian Kesehatan RI mengenai pangan lokal, perebusan ini tidak hanya mematangkan pakis, tetapi juga membantu menghilangkan senyawa antinutrisi dan potensi racun alami yang mungkin terdapat dalam jumlah kecil pada tumbuhan paku liar, sekaligus mempertahankan warna hijaunya.
Tanaman pakis mulai langka
Meskipun dahulu mudah ditemui, kini pakis sayur semakin sulit dijumpai dalam jumlah besar di alam liar. Fenomena ini disebabkan oleh beberapa faktor yang saling terkait.
Pertama, tekanan panen yang berlebihan. Permintaan pasar yang tinggi, baik dari pasar tradisional maupun restoran, mendorong pemetikan secara intensif tanpa diimbangi dengan upaya regenerasi yang memadai.
Ketika tunas muda terus-menerus dipetik sebelum sempat tumbuh menjadi daun dewasa yang dapat berfotosintesis, tanaman tersebut lama-kelamaan akan kehabisan energi dan mati.
Kedua, dan yang paling utama, adalah alih fungsi lahan. Pembukaan hutan untuk perkebunan, pertanian monokultur, pemukiman, dan infrastruktur telah menghancurkan habitat alami pakis sayur.
Hilangnya hutan-hutan basah yang teduh berarti hilangnya "rumah" bagi Diplazium esculentum. Kerusakan ekosistem ini membuat populasi pakis liar menyusut drastis.
Sebuah studi dalam Jurnal Ilmu Kehutanan mengonfirmasi bahwa degradasi hutan secara signifikan mengurangi keanekaragaman jenis tumbuhan bawah, termasuk spesies pakis yang dapat dimakan.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News