kevin gani dan garda pangan dari sisa piring ke revolusi bioekonomi - News | Good News From Indonesia 2025

Kevin Gani dan Garda Pangan: Dari Sisa Piring ke Revolusi Bioekonomi

Kevin Gani dan Garda Pangan: Dari Sisa Piring ke Revolusi Bioekonomi
images info

Kevin Gani dan Garda Pangan: Dari Sisa Piring ke Revolusi Bioekonomi


Sebagian orang melihat sisa makanan sebagai sampah. Kevin Gani melihatnya sebagai sumber daya masa depan. Di balik aroma nasi yang mengering di piring pesta, tersimpan paradoks yang jarang disadari: makanan yang dihasilkan dari kerja keras petani, air, energi, dan pupuk, justru berakhir di tong sampah lebih cepat daripada masa simpannya. Bagi Kevin—pemuda asal Surabaya—kegelisahan itu bukan sekadar soal etika, melainkan juga soal sains dan keadilan sosial.

Indonesia, negeri yang dikenal subur, justru menjadi salah satu penyumbang limbah makanan terbesar di dunia. Data dari United Nations Environment Programme (UNEP, 2021) menunjukkan bahwa kita membuang sekitar 23 hingga 48 juta ton makanan setiap tahun. Bahkan, menurut Bappenas, kerugian ekonomi akibat food waste mencapai Rp213 triliun per tahun—angka yang setara dengan biaya membangun lebih dari 10.000 sekolah baru. Ironinya, di saat yang sama, 9,7 persen penduduk Indonesia masih hidup dalam kelaparan kronis.

Para relawan Garda Pangan berpose bersama setelah kegiatan food rescue di Surabaya. Mereka mengumpulkan makanan surplus dari hotel, restoran, dan acara pernikahan untuk disortir dan disalurkan kembali kepada masyarakat yang membutuhkan. Garda Pangan, yang didirikan oleh Kevin Gani pada tahun 2017, merupakan food bank pertama di Surabaya yang menggabungkan pendekatan sosial dengan inovasi sains melalui konsep circular bioeconomy. Sumber: Dokumentasi Garda Pangan (cuplikan dari presentasi pitching Kevin Gani pada ajang SATU Indonesia Awards).
info gambar

Para Relawan Garda Pangan: Wajah Muda di Balik Gerakan Food Bank Indonesia | Foto: Dokumentasi Garda Pangan


Namun bagi Kevin, yang lebih mengkhawatirkan bukan hanya jumlah makanan yang terbuang, melainkan juga apa yang hilang bersamanya: energi, nutrisi, dan peluang untuk membangun sistem pangan yang lebih adil dan berkelanjutan. Ia melihat bahwa persoalan ini tidak bisa diselesaikan hanya dengan mengimbau orang agar tidak membuang makanan. Dibutuhkan perubahan sistemik yang menyentuh sains, distribusi, dan budaya konsumsi itu sendiri.

baca juga

Ketika mendirikan Garda Pangan pada 2017, Kevin tidak bermimpi besar. Ia hanya ingin memastikan makanan dari hotel, restoran, atau pesta yang masih layak konsumsi bisa sampai ke orang yang membutuhkan. Bersama beberapa temannya, ia mulai mengumpulkan makanan surplus, menyortir, mengemas ulang, lalu menyalurkannya ke panti asuhan, panti jompo, dan komunitas marjinal di Surabaya. Yang bermula sebagai gerakan sosial sederhana perlahan tumbuh menjadi model baru pengelolaan pangan berbasis ilmu pengetahuan.

Dari pengalamannya di lapangan, Kevin menyadari bahwa hampir semua sampah makanan di Indonesia berakhir di tempat pembuangan akhir (TPA) tanpa proses pemilahan. Berdasarkan Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional, 40 persen komposisi sampah di TPA adalah sisa makanan, diikuti plastik (14 persen) dan kertas (18 persen). Di Jakarta saja, tinggi timbulan sampah makanan dapat mencapai 514 meter per tahun—lebih tinggi dari Monas dan setara dengan gedung pencakar langit.

Ketika sisa makanan menumpuk dan membusuk, ia menghasilkan gas metana (CH₄), gas rumah kaca yang 25 kali lebih berbahaya dibanding karbon dioksida. Limbah makanan tidak lagi sekadar masalah sosial, tetapi juga ancaman ekologis yang memperparah pemanasan global. Fakta inilah yang mendorong Kevin membawa Garda Pangan ke arah yang lebih ilmiah, memperkenalkan konsep circular bioeconomy—gagasan bahwa limbah organik tidak seharusnya berhenti sebagai “sampah”, melainkan kembali menjadi sumber daya baru dalam siklus kehidupan.

Salah satu inovasi yang dikembangkan Garda Pangan adalah penggunaan Black Soldier Fly (BSF) atau Hermetia illucens. Larva BSF dikenal sangat efisien dalam mengurai limbah organik: 60–70 persen sisa makanan dapat terurai hanya dalam beberapa hari. Hasilnya berupa larva kaya protein (sekitar 42 persen) dan lemak yang bisa diolah menjadi pakan ternak alternatif yang murah dan ramah lingkungan. Proses biokonversi ini tidak hanya mengurangi beban TPA, tetapi juga menekan ketergantungan Indonesia terhadap impor pakan seperti bungkil kedelai dan tepung ikan.

Di tangan Kevin, sains menjelma menjadi empati yang terukur secara kimiawi. Ia mengubah tindakan sosial menjadi eksperimen ekologis—sebuah bentuk baru dari activism through science. Sains tidak lagi berhenti di laboratorium atau jurnal penelitian, melainkan hidup di dapur-dapur komunitas dan pasar-pasar kota.

Namun bagi Kevin, perjuangan ini tidak berhenti pada teknologi. Ia ingin mengubah cara pandang masyarakat terhadap makanan. Menurutnya, penyelamatan pangan bukan hanya tentang memberi makan orang lapar, tapi tentang memperbaiki sistem yang membuat makanan menjadi sia-sia sejak awal. Kita sering berpikir bahwa food waste terjadi karena orang malas menghabiskan makanannya, padahal akar masalahnya jauh lebih kompleks: rantai distribusi yang tidak efisien, logistik dingin yang belum merata, hingga budaya konsumsi berlebih di kota-kota besar.

Di sinilah Garda Pangan menjadi jembatan antara moral dan ilmiah, antara dapur dan laboratorium. Mereka bukan sekadar menyalurkan makanan, tapi juga membangun kesadaran. Garda Pangan kini bukan hanya food bank pertama di Surabaya, tetapi juga pusat edukasi lingkungan yang menggandeng sekolah, kampus, dan komunitas lokal. Melalui program seperti Food Rescue dan Gleaning, mereka mengajarkan prinsip “food rescue hierarchy”: mulai dari mengurangi sumber sampah makanan, membagikan surplus ke masyarakat, hingga mengolahnya menjadi kompos atau pakan hewan.

Gerakan ini menumbuhkan generasi baru yang disebut Kevin sebagai food heroes—anak-anak muda yang sadar bahwa setiap butir nasi punya dampak, setiap sisa makanan punya konsekuensi. Di tengah krisis pangan global dan perubahan iklim yang semakin nyata, gerakan ini menjadi oase optimisme bahwa perubahan bisa dimulai dari langkah-langkah kecil di dapur kita sendiri.

Dampak Garda Pangan kini mulai terasa. Ribuan ton makanan berhasil diselamatkan dari tempat pembuangan, dan puluhan ribu porsi makanan telah dibagikan kepada penerima manfaat. Volume sampah organik di wilayah operasional mereka juga menurun signifikan. Namun, yang paling berharga adalah kesadaran baru yang tumbuh di tengah masyarakat: bahwa sains bukan hanya soal data dan laboratorium, tetapi tentang keberpihakan—kepada bumi, kepada manusia, dan kepada masa depan yang berkelanjutan.

baca juga

Kisah Kevin Gani dan Garda Pangan mengajarkan bahwa perubahan besar bisa dimulai dari langkah kecil. Dari satu piring yang tak jadi dibuang, dari satu ide sederhana yang didukung ilmu pengetahuan, lahirlah gerakan yang mengubah cara kita memahami makanan dan lingkungan. Masa depan pangan tidak hanya bergantung pada berapa banyak yang kita tanam, tetapi seberapa bijak kita memperlakukan yang tersisa.

Mungkin, dari satu butir nasi yang tidak kita sia-siakan, kita sedang menyelamatkan lebih banyak hal daripada yang kita sadari—energi, lingkungan, dan kemanusiaan itu sendiri. Dan di tangan Kevin, sains bukan lagi milik laboratorium, melainkan milik kehidupan sehari-hari.

#kabarbaiksatuindonesia

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

SK
FS
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini

🚫 AdBlock Detected!
Please disable it to support our free content.