Sejak Festival ke Uma digelar pertama kali pada 2017, acara ini memang dirancang sebagai pengingat nilai-nilai kehidupan desa yang bersumber dari pertanian. Sebab, dari pertanian, yang hadir tidak hanya produk makanan, tetapi juga pengetahuan dan kebudayaan.
“Pertanian bukan hanya aktivitas mengolah sawah, tetapi juga melahirkan kearifan lokal, kesenian, dan permainan tradisional yang menjadi daya tarik sekaligus warisan budaya,” ungkap Budarsana, pemandu Festival ke Uma V tahun 2025.
Kebahagiaan terpancar dari raut wajah anak-anak yang tengah bermain. Mereka tampak tertawa lepas, mewarnai pelaksanaan Festival ke Uma V tahun 2025.
Diselenggarakan pada 27 September 2025 di Subak, Sidangrapuh, festival ini pertama kali digagas oleh Sanggar Buratwangi dan Wintang Rare Banjar Ole. Keduanya merancang program yang mengajak anak-anak beraktivitas layaknya sedang berwisata di desanya sendiri.
Inti program ini adalah membawa anak-anak bermain ke sawah agar mereka memahami bahwa kebudayaan lahir dari bercocok tanam. Sebagaimana namanya, “Ke Uma” berasal dari bahasa Bali, yang berarti “ke sawah.”
Festival ini lahir dari gagasan untuk mengembalikan sawah sebagai pusat kehidupan masyarakat desa, bukan hanya sebagai ruang produksi padi. Sawah dilihat sebagai ruang belajar terbuka, tempat bermain anak-anak, sekaligus sumber inspirasi kesenian dan budaya.
Kegiatan yang ditawarkan Festival ke Uma pun beragam, seperti melayangan, medayung, megandu, mebuitbuitan, megala-gala, nyuun sigih, matulupan, dan paid upih yang terinspirasi dari budaya pertanian masyarakat.
Festival ke Uma di Lumbung Padi
Festival ke Uma pertama kali digelar pada tahun 2017 di Tabanan, Bali. Tabanan adalah sebuah wilayah yang dikenal sebagai lumbung padi-nya Pulau Dewata.
Tujuan utama festival ini adalah menghidupkan kembali nilai-nilai budaya pertanian yang semakin terpinggirkan. Festival ini menyatukan permainan tradisional, seni pertunjukan, hingga kegiatan edukatif.
Ketua Sanggar Buratwangi, I Nyoman Budarsana, menegaskan bahwa pertanian bukan hanya aktivitas ekonomi, tetapi sumber lahirnya kearifan lokal. Permainan tradisional yang tumbuh dari budaya agraris adalah bagian dari identitas desa.
Baru perdana digelar, festival ini harus vakum beberapa tahun. Festival ke Uma II justru kembali hadir saat Covid-19, yakni pada 3–4 Juli 2021 di Subak Sidangrapuh. Kegiatan ini berjalan dengan protokol ketat.
Tahun 2022, Festival ke Uma III digelar di Subak Kekeran, Desa Penatahan, Penebel, Tabanan. Selain permainan dan lomba, festival menghadirkan yoga bersama, workshop eco dupa, pelatihan teater, dan sosialisasi perlindungan perempuan dan anak. Kolaborasi dengan UMKM desa menjadikan festival lebih inklusif, menggabungkan budaya, edukasi, dan pemberdayaan ekonomi lokal.
Nah, kemudian, pada 16–17 September 2023, Festival ke Uma IV berlangsung di Subak Pamo, Desa Tua, Kecamatan Marga. Rangkaian acaranya mencakup permainan tradisional, pentas seni, workshop kreatif, hingga jalan pagi lintas pedusunan.
Matimbang Buka Festival ke Uma V dan Keseruan Paid Upih
Permainan matimbang dipilih untuk menjadi pembuka Festival ke Uma V tahun 2025, Jumat (27/9/2025). Alatnya berupa timbangan bambu dengan dua terong sebagai pengganti bungsil (pucil kelapa). Para peserta yang terdiri dari anak-anak harus menjaga keseimbangan timbangan itu, bahkan meletakkannya di hidung, sambil berlari.
Permainan lain yang tak kalah menarik adalah paid upih. Cara mainnya adalah seorang anak duduk di pelepah pinang dan teman lainnya menarik dengan berlari di lumpur.
Kedua permainan ini berhasil menarik minat anak-anak dan menciptakan gelak tawa yang meriah.
Menurut Kepala Sekolah SD No. 1 Marga Dauh Puri, Luh Putu Mutiara Roshita Adi, S.Pd, kegiatan ini menjadi pembelajaran luar kelas yang unik. Anak-anak bukan hanya belajar mengenal sawah dan merasakan serunya bermain, tetapi juga memahami nilai budaya dari permainan itu.
“Mereka tak hanya mengenal sawah dengan segala yang ada, tetapi juga dikenalkan budaya yang ada di Desa Marga Dauah Puri, sepeti matimbang ini,” katanya, sebagaimana dikutip dari Tatkala.
Rencana Festival ke Uma Tahun Depan
Selain permainan, Festival ke Uma tahun depan akan digelar lebih dekat dengan sistem pertanian. I Made Wetro, salah seorang guru sekaligus pemandu acara menyebutkan, jika tahun depan festival kembali digelar, anak-anak akan diajak mengenal budaya matekap.
Matekap adalah proses membaja tanah secara tradisional yang dilakukan petani Bali tempo dulu. Matekap mengandung filosofi tentang bagaimana manusia menghormati tanah sebagai sumber kehidupan.
Wetro menilai, praktik ini penting dikenalkan kepada anak-anak agar mereka memahami bahwa bercocok tanam bukan hanya soal menanam dan memanen, tetapi juga menjaga hubungan harmonis antara manusia, tanah, air, dan hewan. Dengan cara itu, anak-anak tidak hanya bermain di sawah, tetapi juga belajar bagaimana leluhur mereka menyiapkan pangan dengan penuh rasa hormat pada alam.
“Jika memungkin festival digelar tahun depan, kami akan mengenalkan anak-anak budaya matekap, membaja tanah secara tradisional yang dilakukan oleh para leluhur kita jaman dulu,” kata Wetro.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News