“Saya percaya bisa mengumpulkan orang baik, tinggal kita menemukan visi yang sama,” jelas Alissa Wahid, aktivis sosial sekaligus Koordinator Nasional Jaringan GUSDURian.
Kalimat itu diungkapkan untuk menanggapi pertanyaan, apakah orang-orang baik bisa bersatu untuk mendorong perubahan? Sebab, dalam stereotip masyarakat, orang yang dinilai jahat atau amoral justru lebih mudah berkumpul, berserikat, dan membangun gerakan. Sedangkan, orang-orang baik yang penuh dengan moralitas, cenderung diam.
Menurut pengamatan Alissa, orang-orang yang dianggap amoral lebih mudah melakukan suatu tindakan karena mereka tidak berkekang oleh norma sosial. Mereka bebas melakukan apapun, sedangkan orang baik dibatasi oleh cara-cara baik.
Dari Mana Indonesia Bisa Mulai Berbenah?
“Orang jahat tidak hanya mudah berkumpul, (karena) orang jahat tidak dibatasi oleh cara apapun, sementara orang baik terbatasi oleh cara-cara baik,” katanya.
Oleh karena itu, dalam kasus demonstrasi Agustus lalu, tindakan pembakaran dan penjarahan yang dilakukan oleh massa menimbulkan beragam respon dari masyarakat. Bahkan, hal itu juga membuat para aktivis sosial dan gerakan masyarakat sipil merasa dilema.
“Kita tidak bisa menerima pembakaran, penjarahan; melawan hari nurani, dilema bagi para kita aktivis ketika (dengan cara) baik-baik aja tidak ditanggapi,” imbuh Alissa.
Optimisme Pasca Demonstrasi dan Cambuk untuk Kesadaran Masyarakat Sipil
Lalu, Bagaimana Menyatukan Orang-Orang Baik?
“Orang-orang baik hanya disatukan visi yang sama,” tegas Alissa.
Ia melihat bagaimana gerakan masyarakat dapat dilakukan jika dilandaskan pada tujuan yang sama, misalnya untuk mendorong perubahan. Gerakan itu, imbuhnya, setidaknya memiliki empat hal utama.
Pertama, urgensi. Gerakan harus lahir dari kepentingan yang benar-benar dirasakan rakyat. Tanpa alasan mendesak yang bisa dipahami publik, sulit bagi sebuah gerakan untuk mendapat dukungan luas.
Kedua, visi yang jelas. Visi ibarat arah perjalanan. Contohnya, gagasan 17+8 yang belakangan muncul memang sarat semangat dan mengandung banyak hal baik. Namun, justru karena terlalu banyak, fokusnya bisa kabur. Visi yang terlalu luas membuat orang bingung menentukan mana yang paling penting untuk diperjuangkan terlebih dahulu.
“(17+8) Sangat jelas dan konkret tapi sangat banyak sehingga kita mungkin akan sulit menentukan hal mana yang jadi fokus,” jelas Alissa.
Pelajaran dari Demonstrasi Agustus 2025: Keterlibatan Publik Tidak Bisa Dinafikan oleh Pemerintah
Ketiga, kapasitas. Gerakan memerlukan kemampuan nyata untuk mendorong perubahan. Kapasitas ini bisa berupa jaringan, sumber daya, atau keahlian yang memungkinkan gerakan mampu mengawal kementerian, lembaga, atau institusi yang jadi target perubahan. Tanpa kapasitas, gerakan hanya akan berhenti pada wacana.
Keempat, langkah awal yang bisa dijalankan (actionable first step). Tanpa langkah konkret, visi dan semangat hanya akan tinggal angan. Langkah kecil pertama ini penting sebagai penanda bahwa gerakan benar-benar bisa bekerja, bukan hanya sekadar harapan yang melayang-layang di udara.
Alissa yakin bahwa masyarakat Indonesia telah mengantongi empat hal fundamental tersebut. Oleh karena itu, langkah yang perlu dilakukan saat ini adalah melakukan konsolidasi untuk menyatukan masyarakat.
“Saya percaya bisa mengumpulkan orang baik. Tinggal kita menemukan visi yang sama, value yg jelas, urgensi sudah ada, kapasitas kita bisa saling memperkuat bagi-bagi tugas, merumuskan first step kita bersama. Ini yang membuat saya yakin untuk mengumpulkan si kelas menengah terdidik,” terangnya.
Perempuan adalah Subjek Perlawanan: Menilik Beragam Tuntutan yang Dibawa ke Jalan
Fokuskan Tuntutan untuk Mendorong Perubahan
Prof. Rhenald Kasali, seorang akademisi dan ahli di bidang ekonomi, pun yakin, perubahan bisa dicapai oleh Indonesia. Akan tetapi, ia menekankan bahwa perubahan memang butuh proses. Pemerintah, dalam hal ini harus terus diingatkan oleh masyarakat, salah satunya melalui diskusi atau aksi.
“Perubahan terjadi menurut proses. Tidak bisa terjadi cepat dan langsung. Perubahan harus terus diingatkan. Pergerakan ini tidak boleh berhenti,” tegasnya.
Ia pun menekankan agar tuntutan masyarakat lebih difokuskan. Sebab, gerakan masyarakat kerap mengalami masalah klasik yang berulang, yakni fragmentasi. Setiap kelompok ingin membawa agenda sendiri, melahirkan tuntutan baru, bahkan menciptakan jargon-jargon segar yang terkadang justru melemahkan fokus gerakan bersama.
Kisah Ibu-Ibu Berhadapan dengan Polisi Saat Aksi: Catatan Orde Baru hingga Reformasi
Contohnya, ketika sudah ada gerakan yang mengajukan 12 tuntutan, beberapa hari kemudian muncul format baru dengan 17+8 tuntutan. Alih-alih memperluas basis solidaritas, publik justru menangkap kesan ada panggung yang diperebutkan.
Pergeseran cepat seperti ini memberi sinyal inkonsistensi, yang pada akhirnya menurunkan daya tekan terhadap pemerintah.
Masalah ini tidak terlepas dari budaya kelas menengah terdidik yang memang kaya ide, cepat merespons isu, tapi sering terjebak dalam ego sektoral. Setiap kelompok merasa punya gagasan paling valid. Padahal, energi besar justru akan lahir bila tuntutan dikonsolidasikan dalam satu suara.
“Orang pinter kelas menengah banyak idenya. Kurangi ego masing-masing, fokus, gak penting siapa yang mau meluncurkan, yang penting ada perubahan,” tandasnya.
Saat Urusan Rumah Jadi Bahasa Universal Perlawanan Para Perempuan
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News