“Mengangkat estetika tanpa memikirkan etika, sama saja mengingkari warisan leluhur.” Itulah keyakinan yang dimiliki Frans Jiu Luay, seniman tari Hudoq.
Sudah lebih dari setengah abad Frans berperan sebagai pelaku seni dan berdedikasi menjaga kemurnian Hudoq. Hudoq perlu dijaga sebab ia adalah tarian masyarakat Dayak Bahau yang sakral nan sarat akan makna spiritual.
Tarian ini biasanya dipentaskan saat pembukaan lahan pertanian atau setelah menanam padi. Hudoq berfungsi sebagai ritual permohonan kepada Tuhan agar hasil panen melimpah dan terhindar dari hama.
Oleh karena itu, Hudoq dalam Suku Dayak digambarkan dalam berbagai wujud: muka babi, monyet, atau binatang-binatang lain yang dianggap sebagai hama; burung elang dilambangkan sebagai binatang yang akan melindungi dan memelihara hasil panen masyarakat Dayak; sedangkan hudoq berwujud manusia merupakan simbol nenek moyang.
Iie Sumirat: Maestro yang Cetak Generasi Emas Bulu Tangkis Indonesia
Jejak Mistis di Balik Topeng
Kisah Hudoq bermula dari legenda tua masyarakat Dayak. Konon, seorang pemuda bernama Halaeng Heboung yang merupakan anak dari Raja Hajaeng kehilangan mandau—senjata tradisional suku Dayak yang berasal dari Kalimantan—dan mencarinya ke dasar sungai.
Pencarian itu membawanya bertemu Selo Sen Yaeng, entitas gaib dari dasar sungai. Keduanya jatuh cinta lantas menikah. Dari pernikahan itu lahirlah Buaq Selo, tokoh spiritual yang kelak menyebarkan nilai-nilai kebaikan dan peradaban.
Meski keduanya menikah dan memiliki anak, jiwa Halaeng Heboung tetap merindukan alam manusia. Ketika ia ingin kembali, Selo Sen Yaeng tidak memberinya restu. Sebagai gantinya, ia mendatangkan roh-roh sungai untuk menari dan menghiburnya. Alih-alih terhibur, Halaeng ketakutan dan lari. Selo Sen Yaeng pun mengejar suaminya dan memberinya izin untuk kembali ke dunia manusia.
Setelah kembali hidup di dunia manusia, Halaeng Heboung menjaga hubungannya dengan istrinya melalui tari-tarian. Dari kisah inilah Hudoq lahir—sebuah tarian yang memvisualisasikan roh-roh sungai dalam bentuk topeng dan gerakan.
Mengenal Hasnan Singodimayan: Maestro Sastra dan Pejuang Budaya Osing Banyuwangi
Hudoq Bukan Sekadar Seni Visual
“Topeng ini bukan sekadar properti panggung. Ia mengandung nuansa hubungan batin, ritual, dan kepercayaan dengan (roh) gaib yang ada di dalam sungai,” ujar Frans dalam saat tampil di acara Panggung Maestro di Museum Nasional Indonesia.
Bagi Frans, nilai Hudoq terletak bukan hanya pada keindahan visualnya, melainkan pada etika dan kesucian yang mengiringinya. Ia menyayangkan ketika seni ini kerap dipentaskan hanya sebagai tontonan tanpa memahami latar adat dan spiritualnya.
Dalam setiap pertunjukan sakral Hudoq, berbagai bahan seperti telur ayam kampung, buah pinang, daun sirih, kapur sirih, beras, rokok klobot, dan dupa hio digunakan dalam ritual pembuka. Semua itu adalah bentuk persembahan tulus kepada leluhur dan Tuhan, bukan semata simbolisme.
Salah satu peninggalan Frans yang paling bersejarah adalah topeng Hudoq dengan wajah Pen Lih —simbol roh tertinggi dalam kepercayaan Dayak Bahau. Frans adalah satu-satunya orang yang boleh mengenakan topeng tersebut dalam upacara sakral.
Inilah Sukendar, Sang Maestro Pengrajin Calung Banyumas
Mengabadikan Seni Lewat Tulisan
Frans menyadari bahwa pelestarian budaya tak bisa mengandalkan pentas semata. Di saat banyak generasi muda tak mengenal nilai leluhurnya, ia memutuskan untuk menulis. Frans telah menghasilkan belasan buku yang mendokumentasikan asal-usul, filosofi, hingga karakteristik Hudoq dan budaya Dayak lainnya.
Bersama akademisi dan tokoh adat, Frans menyusun buku yang menyelami Hudoq dari sisi yang selama ini jarang disentuh publik: jiwa dan nilai etika. Buku-buku karya Frans antara lain Hudoq dan Upacara Adat (2002), Profil Tari Tradisional Kutai Barat (2005), Ketika Sinar Menguak Asa (2005), Panduan Tata Cara Perkawinan Adat Modang (2006), Kidung Asa Sendawar (2006) Samarinda, Komunal Sendawar Kutai Barat (2006), Nilai-nilai Religiusitas Komunitas Kutai Barat (2008), Adat Nemlai Lung Gelaat (2009) dan Ketika Permata Berkilau Taman Mini (2009).
Buku berikutnya adalah Gemersik Mahakam menyapa (2010) Solo, Hudoq Ritual, Senandung Kehidupan, Riak Mahakam Brest Prancis (2012), Artistik dan Karakteristik Hudoq (2014).
Mak Normah, Maestro Kepulauan Riau yang Gigih Mewariskan Kesenian Mak Yong
Frans juga memproduksi dokumenter agar Hudoq bisa dikenali secara visual.
Berkat dedikasinya, Frans telah menerima sejumlah penghargaan bergengsi di bidang kebudayaan. Di antaranya adalah penghargaan dalam ajang Panggung Budaya Nusantara di Samarinda tahun 2014, serta pengakuan sebagai Maestro Tari Tradisi yang diberikan oleh Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta.
Pada tahun 2022, ia dinobatkan sebagai Seniman Dayak Modang bertepatan dengan peringatan Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas), dan juga memperoleh piagam hak cipta dari Kementerian Hukum dan HAM untuk bukunya yang berjudul Artistik, Karakteristik, dan Hudoq.
Sebagai tokoh budaya, Frans juga dikenal luas hingga mancanegara. Ia pernah memperkenalkan Hudoq ke Prancis dan negara-negara Eropa Barat lainnya.
Maestro Sulawesi Tengah, Ina Tobani yang Langgengkan Pakaian Adat dari Kulit Kayu Pohon Beringin
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News