Bayangkan udara sejuk lereng Gunung Sumbing membelai kulit dan pemandangan asri yang mengindahkan mata, sementara dari kejauhan terdengar alunan halus petikan senar yang berdengung.
Inilah bundengan, alat musik yang menjadi identitas Wonosobo dan kini akan menjadi denyut nadi sebuah desa wisata baru bernama Kampung Bundengan.
Terbuat dari anyaman bambu dan ijuk, bundengan sekilas tampak seperti perisai besar. Namun di balik bentuknya yang sederhana, tersimpan sejarah panjang dan nilai budaya yang dalam, yang kini dihidupkan kembali melalui inisiatif lokal di Desa Maduretno, Kabupaten Wonosobo.
Sekilas Mengenai Alat Musik Bundengan
Sebagai sebuah alat musik, bundengan tidak lahir dari panggung mewah. Dahulu, sebelum payung dikenal luas, para sontoloyo (sebutan bagi penggembala itik) membuat pelindung dari anyaman bambu untuk berteduh dari cuaca tak menentu dataran tinggi Wonosobo yang mereka sebut kowangan.
Namun jika ditilik lebih jauh, jejak kowangan dapat ditelusuri dalam naskah kuno Wretta Sancaya pada abad ke-12, yang mencatat penggunaannya sebagai pengiring wayang kedu. Selain itu, konon, pada masa penjajahan Belanda, perisai ini bahkan dipercaya mampu membendung peluru.
Seiring berjalannya waktu, masyarakat memodifikasinya menjadi alat pelindung praktis untuk menggembala, hingga akhirnya berkembang menjadi instrumen musik yang unik.
Dengan senar horizontal dan tiga bilah bambu kecil di bagian dalamnya, petikan bundengan dapat menghasilkan suara yang menyerupai perpaduan gamelan seperti kenong, gong, dan bende, serta kendang seperti ketipung dan ciblon. Nama bundengan sendiri berasal dari suara “bindeng” atau “bundeng” dari petikan senarnya, yang dalam bahasa Jawa artinya mendengung.
Warisan Budaya di Lereng Sumbing
Di kaki Gunung Sumbing, tepatnya di Dusun Ngabean, Desa Maduretno, bundengan bukan sekadar instrumen, namun juga bagian dari identitas. Berawal tahun 1970-an, kowangan yang digunakan oleh para sontoloyo sambil menggiring itik, berkembang menjadi alat musik pengiring tari topeng lengger, tarian rakyat yang meriah dan penuh ekspresi.
Nada-nada bundengan digunakan sebagai pengiring tembang-tembang tradisional seperti Kinayakan, Gondang Keli, Jangkrik Genggong, dan Kebo Giro.
Salah satu tokoh sentral dalam sejarah bundengan adalah almarhum Barnawi. Bersama rekannya, Bohori, ketekunan dan kecintaan mereka pada alat musik ini mengantarkan hingga pengakuan bundengan sebagai warisan budaya tak benda oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan setelah melalui rintangan uji publik pementasan di Semarang sebanyak tujuh kali.
Namun, saat Barnawi berpulang pada tahun 2012, suara bundengan seakan ikut lenyap sesaat. Pertunjukan bundengan sempat terhenti selama empat tahun, hingga sang adik, Munir, melanjutkan tongkat estafet pelestarian ini bersama Bohori. Perlahan, bundengan kembali tampil di berbagai acara budaya nasional, bahkan sempat menyebrang lautan hingga ke Australia pada 2018.
Semangat regenerasi tidak hanya dilanggengkan oleh kalangan generasi pendahulu. Generasi muda Wonosobo tampak mulai menunjukkan semangatnya untuk melanjutkan warisan bundengan.
Generasi muda di Dusun Ngabean, contohnya, mereka tidak hanya belajar memainkan bundengan, tapi juga membuat kowangan dan mengeksplorasi bundengan ke format musik yang lebih modern. Bahkan, di SMPN 2 Selomerto, bundengan kini menjadi ekstrakurikuler resmi sebagai bukti bahwa tradisi ini masih memiliki tempat di tengah zaman yang terus berubah.
Wacana Desa Wisata Kampung Bundengan
Melihat antusiasme yang masih menyala, masyarakat Desa Maduretno kini tengah menyiapkan sebuah desa wisata berbasis budaya bernama Kampung Bundengan. Dusun Ngabean dipilih sebagai pusatnya, karena di sinilah para pelestari bundengan tinggal dan berkarya.
Kampung ini nantinya akan menjadi ruang hidup bagi bundengan, di mana wisatawan dapat menyaksikan pertunjukan tari lengger yang diiringi bundengan secara langsung dan belajar memainkan alat musik ini dari para pegiatnya.
Hal ini menunjukkan bahwa Kampung Bundengan bukan sekadar tempat wisata yang menjadi peluang ekonomi warga, namun juga dirancang sebagai pusat edukasi dan pelestarian budaya yang menekankan kearifan lokal, sebab dalam pengelolaannya, masyarakat sekitar juga berperan sebagai pelaku utama.
Kampung Bundengan berdiri sebagai penanda bahwa akar budaya tak akan tercabut selama masih ada yang mau menyiram dan merawatnya. Saat ini, Kampung Bundengan masih dalam tahap pembangunan dan rencananya akan diresmikan pada bulan Agustus atau September mendatang.
Jadi, apakah kalian siap untuk berwisata sekaligus belajar dan meresapi semangat kearifan lokal di Wonosobo? Tunggu tanggal mainnya, ya, Kawan. Sampai jumpa di Kampung Bundengan!
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News