Kawan GNFI pernah memperhatikan bagaimana seseorang yang dianggap “berpenampilan menarik” kerap diperlakukan berbeda dibandingkan mereka yang tampil biasa saja?
Dalam dunia kerja modern, fenomena yang dikenal dengan istilah beauty privilege, atau perlakuan istimewa berdasarkan penampilan fisik, semakin terlihat nyata dan tak bisa diabaikan.
Di Indonesia, tidak jarang kita menemukan informasi lowongan pekerjaan yang mencantumkan syarat seperti “berpenampilan menarik” atau “good looking”. Padahal, persyaratan semacam ini tidak memiliki dasar hukum yang jelas.
Selain itu, berpotensi membuka peluang terjadinya diskriminasi dan pelanggaran prinsip kesetaraan dalam dunia kerja. Ironisnya, hal tersebut kerap dianggap sebagai praktik yang lumrah dalam proses rekrutmen oleh sebagian pihak.
Wajah Lain dari Diskriminasi Kecantikan
Beauty privilege, atau hak istimewa bagi individu dengan penampilan fisik menarik, merupakan konstruksi sosial yang menghasilkan perlakuan khusus di berbagai sektor, termasuk dunia profesional.
Dalam konteks kerja, fenomena ini kerap memunculkan efek yang dikenal sebagai halo effect, sebuah bias kognitif yang menyebabkan orang menilai seseorang secara keseluruhan hanya berdasarkan kesan pertama, khususnya dari segi penampilan.
Menjaga Kesehatan Mental di Tengah Target, Potret Nyata Pekerja Retail di Lapangan
Di Indonesia, bentuk diskriminasi semacam ini menjadi lebih kompleks karena dipengaruhi oleh standar kecantikan Eurocentric, mengutamakan kulit cerah, hidung mancung, dan rambut lurus sebagai ukuran estetika dominan.
Dampak Psikologis yang Tidak Terlihat
Bagi Kawan GNFI yang tidak memenuhi standar kecantikan tertentu, diskriminasi semacam ini dapat membawa dampak psikologis yang cukup serius. Beberapa di antaranya meliputi:
Penurunan rasa percaya diri dan harga diri
Munculnya kecemasan sosial serta rasa terasing dari lingkungan kerja
Stres berkelanjutan dan potensi depresi akibat tuntutan fisik yang tidak realistis
Lebih memprihatinkan lagi, kelompok perempuan sering kali menjadi pihak yang paling terdampak. Tidak hanya dituntut untuk selalu tampil menarik, perempuan juga kerap menjadi sasaran pelecehan secara verbal maupun nonverbal di tempat kerja, dengan penampilan dijadikan alasan pembenar.
Realitas Hukum: Ada Undang-Undang, tetapi Belum Menyentuh Akar Masalah
Indonesia sebenarnya telah memiliki Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang menegaskan hak setiap warga negara untuk memperoleh pekerjaan tanpa diskriminasi.
Namun, regulasi yang spesifik mengatur diskriminasi berbasis fisik atau penampilan nyatanya masih sangat terbatas.
Dalam Peraturan Menteri Ketenagakerjaan (Permenaker) Nomor 39 Tahun 2016, Pasal 15 ayat (3) menyebutkan bahwa pemberi kerja dilarang mencantumkan syarat yang diskriminatif dalam informasi lowongan kerja.
Namun pada praktiknya, persyaratan semacam "berpenampilan menarik" masih kerap dijumpai. Baru-baru ini, Mahkamah Konstitusi bahkan menerima permohonan judicial review terhadap beberapa praktik rekrutmen tenaga kerja yang diduga mengandung unsur diskriminatif, termasuk syarat penampilan.
Ini menunjukkan bahwa isu ini telah berkembang menjadi persoalan konstitusional yang patut diperhatikan serius.
Survei DBS: 66% Pekerja Berusia 44-59 Tahun Tak Siapkan Rencana Pensiun
Mendorong Perubahan Paradigma
Peran Dunia Usaha
Perusahaan modern seyogianya mulai mengadopsi sistem rekrutmen yang inklusif dan bebas dari bias penampilan. Beberapa langkah strategis yang dapat dilakukan antara lain:
Menghapus persyaratan penampilan dalam iklan lowongan kerja
Memberikan pelatihan anti-bias kepada perekrut dan manajer sumber daya manusia
Mengadopsi sistem blind recruitment yang fokus pada kompetensi
Mewujudkan budaya kerja yang menghargai keberagaman fisik dan latar belakang
Pentingnya Edukasi Publik
Untuk mengatasi akar masalah, dibutuhkan edukasi luas mengenai bahaya dari beauty bias. Salah satu contoh nyata datang dari perusahaan multinasional Unilever, yang melalui kampanye “Positive Beauty” menghapus penggunaan istilah “normal” pada produk-produknya.
Praktik semacam ini bisa menjadi langkah awal untuk membangun budaya yang lebih inklusif dan tidak diskriminatif.
Menuju Masa Depan Dunia Kerja yang Setara
Kawan GNFI, diskriminasi berdasarkan kecantikan atau ketampanan bukanlah persoalan sederhana. Fenomena ini mencerminkan ketimpangan struktural yang sudah mengakar dalam masyarakat.
Lebih dari sekadar permasalahan estetika, kondisi ini merupakan bentuk kekerasan simbolik yang dapat mencederai hak asasi manusia, termasuk hak untuk memperoleh pekerjaan yang layak.
Sudah saatnya setiap individu dinilai berdasarkan kompetensi, kontribusi, dan integritasnya, bukan dari seberapa menarik mereka secara visual. Sebab sejatinya, kecantikan yang sebenarnya terletak pada kemampuan seseorang untuk berkontribusi positif bagi masyarakat.
Wearable Sensor: Solusi Jitu Pantau Kesehatan dan Keselamatan Pekerja
Perubahan menuju sistem yang lebih adil memang tidak instan. Namun, dengan komitmen bersama dari pemerintah, pelaku usaha, media, dan masyarakat sipil, kita dapat mewujudkan lingkungan kerja yang benar-benar inklusif, menghargai keragaman, dan menerima setiap insan apa adanya.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News