Sejak awal menjabat, Presiden Republik Indonesia, Prabowo Subianto, mencanangkan berbagai komitmen dalam upaya meningkatkan kualitas kesehatan di Indonesia melalui langkah prioritas yang ditetapkan. Akan tetapi, apakah program prioritas tersebut sudah menyentuh ranah kesehatan dan keselamatan kerja (K3) di Indonesia?
Sebenarnya, Indonesia memiliki kerangka hukum yang cukup lengkap terkait kesehatan dan keselamatan kerja, tetapi pada kenyataannya implementasi di lapangan masih jauh dari kata ideal. Dalam lima tahun terakhir, angka kecelakaan kerja, termasuk penyakit akibat kerja (PAK), mengalami peningkatan setiap tahunnya. Berdasarkan data dari Satu Data Kementerian Ketenagakerjaan, sepanjang tahun 2024 angka tersebut mencapai 462.241 kasus, naik 24,68% dari tahun 2023 sebanyak 370.747 kasus, di mana sebagian besar terjadi di sektor informal dan padat karya. Ironisnya, sebagian besar kejadian ini sebenarnya dapat dicegah jika kebijakan K3 benar-benar dijalankan secara menyeluruh dan diawasi secara efektif.
Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 5 Tahun 2018 tentang Keselamatan dan Kesehatan Kerja Lingkungan Kerja menjadi acuan nasional dalam penerapan K3. Namun, regulasi yang terlihat lengkap di atas kertas tidak cukup. Persoalan utamanya bukan terletak pada ketiadaan aturan, tetapi pada lemahnya pengawasan, minimnya edukasi, dan belum menyatunya kepentingan pelaku usaha dengan semangat perlindungan pekerja.
Contohnya, Program K3 Nasional 2024–2029 yang baru diluncurkan terkesan ambisius: meningkatkan budaya K3 dan menurunkan angka kecelakaan kerja secara signifikan. Namun, bagaimana hal ini bisa terwujud bila jumlah pengawas ketenagakerjaan masih sangat minim dan sebagian besar perusahaan, khususnya di sektor informal dan UMKM, tidak memiliki petugas K3 yang tersertifikasi? Dalam konteks ini, kebijakan masih menjadi jargon administratif tanpa roh perlindungan.
Lebih dari itu, budaya “tanggap resiko” belum tertanam kuat di lingkungan kerja kita. Banyak pekerja masih menganggap penggunaan alat pelindung diri (APD) sebagai beban, bukan kebutuhan. Ini bukan semata kesalahan pekerja, melainkan akibat dari minimnya edukasi dan pelatihan K3 yang berkelanjutan. Pemerintah memang rutin mengampanyekan Bulan K3 Nasional setiap awal tahun, tapi setelah itu, gaungnya menghilang tanpa tindak lanjut yang substansial.
Dewasa ini, digitalisasi sudah marak diimplementasikan di berbagai sektor. Seharusnya, hal ini pula dapat menjadi alat bantu memperkuat kebijakan K3, seperti penggunaan wearable sensor untuk memantau kelelahan atau paparan zat berbahaya secara real-time. Sayangnya, belum banyak kebijakan yang mendorong adopsi teknologi ini secara luas, khususnya di sektor menengah ke bawah. Padahal, dengan biaya yang terus menurun, teknologi ini semakin terjangkau dan bisa menjadi investasi jangka panjang untuk keselamatan kerja.
Kita perlu paradigma baru dalam melihat K3, bukan sebagai kewajiban administratif, melainkan sebagai pondasi produktivitas jangka panjang. Negara harus lebih tegas dalam pengawasan, menyediakan insentif bagi perusahaan yang patuh, serta mendorong digitalisasi K3 sebagai kebijakan nasional, bukan sekadar pilihan perusahaan besar.
Tanpa langkah korektif yang nyata, kebijakan K3 akan terus menjadi regulasi yang “mati gaya”: lengkap tapi tidak hidup. Dan selama itu pula, nyawa pekerja tetap dipertaruhkan demi efisiensi semu.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News