dunia pendidikan di masa perang dalam novel jepang - News | Good News From Indonesia 2025

Dunia Pendidikan di Masa Perang dalam Novel Jepang

Dunia Pendidikan di Masa Perang dalam Novel Jepang
images info

Isu-isu pendidikan seringkali menjadi inspirasi bagi sastrawan. Keresahan dan pengalaman yang dialami dan disaksikan dapat diutarakan lewat untaian kata yang menginspirasi. Namun, bagaimana jika isu Pendidikan berlatar belakang kondisi perang? Pasti begitu menarik ya, Kawan GNFI.

Pada pembahasan kali ini, kita akan menyelami novel dari negeri Sakura yang mengangkat tema pendidikan berlatar belakang masa perang.

Dua novel Jepang tersebut berjudul Twenty-Four Eyes dan Totto-chan. Mungkin, Kawan GNFI, tidak asing dengan dua novel tersebut. Yuk mari kita bahas!

Kisah Guru di Desa tahun 1920-an

Ilustrasi pada bagian belakang kover buku | Foto: Dokumentasi pribadi
info gambar

Novel pertama yang akan kita bahas yaitu Twenty-Four Eyes --Dua Belas Pasang Mata-- karangan Sakae Tsuboi. Buku ini terbit pertama kali tahun 1952. Dalam versi Bahasa Indonesia, penerbit Gramedia menerbitkannya tahun 2022 (cetakan kesebelas).

Sakae Tsuboi dalam novelnya menyajikan kisah seorang guru muda bernama Miss Oishi yang bertugas mengajar di desa. Mayoritas warga desa tersebut berprofesi sebagai petani dan nelayan. Latar waktu pada cerita ini yaitu di tahun 1928 sampai berakhirnya Perang Dunia 2.

Baca juga: Jejak Jepang dan Pan-Asianisme Selama Perang Dunia II

Pada awalnya, Miss Oishi sebagai guru baru belum bisa disambut dengan baik oleh siswa-siswanya. Belum juga mengajar, Miss Oishi sudah dijadikan buah bibir seluruh desa karena ia berpakaian ala Barat dan karena ia mengendarai sepeda, benda langka di desa itu.

Dalam sebuah artikel ilmiah disebutkan bahwa terdapat anggapan bahwa orang desa termasuk ke dalam masyarakat miskin terutama yang berprofesi sebagai petani. Pada masa tahun 1920-an, anak desa dan anak kota dapat dibedakan dari cara berpakaiannya.

Maka dari itu, kita jadi paham mengapa respon orang desa begitu heboh saat kedatangan guru baru berpakaian modern dan mengendarai sepeda. Mereka tercengang karena guru baru itu seperti laki-laki karena mengenakan kemeja putih dan jas hitam.

Biasanya, guru-guru yang dikirim ke desa adalah guru yang hanya lulusan SMA. Tapi, Miss Oishi merupakan lulusan sekolah guru. Sesuatu yang sangat lain bagi sekolah desa tersebut. Rekan kerja Miss Oishi adalah guru laki-laki tua yang merupakan anak petani.

Guru tua tersebut berjuang 15 tahun untuk mendapatkan ijazah guru. Berbeda dengan Miss Oishi yang masih muda tapi sudah menjadi lulusan sekolah guru.

Tingkat Pendidikan dan kemodernan Miss Oishi dipandang buruk oleh Masyarakat desa. Padahal, sepeda yang ia miliki juga adalah hasil cicilannya selama lima bulan dan baju yang ia kenakan adalah baju kimono ibunya yang ia rombak menjadi setelan jas. Masyarakat desa tidak tahu menahu tentang itu.

Anggapan miring ini berubah seiring berjalannya waktu. Hubungan guru-siswa menjadi lambat laun menjadi akrab dan hangat. Begitu juga dengan Masyarakat desa yang sudah tidak lagi memandang buruk.

Ia menyaksikan langsung bagaimana perubahan demi perubahan pada nasib anak didiknya di masa perang. Siswa laki-laki yang ia ajar berguguran di medan perang. Namun, mereka dengan rasa nasionalismenya begitu bangga bisa menjadi tentara dan berjuang demi negaranya meski harus ditukar dengan nyawa.

Di sisi lain, Miss Oishi begitu marah saat melihat bagaimana anak didiknya harus menjadi korban perang dan ambisi negara.

Siswa perempuan Miss Oishi juga bernasib tidak baik. Salah satunya sangat mengenaskan karena dijual sebagai pelacur oleh orang tuanya demi menghidupi keluarganya.

Begitu terasa dampak perang terlebih bagi masyarakat desa yang sebelum perang sudah mengalami kesulitan ekonomi. Saat perang, masyarakat desa lebih menderita lagi. Meskipun menderita, masyarakat tetap yakin bahwa mereka harus terus mendukung negaranya dalam bentuk apapun.

Kenangan di Sekolah Gerbong Kereta

Novel berjudul Totto-chan karya Tetsuko Kuroyanagi adalah warisan ingatan dari penulisnya tentang masa sekolahnya di sekolah gerbong kereta. Buku ini terbit pertama kali tahun 1981. Diterbitkan lagi dalam Bahasa Indonesia oleh Gramedia di tahun 2014 (cetakan 15).

Totto-chan adalah nama kecil Tetsuko. Ia adalah seorang anak yang sangat aktif dalam kesehariannya. Ia dikeluarkan dari sekolahnya karena membuat kelas selalu tidak kondusif dengan celotehan, rasa ingin tahunya yang tinggi, dan kelakuan uniknya yang membuat gurunya begitu kesal.

Tak lama, ia dan ibunya mendaftar ke Tomoe Gakuen. Sekolah yang sama uniknya dengan karakter Totto-chan. Ruang kelas bukan sebuah bangunan tapi gerbong kereta bekas.

Kepala sekolah gerbong kereta itu bernama Sosaku Kobayashi. Dia telah membuat kurikulum sendiri bagi sekolahnya. Sebelum mendirikan Tomoe Gakuen, ia telah mengamati beberapa sekolah dan belajar euritmik di Eropa. Dan pada akhirnya ia memutuskan untuk mendirikan Tomoe Gakuen tahun 1937.

Kegiatan belajar di kelas tidak seperti pada umumnya. Di Tomoe Gakuen kegiatan belajar dimulai dari mata pelajaran yang dipilih sendiri oleh setiap siswa.

Setiap siswa diperkenankan memilih pelajaran yang ia sukai dan mendalaminya secara mandiri tapi tetap dibimbing oleh guru. Mari bayangkan, di dalam satu kelas terdapat satu siswa yang menggambar, siswa lain membaca, siswa lainnya senam, dan ada yang melakukan eksperimen fisika. Hal ini ditujukan agar guru dapat melihat minat dan bagaimana cara belajar setiap siswa.

Di jam istirahat makan siang, setiap siswa harus membawa makanan yang berasal dari ‘laut dan gunung’. Makanan yang berasal dari laut berupa ikan, rumput laut, cumi, dll. Sedangkan makanan yang berasal dari gunung seperti sayuran dan daging sapi/ayam. Hal ini menjadi pengingat bagi orang tua agar melengkapi gizi pada bekal anaknya namun dengan menggunakan istilah yang menarik yaitu makanan dari laut dan gunung.

Selain itu, pada saat makan siang bersama, terdapat agenda bercerita dari siswa-siswa yang dipilih sesuai kesepakatan bersama. Kepala sekolah mengadakan agenda ini dengan tujuan untuk meningkatkan rasa keberanian dan cara berbicara yang baik di depan umum. Meskipun awal-awalnya para siswa takut, tapi mereka mulai terbiasa untuk melakukannya.

Baca juga : Kebiasaan Disiplin Pendidikan Jepang: Sesi Internasional EduStanding oleh AIESEC in Untan

Pada akhirnya, beragam kegiatan unik yang membuat siswa bahagia terenggut karena perang. Tomoe Gakuen harus hancur karena bom dari pesawat B29 milik Amerika. Perang Dunia II telah menghilangkan bukti dedikasi Mr. Kobayashi dalam dunia Pendidikan.

Namun, saat memandang gerbong kelas yang terbakar, Mr. Kobayashi bertanya, “Sekolah seperti apa yang akan kita bangun lagi?”. Kenangan pada siswa-siswanya terus melekat dan kisah Tomoe Gakuen telah mendunia lewat buku ini.

Dua novel karya penulis Jepang ini menjadi bukti bahwa masih ada sosok pendidik yang luar biasa hebat di tengah perang yang terus berkecamuk di negeri mereka. Kawan GNFI, tertarik untuk membaca dua novel ini?

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

DS
KG
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini

🚫 AdBlock Detected!
Please disable it to support our free content.