mengapa hanya 15 golongan ini yang dapat transportasi gratis di jakarta - News | Good News From Indonesia 2025

Mengapa Hanya 15 Golongan Ini yang Dapat Transportasi Gratis di Jakarta?

Mengapa Hanya 15 Golongan Ini yang Dapat Transportasi Gratis di Jakarta?
images info

Pemerintah Provinsi DKI Jakarta resmi memberlakukan kebijakan transportasi gratis bagi 15 golongan masyarakat di Ibu kota. Kebijakan ini mencakup layanan TransJakarta, MRT, dan LRT Jakarta, yang dapat diakses secara cuma-cuma oleh kelompok tertentu, mulai dari pelajar, guru honorer, ASN, hingga lansia dan veteran.

Meski bertujuan mulia untuk meringankan beban masyarakat serta meningkatkan aksesibilitas moda transportasi publik, kebijakan ini menimbulkan pertanyaan mendasar, apakah daftar 15 golongan tersebut sudah mencerminkan asas keadilan sosial?

Program memperluas transportasi gratis bagi 15 golongan masyarakat di Jakarta menjadi realisasi dari janji kampanye pasangan Gubernur dan Wakil Gubernur Pramono Anung dan Rano Karno dalam Pilkada 2024.

Kebijakan ini termasuk dalam agenda prioritas 100 hari kerja pertama. Melalui program ini, Pemprov DKI Jakarta menunjukkan komitmennya dalam meningkatkan mutu layanan angkutan umum, sekaligus mendukung terwujudnya Jakarta sebagai kota yang modern, terintegrasi, dan berkelanjutan.

Selain itu, program tersebut juga memiliki tujuan untuk mendorong 15 golongan ini menjadi lebih masif menggunakan transportasi umum sebagai mobilitasnya sehari-hari. Sehingga harapannya tentu berdampak dalam meminimalisir kepadatan kendaraan di Jakarta.

Pemerintah DKI Jakarta melalui Peraturan Gubernur Nomor 26 Tahun 2017 tentang Perubahan Atas Peraturan Gubernur Nomor 160 Tahun 2016 tentang Pelayanan Transjakarta Gratis dan Bus Gratis Bagi Masyarakat, menetapkan kriteria golongan penerima manfaat transportasi gratis sebagai bagian dari skema layanan sosial. Dalam daftar tersebut, kelompok yang mendapat layanan ini, yaitu:

  1. Aparatur Sipil Negara (ASN) di lingkungan Pemprov DKI Jakarta beserta para pensiunannya.
  2. Tenaga kerja berstatus kontrak yang bertugas di bawah Pemprov DKI Jakarta.
  3. Siswa yang menjadi penerima manfaat program Kartu Jakarta Pintar (KJP).
  4. Pekerja sektor swasta tertentu atau karyawan dengan penghasilan setara Upah Minimum Provinsi (UMP), yang terdaftar melalui Bank DKI.
  5. Warga yang tinggal di Rumah Susun Sederhana Sewa (Rusunawa).
  6. Anggota Tim Penggerak Pemberdayaan dan Kesejahteraan Keluarga (PKK).
  7. Penduduk yang memiliki KTP dengan domisili di wilayah Kepulauan Seribu.
  8. Penerima bantuan beras sejahtera (Raskin) yang berdomisili di kawasan Jabodetabek (Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi).
  9. Personel aktif dari TNI dan Polri.
  10. Para veteran yang pernah mengabdi untuk Republik Indonesia.
  11. Warga penyandang disabilitas.
  12. Masyarakat lanjut usia (lansia) berusia di atas 60 tahun.
  13. Petugas rumah ibadah.
  14. Guru dan tenaga pendidik di jenjang Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD).
  15. Petugas pemantau jentik nyamuk (jumantik).

Secara administratif, kelompok ini memang mudah diidentifikasi dan diverifikasi oleh pemerintah daerah. Namun, ketika kita berbicara soal urgensi dan keadilan sosial, muncul perdebatan; mengapa kelompok pekerja informal, buruh harian, ojek online, dan warga miskin kota tidak secara eksplisit masuk dalam daftar?

Di kota seperti Jakarta, struktur sosial ekonomi masyarakatnya begitu kompleks. Banyak warga hidup dengan penghasilan rendah. Mereka adalah guru honorer di sekolah swasta kecil, guru mengaji, pedagang kecil, pekerja yang memiliki upah dibawah UMR, hingga pekerja rumah tangga.

Semua berperan vital dalam dinamika ekonomi kota, tetapi kerap kali terabaikan dalam kebijakan berbasis status administratif. Sementara itu, kelompok ASN, Personel aktif TNI dan Polri, dan pegawai yang memiliki gaji tetap diatas UMR justru memperoleh manfaat tambahan berupa subsidi transportasi. Bukankah ini sebuah ironi?

Pertanyaan berikutnya; berdasarkan indikator apa ke-15 golongan ini dipilih? Jika tujuannya adalah untuk meringankan beban masyarakat rentan, mengapa tidak menggunakan indikator ekonomi seperti pendapatan rumah tangga atau data dari Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS)? Atau jangan-jangan memang basis pendataannya belum rapih?

Namun, setidaknya dengan pendekatan tersebut, pemerintah bisa menargetkan warga berdasarkan kondisi ekonomi riil, bukan sekadar status pekerjaan atau afiliasi kelembagaan.

Pendekatan berbasis golongan juga rawan menimbulkan kecemburuan sosial. Warga dengan penghasilan minimum yang bekerja di sektor informal bisa merasa terdiskriminasi karena tidak mendapat fasilitas serupa, padahal beban ekonomi yang mereka tanggung bisa jadi jauh lebih besar dibandingkan dengan 15 golongan tersebut.

Tidak heran jika dalam jangka panjang, ketimpangan seperti ini dapat semakin mengikis kepercayaan publik terhadap keadilan dan legitimasi kebijakan pemerintah. 

Namun hal tersebut memantik pertanyaan kembali, kira-kira seberapa relevan pendekatan ini jika melihat realita di lapangan? Faktanya, sebagian besar masyarakat berpenghasilan rendah justru tidak banyak menggunakan transportasi umum massal seperti kereta atau bus, melainkan lebih memilih sepeda motor sebagai moda utama mereka. Alasan utamanya adalah fleksibilitas, efisiensi waktu, dan cakupan rute yang belum sepenuhnya dijangkau transportasi publik. 

Pada konteks ini, khawatirnya pemberian fasilitas transportasi justru berpotensi tidak menyasar kelompok yang paling membutuhkan bantuan secara nyata. Maka dari itu, penting bagi pemerintah untuk mengevaluasi ulang pendekatan terkait golongan tersebut, agar tidak hanya adil di atas kertas, tetapi juga relevan dan tepat sasaran dalam praktiknya.

Kekhawatiran lain yang muncul di permukaan adalah dampak dari kebijakan ini terhadap sistem transportasi publik itu sendiri. Peningkatan penumpang gratis bisa memperbesar beban operasional TransJakarta, MRT, dan LRT Jakarta, apalagi jika subsidi yang diberikan tidak dibarengi dengan evaluasi kinerja dan peningkatan kapasitas layanan. Tanpa pengelolaan yang baik, hal ini berisiko menurunkan kualitas pelayanan bagi seluruh pengguna, baik yang membayar maupun tidak.

Kebijakan transportasi gratis ini tentu bukanlah sesuatu yang harus ditolak mentah-mentah. Ini adalah langkah progresif yang patut diapresiasi, terutama di tengah tingginya biaya hidup di Jakarta. Namun, implementasinya harus seimbang dengan mempertimbangkan prinsip inklusivitas dan keberpihakan kepada kelompok yang paling membutuhkan. 

Pada akhirnya, keadilan sosial bukan hanya soal siapa yang tercatat dalam daftar, tetapi siapa yang benar-benar merasakan dampak dari kebijakan tersebut. Kebijakan publik, terlebih yang menyangkut hak dasar seperti mobilitas, seharusnya selalu berpihak kepada mereka yang paling rentan dan paling membutuhkan. Bukan kepada yang paling mudah diverifikasi secara administratif atau yang memiliki kedekatan dengan struktur birokrasi.

Transportasi publik adalah urat nadi kota modern. Jika benar-benar ingin membangun Jakarta yang inklusif dan berkeadilan, maka subsidi transportasi harus menjadi alat pemerataan, bukan justru menciptakan lapisan ketimpangan yang baru. Mari kita dorong pemerintah untuk membuka ruang dialog dan evaluasi kebijakan ini agar bisa lebih tepat sasaran dan berdampak luas, untuk Jakarta yang lebih ramah kepada sesama.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

BL
KG
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini

🚫 AdBlock Detected!
Please disable it to support our free content.