Berbicara kebudayaan Jawa, tentunya tidak lepas dengan peninggalan arsitektur bangunannya. Orang Jawa kebanyakan, terutama mereka yang berasal dari Jawa Tengah, memiliki rumah adat dengan material bangunan yang terbuat dari kayu jati. Dengan ciri khas atapnya yang berbentuk tajug atau semacam piramida yang mengerucut, mereka menyebut rumah adat ini sebagai Rumah Joglo.
Istilah joglo berasal dari penggabungan dua kata “tajug” dan “loro” yang disingkat menjadi juglo. Dalam perkembangannya, istilah juglo kemudian berganti menjadi joglo. Meskipun demikian, hal ini tidak menghilangkan makna sebelumnya, yaitu penggabungan dua tajug.
Baca Juga: Pendopo Rumah Joglo Bisa Jadi Tanda Kelas Sosial, Benarkah?
Isi Bagian Rumah Joglo
Nilai-nilai luhur dan makna yang dalam selalu berkelindan pada setiap unsur budaya Jawa. Salah satunya terdapat pada bangunan rumah joglo, yang menjadi ciri khas dari budaya Jawa. Oleh karena itu, menarik untuk disimak bagian yang menjadi ciri khas dari rumah joglo, serta filosofi dari nilai-nilai luhur di baliknya.
Pada umumnya, rumah joglo memiliki tiga bagian utama, yaitu pendapa (pendopo), pinggitan, dan omah ndalem/njero atau rumah dalam. Bentuk rumah joglo yang terbuka di depan dan menuju ke belakang menjadi tertutup memiliki makna bahwa bagian belakang merupakan suatu hal yang bersifat khusus dan hanya diberikan oleh orang-orang yang tertentu. Atap dari rumah Joglo yang berbentuk tajug digambarkan sebagai gunung, tempat sakral yang didiami oleh para dewa.
Yang menjadi keunikan lainnya dari rumah Joglo adalah ia memiliki empat pilar yang menjadi penyangga utama rumah. Soko guru, disebut demikian, merupakan gambaran dari kekuatan empat penjuru mata angin. Masyarakat Jawa percaya bahwa berlindung di dalam rumah joglo dapat terhindari dari risiko bencana alam.
Merujuk pada bagian rumah joglo, pendopo merupakan bagian dari rumah yang berada di paling depan. Tamu yang masuk ke dalam rumah adat masyarakat Jawa Tengah ini, akan disambut di pendopo. Berbentuk ruangan terbuka dengan atap berbentuk tajug, mengartikan bahwa orang Jawa memiliki sifat yang terbuka dan ramah.
Masuk ke bagian yang lebih dalam dari rumah joglo. Di bagian tengah, akan memasuki area yang disebut dengan pringgitan. Area ini menjadi lorong masuk dari pendopo menuju omah ndalem/njero. Pringgitan memiliki bentuk seperti serambi segitiga yang mengarah ke pendopo. Biasanya pringgitan juga digunakan sebagai tempat untuk menggelar penampilan wayang atau pertunjukan seni lain.
Omah ndalem/njero merupakan bagian utama dari rumah joglo. Seperti rumah pada umumnya, rumah ini berisikan beberapa kamar tidur, ruangan penyimpanan pusaka dan dapur untuk kebutuhan memasak. Kamar tidur serta kamar penyimpanan barang pusaka atau tempat mediasi biasa disebut dengan senthong. Bagian ini dibagi menjadi dua, yaitu senthong tengen (kanan) dan senthong kiwa (kiri).
Keunikan lainnya yang dapat ditemukan pada rumah joglo adalah filosofi bangunannya. Sebut saja pintu bangunan yang berjumlah tiga. Pintu utama di tengah dan kedua pintu yang menghimpit di samping diibaratkan sebagai kupu-kupu yang sedang berkembang dan berjuang di tengah keluarga besar.
Baca Juga:Rumah Joglo, Rumah Adat Tahan Gempa dari Indonesia
Rumah Joglo sebagai Simbol Status Sosial
Sama seperti rumah adat lainnya, rumah joglo digunakan oleh priyayi dan bangsawan sebagai simbol kepemilikan status sosial yang tinggi. Material yang mewah, terbuat dari kayu jati berkualitas tinggi dengan harga mahal membuat tidak semua orang Jawa dapat memiliki bangunan tersebut.
Selain itu, ditambah ukiran kayu pada bangunannya yang tergolong halus dan rumit, hanya tukang kayu terampil yang mampu mengerjakannya. Hal ini semakin menunjukkan kelas pemiliknya.
Rumah joglo tidak hanya difungsikan sebagai tempat hunian, tetapi juga tempat penyelenggara upacara adat pertemuan penting. Pendopo dan pringgitan memiliki area yang luas kerap menjadi tempat untuk menerima tamu. Hal ini hanya dilakukan oleh orang-orang penting dari kalangan bangsawan dan priyayi saja.
Sistem feodal Jawa pada masa itu juga menempatkan bangunan rumah joglo di dekat pusat kekuasaan, seperti keraton. Hal ini semakin menegaskan bahwa pemilik rumah ini merupakan orang-orang dari golongan bangsawan atau priyayi.
Sementara untuk masyarakat biasa, pada masa itu, orang-orang Jawa menggunakan rumah adat limasan dan kampung.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News