Sejak Reformasi 1998, masyarakat sipil Indonesia telah memainkan peran vital dalam melawan korupsi yang merajalela. Berbagai kelompok seperti LSM, media, akademisi, dan komunitas telah bergerak aktif mengawasi, menyuarakan isu, serta mengedukasi masyarakat untuk memastikan transparansi dan akuntabilitas pemerintah (Epakarti et al., 2020).
Peran ini kian terasa ketika lahirnya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), sebuah pencapaian monumental yang tidak lepas dari advokasi gigih Indonesia Corruption Watch (ICW). Mereka tidak hanya memimpin demonstrasi, tetapi juga menyusun bukti dan data untuk menekan pemerintah agar membentuk KPK melalui UU No. 30 Tahun 2002.
Selain mendukung pembentukan KPK, masyarakat sipil juga melindunginya dari berbagai tekanan politik. Contoh nyata adalah gerakan Cinta Indonesia Cinta KPK (CICAK) yang menggalang dukungan publik untuk melawan upaya pelemahan lembaga antirasuah tersebut (Epakarti et al., 2020). Kampanye ini menunjukkan bagaimana suara masyarakat dapat menjadi tembok kokoh dalam menjaga integritas lembaga negara.
Namun, perjuangan ini tidak berhenti di situ. Edukasi publik menjadi agenda penting. Program seperti Saya Perempuan Anti-Korupsi (SPAK) mengajarkan perempuan tentang pentingnya melawan korupsi dari lingkup keluarga hingga masyarakat. Tidak hanya itu, LSM juga bekerja sama dengan sekolah dan kampus untuk memasukkan pendidikan antikorupsi ke dalam kurikulum. Generasi muda pun diajak memahami pentingnya integritas sejak dini.
Meski demikian, perjuangan masyarakat sipil tidak selalu mudah. Mereka menghadapi tekanan politik, keterbatasan dana, hingga polarisasi publik. Di sinilah inovasi memainkan peran penting.
Teknologi seperti aplikasi berbasis blockchain memungkinkan pelaporan korupsi secara anonim, sementara kampanye kreatif di media sosial dapat menjangkau lebih banyak orang, terutama generasi muda. Dengan sinergi ini, masyarakat sipil terus menjadi penggerak utama dalam perang melawan korupsi (Epakarti et al., 2020).
Menghukum Koruptor: Lebih dari Sekadar Penjara
Hukuman badan saja terkadang tidak cukup untuk memberikan efek jera kepada koruptor. Alternatifnya, penyitaan aset dan denda maksimal bisa menjadi langkah efektif. Dalam kasus 1MDB di Malaysia, penyitaan aset senilai miliaran Dolar berhasil memulihkan kerugian negara dan memberikan pesan kuat bahwa korupsi tidak akan menguntungkan (Yani, 2019).
Selain itu, pencabutan hak politik juga patut dipertimbangkan. Di beberapa negara Nordik, koruptor yang terbukti bersalah dilarang menduduki jabatan publik seumur hidup, memastikan mereka tidak lagi merusak sistem pemerintahan (Yani, 2019).
Hukuman sosial pun dapat menjadi opsi menarik. Contohnya, di China, koruptor diwajibkan melakukan kerja sosial yang terlihat oleh publik, seperti membersihkan fasilitas umum. Publikasi identitas koruptor di media massa juga efektif menciptakan stigma sosial, memberikan tekanan reputasi yang kuat kepada pelaku.
Selain itu, program rehabilitasi moral seperti pelatihan antikorupsi dapat membantu memperbaiki pola pikir pelaku agar tidak mengulangi kesalahan yang sama (Yani, 2019).
Peran Korporasi dalam Tindak Pidana Korupsi
Tindak pidana korupsi tidak hanya dilakukan oleh individu, tetapi juga melibatkan korporasi. Peraturan Mahkamah Agung (Perma) No. 13 Tahun 2016 mengatur tiga bentuk kesalahan korporasi: kesalahan aktif, pasif, dan kelalaian. Kesalahan aktif terjadi ketika perusahaan secara langsung melakukan tindak korupsi melalui pengurusnya.
Kesalahan pasif muncul ketika perusahaan gagal mencegah atau mengawasi tindakan korupsi di lingkungannya. Sementara itu, kesalahan kelalaian terjadi ketika perusahaan mengetahui adanya korupsi, tetapi tidak mengambil langkah untuk menghentikannya (Epakarti et al., 2020).
Hukuman untuk korporasi meliputi denda besar, penyitaan aset, hingga pencabutan izin usaha. Ini menjadi pesan tegas bahwa dunia bisnis tidak kebal hukum.
Kejahatan Transnasional: Tantangan Global yang Memerlukan Kolaborasi
Di sisi lain, kejahatan transnasional (Transnational Crimes/TC) menjadi ancaman serius yang melibatkan banyak negara. Menurut United Nations Convention on Transnational Organized Crime (UNTOC), TC adalah kejahatan yang melibatkan lintas negara, baik dalam pelaksanaan maupun dampaknya.
Contohnya adalah perdagangan manusia, di mana jaringan kriminal di negara A merekrut tenaga kerja untuk dieksploitasi di negara B. Dalam kasus seperti ini, diplomat memainkan peran penting untuk memulangkan korban, mempercepat proses hukum, dan memfasilitasi kerja sama antarnegara.
Kerja sama internasional menjadi kunci dalam menangani kejahatan transnasional. UNTOC menyediakan mekanisme ekstradisi, bantuan hukum timbal balik, dan perlindungan saksi, sementara United Nations Convention against Corruption (UNCAC) fokus pada pemberantasan korupsi global.
Salah satu contoh nyata adalah kasus 1MDB di Malaysia, di mana negara-negara seperti Amerika Serikat, Swiss, dan Singapura bekerja sama menyita dan mengembalikan aset yang dikorupsi, menggunakan kerangka kerja UNCAC.
Kesimpulan
Masyarakat sipil, hukuman alternatif, dan kerja sama internasional adalah elemen penting dalam perang melawan korupsi dan kejahatan transnasional. Dengan inovasi teknologi, edukasi, serta kolaborasi lintas negara, harapan untuk menciptakan dunia yang lebih adil dan bersih dari korupsi semakin nyata. Perjuangan ini bukan hanya tugas pemerintah, tetapi tanggung jawab kita bersama.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News