Presiden Prabowo sempat menyampaikan pidato terkait pemberian pengampunan kepada koruptor dengan syarat mengembalikan aset negara. Pidato itu diutarakan saat ia berkujung ke Mesir, Rabu (18/12/2024) lalu.
Menjawab hal tersebut, Menteri Hukum, Supratman Andi Agtas, mengatakan bahwa pelaku tindak pidana korupsi tidak serta merta mendapatkan pengampunan. Menurutnya, meskipun Presiden berhak untuk memberikan pengampunan, tetapi hal tersebut harus tetap melalui pengawasan oleh Mahkamah Agung (MA) terkait grasi, dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dalam hal pemberian amnesti.
Pemberikan pengampunan bukan berarti membiarkan pelaku tindak pidana korupsi terbebas begitu saja. Menurut Supratman, pemerintah Indonesia akan tetap mengupayakan hukuman maksimal bagi koruptor.
Tidak hanya itu, aspek pemulihan aset dalam kasus tindak pidana korupsi juga akan dijalankan. Pemberlakukan asset recovery ini bertujuan untuk mengembalikan kerugian negara akibat korupsi.
“Pemberian pengampunan bukan dalam rangka membiarkan pelaku tindak pidana korupsi bisa terbebas. Sama sekali tidak. Karena yang paling penting, bagi pemerintah dan rakyat Indonesia, adalah bagaimana asset recovery itu bisa berjalan. Kemudian kalau asset recovery-nya bisa baik, pengembalian kerugian negara itu bisa maksimal. Presiden sama sekali tidak menganggap (pengampunan koruptor) dilakukan serta merta,” ungkap Supratman, dikutip dari sippn.menpan.go.id.
Di sisi lain, Supratman turut menjelaskan jika Kejaksaan Agung juga memiliki kewenangan untuk memberikan pengampunan kepada koruptor. Pihaknya menyebut, Jaksa Agung mempunyai “ruang” untuk melakukan upaya denda damai bagi para pelaku.
Independensi KPK Semakin Terancam, Ini Tantangan Besar Pemberantasan Korupsi di Indonesia
Ahli sebut koruptor wajib diberikan efek jera
Peneliti Pusat Kajian Anti Korupsi (Pukat) Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM), Yuris Rezha Darmawan, menjelaskan alangkah baiknya apabila negara “menciptakan” efek jera bagi pelaku korupsi agar mereka tidak mengulanginya.
Menurut Yuris, kejahatan korupsi memiliki pola dan karakteristik tertentu. Oleh karena itu, pemberantasannya juga harus disesuaikan dengan karakter kejahatan tersebut.
Alih-alih memberikan pengampunan, koruptor harus diberikan hukuman dengan cara yang efektif, seperti perampasan aset dan pemiskinan. Nantinya, seluruh aset yang disita harus benar-benar dikembalikan menjadi milik negara.
Yuris juga menyarankan pemerintah, utamanya presiden, untuk mendorong aparat penegak hukum untuk mengikuti aliran dana hasil korupsi. Dengan melacak aset-aset tersebut, negara dapat dengan mudah merampas hasil kejahatan untuk dikembalikan sebagai “harta” milik negara.
Tidak hanya itu, aparat juga perlu mengoptimalkan penagihan uang pengganti yang diputuskan pengadilan. Banyak pelaku korupsi yang divonis membayar uang pengganti justru belum memenuhi kewajibannya.
“Berdasarkan laporan tahunan terakhir kejaksaan yang saya baca, terdapat puluhan triliun rupiah piutang negara yang belum ditagih. Presiden harus mendorong KPK dan kejaksaan untuk memastikan pelaku korupsi membayar uang pengganti tersebut,” ucap Yuris melalui laman milik UGM.
Selain itu, pengesahan RUU Perampasan Aset juga dapat membantu mempermudah negara untuk merampas hasil kejahatan para koruptor tersebut. Yuris juga menyoroti pentingnya memperbaiki penegakan hukum, utamanya KPK yang menjadi tonggak utama dalam pemberantasan korupsi di Indonesia.
Mengenal RUU Perampasan Aset: Pengertian, Urgensi, dan Apa Saja yang Bisa Dirampas Negara
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News